Staf Ahli Menteri Perindustrian Bidang Pemasaran dan P3DN Ferry Yahya mendengarkan penjelasan dari General Manager PT. Dwi Sumber Arca Waja Januarso Prihadi mengenai Rig 1500 HP yang digunakan untuk pengeboran migas di daratan pada peninjauan di kawasan industri Kabil, Batam, Jumat (14/11). (Kemenperin.go.id)
Sebagian dari kita mungkin belum tahu bahwa anak bangsa dari negeri ini sudah mampu membuat rig pengeboran minyak dan gas.
Bahkan menjadi satu-satunya produsen yang mampu membuat drilling rig 2.000HP untuk on-shore (di atas tanah) yang bergerak secara otomotis untuk berpindah dari satu area ke area lain.
"Rig ini bisa mengefisienkan biaya dan waktu pengeboran," kata Probo dari PT Citra Tubindo Engineering pada forum kelompok diskusi (FGD) tentang penggunaan produksi dalam negeri, di Batam, Kepulauan Riau, akhir pekan ini.
Biasanya harga sewa satu bangunan dengan peralatan untuk melakukan pengeboran ke dalam bawah tanah itu bisa mencapai 200 ribu dolar AS per hari. Namun dengan rig buatan Indonesia itu waktu dan biaya bisa lebih efisien, karena rig bisa dipindah secara robotik.
Sayangnya, banyak produk canggih dan bagus itu yang sudah bisa dibuat negeri ini lebih sering diekspor atau dipakai orang asing, dibandingkan dibeli atau digunakan di dalam negeri.
"Izinnya lebih mudah untuk ekspor. Kalau (masuk) ke dalam negeri perizinannya sulit," kata GM PT Dwi Sumber Arca Waja (DSAW) Januarso Prihadi. DSAW merupakan produsen pipa baja berukuran besar yang beroperasi di Batam.
Banyak produsen lain di dalam negeri yang memiliki nasib serupa dengan dua perusahaan di Batam tersebut.
Mereka memiliki produk canggih dan berkualitas tinggi, namun sedikit sekali dibeli atau dipakai oleh konsumen di negeri sendiri, termasuk belanja pemerintah, sehingga memilih ekspor.
Padahal Indonesia memiliki potensi pasar yang besar, tidak hanya dari jumlah penduduk, tapi juga banyak proyek pemerintah yang dibiayai Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang bisa menjadi andalan produsen nasional.
Keberpihakan
Pemerintah sebenarnya sudah banyak mengeluarkan peraturan untuk mendorong peningkatan penggunaan produksi dalam negeri (P3DN), terutama untuk belanja yang menggunakan dana APBN.
Pada 2009 pemerintah menerbitkan Inpres Nomor 2 tentang Penggunaan Produksi Dalam Negeri untuk Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, kemudian berlanjut dengan Perpres Nomor 54 Tahun 2010 Jo Perpres Nomor 70 Tahun 2012 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.
Selain itu pemerintah melalui Kementerian Perindustrian mengeluarkan Peraturan Menteri Perindustrian (Permenperin) Nomor 2/M-IND/PER/1/2014 dan Nomor 3 di tahun yang sama, tentang pedoman penggunaan produksi dalam negeri untuk pengadaan barang/jasa.
Bahkan sejak 2011, Kemenperin melalui Permenperin Nomor 16/M-IND/PER/2/2011 telah memberi ketentuan lebih rinci bagaimana menghitung tingkat komponen dalam negeri (TKDN) agar produk/jasa domestik bisa mendapat preferensi harga 15 persen yang diverifikasi langsung surveyor untuk mengikuti tender pemerintah.
Artinya produk/jasa dalam negeri bisa memenangi tender pemerintah meskipun harganya 15 persen lebih mahal dari produk/jasa sejenis yang berasal dari impor.
Sayangnya, menurut Staf Ahli Menperin Bidang Pemasaran dan P3DN Ferry Yahya, maupun pengusaha yang hadir dalam forum diskusi kelompok (FGD) di Batam itu, keberpihakan instansi pemerintah serta BUMN/BUMD pada penggunaan produksi dalam negeri masih beragam, kalau tidak ingin dikatakan minim.
Banyak instansi pemerintah termasuk BUMN/BUMD cenderung lebih suka menggunakan produk impor. Ferry menyinggung soal belanja alat kesehatan yang hanya lima persen membeli produk dalam negeri dari anggaran mencapai sekitar Rp30 triliun.
Ia memperkirakan total belanja barang/jasa pemerintah sendiri setiap tahun bisa mencapai lebih dari Rp400 triliun. Itu belum termasuk belanja BUMN/BUMD, yang diperkirakan bisa mencapai seribu triliun rupiah.
"Kami terus berupaya P3DN ini bisa tumbuh, terutama dari belanja pemerintah, agar industri berkembang dan mampu menyerap tenaga kerja," ujarnya.
Diakui Ferry, memang tidak semua kebutuhan belanja pemerintah bisa dipenuhi industri nasional. Namun, lanjut dia, untuk barang/jasa yang sudah bisa diproduksi oleh negeri ini, sepatutnya, terutama instansi pemerintah membeli produk/jasa tersebut.
"Target kami setidaknya penggunaan produksi dalam negeri dari belanja pemerintah bisa mencapai 40 persen, agar industri bisa tumbuh, memberi lapangan pekerjaan yang banyak, dan menyejahterakan masyarakat," ujarnya lagi mengulang penting dan manfaat P3DN.
Mahal
Seringkali yang menjadi alasan pengguna anggaran di instansi pemerintah, BUMN maupun BUMD, tidak membeli barang/jasa dalam negeri karena harganya lebih mahal dari impor.
"Tuduhan itu tidak benar. Terbukti produk dalam negeri bisa diekspor dan bersaing dengan harga produk luar negeri," kata Ketua Asosiasi Produsen Pipa Pemboran Migas Indonesia (Apropipe) Willem Siahaya.
Menurut dia, jika dibandingkan dengan produk impor, produk Indonesia lebih memberi kontribusi banyak di dalam negeri, mulai dari investasi, pajak (PPN, Pajak Pendapatan, dan PPh21), hingga konservasi lingkungan dan energi, pemberdayaan sumber daya manusia serta CSR.
"Kewajiban/kontribusi industri/produk dalam negeri bobotnya bisa mencapai 43 persen untuk negeri ini, dibandingkan impor yang nol persen," katanya.
Oleh karena itu, lanjut Willlem, harusnya pemerintah bahkan mengizinkan preferensi harga hingga 43 persen untuk produk/jasa dalam negeri -- yang telah memiliki TKDN 40 persen -- ketika mengikuti tender yang dibiayai negara.
Menanggapi hal itu, Ferry Yahya mengatakan pihaknya berencana menaikkan preferensi harga dari 15 menjadi 20-25 persen pada RPP Pemberdayaan Industri dan Pengamanan dan Penyelamatan Industri.
"RPP-nya sudah siap, tinggal diharmonisasi antar kementerian," ujarnya.
Bahkan Ferry mengatakan pihaknya terus melakukan sosialisasi program P3DN ini, tidak saja ke instansi pemerintah, namun juga Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk memberi pemahaman keberpihakan penggunaan produksi/jasa dalam negeri pada belanja pemerintah.
"Kalau perlu (belanja negara) yang tidak menggunakan produksi/jasa dalam negeri dianggap korupsi," katanya dengan nada tinggi.
Jika itu terjadi, maka "harga mati" bagi pengadaan barang dan jasa yang menggunakan APBN untuk membeli karya dari negeri sendiri.
"Jangan malu nyatakan kita punya P3DN, karena faktanya berlaku di negara lain, seperti Amerika Serikat dengan Buy American Act," ujar Ferry.
Sebagian dari kita mungkin belum tahu bahwa anak bangsa dari negeri ini sudah mampu membuat rig pengeboran minyak dan gas.
Bahkan menjadi satu-satunya produsen yang mampu membuat drilling rig 2.000HP untuk on-shore (di atas tanah) yang bergerak secara otomotis untuk berpindah dari satu area ke area lain.
"Rig ini bisa mengefisienkan biaya dan waktu pengeboran," kata Probo dari PT Citra Tubindo Engineering pada forum kelompok diskusi (FGD) tentang penggunaan produksi dalam negeri, di Batam, Kepulauan Riau, akhir pekan ini.
Biasanya harga sewa satu bangunan dengan peralatan untuk melakukan pengeboran ke dalam bawah tanah itu bisa mencapai 200 ribu dolar AS per hari. Namun dengan rig buatan Indonesia itu waktu dan biaya bisa lebih efisien, karena rig bisa dipindah secara robotik.
Sayangnya, banyak produk canggih dan bagus itu yang sudah bisa dibuat negeri ini lebih sering diekspor atau dipakai orang asing, dibandingkan dibeli atau digunakan di dalam negeri.
"Izinnya lebih mudah untuk ekspor. Kalau (masuk) ke dalam negeri perizinannya sulit," kata GM PT Dwi Sumber Arca Waja (DSAW) Januarso Prihadi. DSAW merupakan produsen pipa baja berukuran besar yang beroperasi di Batam.
Banyak produsen lain di dalam negeri yang memiliki nasib serupa dengan dua perusahaan di Batam tersebut.
Mereka memiliki produk canggih dan berkualitas tinggi, namun sedikit sekali dibeli atau dipakai oleh konsumen di negeri sendiri, termasuk belanja pemerintah, sehingga memilih ekspor.
Padahal Indonesia memiliki potensi pasar yang besar, tidak hanya dari jumlah penduduk, tapi juga banyak proyek pemerintah yang dibiayai Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang bisa menjadi andalan produsen nasional.
Keberpihakan
Pemerintah sebenarnya sudah banyak mengeluarkan peraturan untuk mendorong peningkatan penggunaan produksi dalam negeri (P3DN), terutama untuk belanja yang menggunakan dana APBN.
Pada 2009 pemerintah menerbitkan Inpres Nomor 2 tentang Penggunaan Produksi Dalam Negeri untuk Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, kemudian berlanjut dengan Perpres Nomor 54 Tahun 2010 Jo Perpres Nomor 70 Tahun 2012 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.
Selain itu pemerintah melalui Kementerian Perindustrian mengeluarkan Peraturan Menteri Perindustrian (Permenperin) Nomor 2/M-IND/PER/1/2014 dan Nomor 3 di tahun yang sama, tentang pedoman penggunaan produksi dalam negeri untuk pengadaan barang/jasa.
Bahkan sejak 2011, Kemenperin melalui Permenperin Nomor 16/M-IND/PER/2/2011 telah memberi ketentuan lebih rinci bagaimana menghitung tingkat komponen dalam negeri (TKDN) agar produk/jasa domestik bisa mendapat preferensi harga 15 persen yang diverifikasi langsung surveyor untuk mengikuti tender pemerintah.
Artinya produk/jasa dalam negeri bisa memenangi tender pemerintah meskipun harganya 15 persen lebih mahal dari produk/jasa sejenis yang berasal dari impor.
Sayangnya, menurut Staf Ahli Menperin Bidang Pemasaran dan P3DN Ferry Yahya, maupun pengusaha yang hadir dalam forum diskusi kelompok (FGD) di Batam itu, keberpihakan instansi pemerintah serta BUMN/BUMD pada penggunaan produksi dalam negeri masih beragam, kalau tidak ingin dikatakan minim.
Banyak instansi pemerintah termasuk BUMN/BUMD cenderung lebih suka menggunakan produk impor. Ferry menyinggung soal belanja alat kesehatan yang hanya lima persen membeli produk dalam negeri dari anggaran mencapai sekitar Rp30 triliun.
Ia memperkirakan total belanja barang/jasa pemerintah sendiri setiap tahun bisa mencapai lebih dari Rp400 triliun. Itu belum termasuk belanja BUMN/BUMD, yang diperkirakan bisa mencapai seribu triliun rupiah.
"Kami terus berupaya P3DN ini bisa tumbuh, terutama dari belanja pemerintah, agar industri berkembang dan mampu menyerap tenaga kerja," ujarnya.
Diakui Ferry, memang tidak semua kebutuhan belanja pemerintah bisa dipenuhi industri nasional. Namun, lanjut dia, untuk barang/jasa yang sudah bisa diproduksi oleh negeri ini, sepatutnya, terutama instansi pemerintah membeli produk/jasa tersebut.
"Target kami setidaknya penggunaan produksi dalam negeri dari belanja pemerintah bisa mencapai 40 persen, agar industri bisa tumbuh, memberi lapangan pekerjaan yang banyak, dan menyejahterakan masyarakat," ujarnya lagi mengulang penting dan manfaat P3DN.
Mahal
Seringkali yang menjadi alasan pengguna anggaran di instansi pemerintah, BUMN maupun BUMD, tidak membeli barang/jasa dalam negeri karena harganya lebih mahal dari impor.
"Tuduhan itu tidak benar. Terbukti produk dalam negeri bisa diekspor dan bersaing dengan harga produk luar negeri," kata Ketua Asosiasi Produsen Pipa Pemboran Migas Indonesia (Apropipe) Willem Siahaya.
Menurut dia, jika dibandingkan dengan produk impor, produk Indonesia lebih memberi kontribusi banyak di dalam negeri, mulai dari investasi, pajak (PPN, Pajak Pendapatan, dan PPh21), hingga konservasi lingkungan dan energi, pemberdayaan sumber daya manusia serta CSR.
"Kewajiban/kontribusi industri/produk dalam negeri bobotnya bisa mencapai 43 persen untuk negeri ini, dibandingkan impor yang nol persen," katanya.
Oleh karena itu, lanjut Willlem, harusnya pemerintah bahkan mengizinkan preferensi harga hingga 43 persen untuk produk/jasa dalam negeri -- yang telah memiliki TKDN 40 persen -- ketika mengikuti tender yang dibiayai negara.
Menanggapi hal itu, Ferry Yahya mengatakan pihaknya berencana menaikkan preferensi harga dari 15 menjadi 20-25 persen pada RPP Pemberdayaan Industri dan Pengamanan dan Penyelamatan Industri.
"RPP-nya sudah siap, tinggal diharmonisasi antar kementerian," ujarnya.
Bahkan Ferry mengatakan pihaknya terus melakukan sosialisasi program P3DN ini, tidak saja ke instansi pemerintah, namun juga Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk memberi pemahaman keberpihakan penggunaan produksi/jasa dalam negeri pada belanja pemerintah.
"Kalau perlu (belanja negara) yang tidak menggunakan produksi/jasa dalam negeri dianggap korupsi," katanya dengan nada tinggi.
Jika itu terjadi, maka "harga mati" bagi pengadaan barang dan jasa yang menggunakan APBN untuk membeli karya dari negeri sendiri.
"Jangan malu nyatakan kita punya P3DN, karena faktanya berlaku di negara lain, seperti Amerika Serikat dengan Buy American Act," ujar Ferry.
0 komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.