Bogor - Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) mempunyai 2 cara peningkatan produktivitas populasi sapi di Indonesia. Cara ini dapat meningkatkan populasi sapi hingga 60%. Namun sayangnya tak dikembangkan.
"Optimalisasi populasi sapi kita mengembangkan inseminasi buatan dan embrio transfer. Dengan cara ini kita coba di 10 sapi betina, 6 di antaranya mengalami kehamilan," ungkap Kepala B2 Bioteknologi LIPI Witjaksono saat berdiskusi di Botani Square Bogor, Jawa Barat, Rabu (18/9//2013).
Inseminasi buatan adalah cara membuat hamil sapi betina dengan memasukan sperma indukan sapi jantan terpilih melalui suntikan. Sedangkan embrio transfer tidak jauh berbeda dengan memasukan embrio terbaik kepada sapi betina.
"Intinya dititipkan sperma, nanti ke induk-induk kemudian yang keluar nanti keturunan dan anak yang bagus. Tetapi di sisi yang lain ada peningkatan optimalisasi produktivitas di sana," imbuhnya.
Sementara itu, Peneliti B2 Bioteknologi LIPI Syahrudin mengatakan, 2 metode itu belum terlalu banyak dikembangkan di Indonesia. Padahal di negara Australia dan Selandia Baru 2 metode ini menjadi acuan peningkatan produktivitas populasi sapi.
Ada beberapa masalah teknis mengapa 2 metode tersebut tidak dikembangkan di Indonesia.
"Alasannya kita kekurangan betina produktif. Jelas yang harus diperbaiki adalah mesin produksinya yaitu sapi betina. Jadi yang harus diimpor itu sapi ternak betina bukan sapi bakalan atau daging sapi. Kemudian kalau dilakukan di peternakan rakyat susah. Ingat sapi-sapi di Indonesia dikuasai oleh peternak masyarakat. Masyarakat kita ini sangat tidak siap," jelasnya.
Kementan Gaet LIPI Kembangkan Tempat Penggemukan Sapi di 3 Pulau
Kementerian Pertanian dan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) bekerjasama mengembangkan produktifitas sapi di 3 pulau di Indonesia. Ketiga pulau ini nantinya akan mengembangkan 3 jenis sapi lokal yang berbeda.
"Pulau Raya untuk sapi Aceh, Pulau Nusaprinda untuk sapi Bali, dan Pulau Sapudi sapi Madura," ungkap Dirjen Peternakan dan Kesehatan Hewan Syukur Iwantoro saat berdiskusi dan seminar nasional di Botani Square Bogor, Jawa Barat, Rabu (18/9/2013).
Ketiga jenis sapi lokal tersebut nantinya akan dilakukan pemurnian. Pemurnian dilakukan dengan mengkawinkan sapi sejenis di tempat yang sama. Kawin silang sapi dinilai kurang efektif bahkan mengurangi berat bobot sapi.
"Jadi saat ini sapi bali banyak yang kawin silang dan bobotnya menurun terus. Sama halnya dengan sapi aceh. Ini perlu dimurnikan agar bobotnya tidak kalah dengan sapi di luar negeri. Oleh karena itu kita perlu pemurnian sapi di pulau itu. Jadi nanti ada proyek keroyokan baik itu LIPI dan Kementan. Pendekatan dengan menggunakan teknologi dan rekayasa teknologi," imbuhnya.
Dengan anggaran Rp 6 miliar/pulau/tahun, Kementan berharap ada manfaat terutama peningkatan produktifitas bibit sapi. Selain itu bibit sapi yang dihasilkan jauh lebih baik bila rata-rata bibit sapi yang ada saat ini.
"Sudah ada anggarannya Rp 6 miliar/pulau di tahun 2014, jadi hasilnya bibit sapi yang dihasilkan akan bersertifikat. Harganya jauh lebih mahal. Kalau di Australia itu harganya antara Rp 40-50 juta/ekor, sapi perah bisa Rp 90 juta/ekor. Jadi akan menggairahkan untuk peternakan," katanya.
"Keturunan yang dihasilkan juga dengan pertumbuhan bobot per harinya itu jauh lebih tinggi bila dibandingkan sapi saat ini. Selisihnya 0,4-0,6 kg/hari. Dengan pakan yang baik bisa 0,9-1,2 kg/hari. Turunannya juga waktu bereproduksi jauh lebih lama bisa 8-9 kali dan setiap tahun pasti beranak. Kesehatan sapi juga meningkat," ujarnya.(wij/dru)
"Optimalisasi populasi sapi kita mengembangkan inseminasi buatan dan embrio transfer. Dengan cara ini kita coba di 10 sapi betina, 6 di antaranya mengalami kehamilan," ungkap Kepala B2 Bioteknologi LIPI Witjaksono saat berdiskusi di Botani Square Bogor, Jawa Barat, Rabu (18/9//2013).
Inseminasi buatan adalah cara membuat hamil sapi betina dengan memasukan sperma indukan sapi jantan terpilih melalui suntikan. Sedangkan embrio transfer tidak jauh berbeda dengan memasukan embrio terbaik kepada sapi betina.
"Intinya dititipkan sperma, nanti ke induk-induk kemudian yang keluar nanti keturunan dan anak yang bagus. Tetapi di sisi yang lain ada peningkatan optimalisasi produktivitas di sana," imbuhnya.
Sementara itu, Peneliti B2 Bioteknologi LIPI Syahrudin mengatakan, 2 metode itu belum terlalu banyak dikembangkan di Indonesia. Padahal di negara Australia dan Selandia Baru 2 metode ini menjadi acuan peningkatan produktivitas populasi sapi.
Ada beberapa masalah teknis mengapa 2 metode tersebut tidak dikembangkan di Indonesia.
"Alasannya kita kekurangan betina produktif. Jelas yang harus diperbaiki adalah mesin produksinya yaitu sapi betina. Jadi yang harus diimpor itu sapi ternak betina bukan sapi bakalan atau daging sapi. Kemudian kalau dilakukan di peternakan rakyat susah. Ingat sapi-sapi di Indonesia dikuasai oleh peternak masyarakat. Masyarakat kita ini sangat tidak siap," jelasnya.
Kementan Gaet LIPI Kembangkan Tempat Penggemukan Sapi di 3 Pulau
Kementerian Pertanian dan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) bekerjasama mengembangkan produktifitas sapi di 3 pulau di Indonesia. Ketiga pulau ini nantinya akan mengembangkan 3 jenis sapi lokal yang berbeda.
"Pulau Raya untuk sapi Aceh, Pulau Nusaprinda untuk sapi Bali, dan Pulau Sapudi sapi Madura," ungkap Dirjen Peternakan dan Kesehatan Hewan Syukur Iwantoro saat berdiskusi dan seminar nasional di Botani Square Bogor, Jawa Barat, Rabu (18/9/2013).
Ketiga jenis sapi lokal tersebut nantinya akan dilakukan pemurnian. Pemurnian dilakukan dengan mengkawinkan sapi sejenis di tempat yang sama. Kawin silang sapi dinilai kurang efektif bahkan mengurangi berat bobot sapi.
"Jadi saat ini sapi bali banyak yang kawin silang dan bobotnya menurun terus. Sama halnya dengan sapi aceh. Ini perlu dimurnikan agar bobotnya tidak kalah dengan sapi di luar negeri. Oleh karena itu kita perlu pemurnian sapi di pulau itu. Jadi nanti ada proyek keroyokan baik itu LIPI dan Kementan. Pendekatan dengan menggunakan teknologi dan rekayasa teknologi," imbuhnya.
Dengan anggaran Rp 6 miliar/pulau/tahun, Kementan berharap ada manfaat terutama peningkatan produktifitas bibit sapi. Selain itu bibit sapi yang dihasilkan jauh lebih baik bila rata-rata bibit sapi yang ada saat ini.
"Sudah ada anggarannya Rp 6 miliar/pulau di tahun 2014, jadi hasilnya bibit sapi yang dihasilkan akan bersertifikat. Harganya jauh lebih mahal. Kalau di Australia itu harganya antara Rp 40-50 juta/ekor, sapi perah bisa Rp 90 juta/ekor. Jadi akan menggairahkan untuk peternakan," katanya.
"Keturunan yang dihasilkan juga dengan pertumbuhan bobot per harinya itu jauh lebih tinggi bila dibandingkan sapi saat ini. Selisihnya 0,4-0,6 kg/hari. Dengan pakan yang baik bisa 0,9-1,2 kg/hari. Turunannya juga waktu bereproduksi jauh lebih lama bisa 8-9 kali dan setiap tahun pasti beranak. Kesehatan sapi juga meningkat," ujarnya.(wij/dru)
0 komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.