Sejalan lobi Departemen Kehakiman AS yang minta konsumen diawasi.
Akses untuk mendapatkan dan menyebarkan informasi melalui Internet semakin mudah dan cepat. Bagi aparat keamanan, kecanggihan teknologi yang ditawarkan Internet itulah yang juga digunakan para teroris. Lembaga khusus PBB sudah mendeteksi tren itu.
Dalam laporan berjudul "Penggunaan Internet untuk Tujuan-tujuan Teroris," jaringan media sosial dan moda-moda komunikasi lainnya di Internet telah menjadi cara baru dalam menebarkan aktivitas teroris. Laporan itu diterbitkan Kantor PBB Urusan Narkoba dan Kejahatan (UNODC) dan diumumkan di Wina, Austria, pada 22 Oktober 2012.
"Ini kali pertama adanya laporan demikian, dan diproduksi bekerjasama dengan Gugus Tugas PBB untuk Implementasi Kontra Terorisme," demikian pernyataan UNODC di situs resmi.
Laporan setebal 148 halaman itu menyebut setidaknya ada tiga laman media sosial terkemuka - yaitu Facebook, Twitter, dan YouTube - yang selama ini sudah digunakan para teroris sebagai media efektif dalam menghimpun calon-calon rekrutan baru. Ini mengingat tiga laman itu telah populer di penjuru dunia dan dapat diakses di mana saja.
Selain merekrut calon anggota, ungkap laporan UNODC, laman-laman media sosial itu juga dimanfaatkan para kelompok teroris untuk membiayai, menyebarkan propaganda, melatih dan menyuruh para pengikut untuk melaksanakan aksi-aksi terorisme. Dari media sosial itu pula mereka mengumpulkan dan menyebarkan informasi untuk tujuan-tujuan teror.
"Penggunaan internet bagi tujuan-tujuan teror ini tidak mengenal batas-batas negara, sehingga menguatkan dampak potensial atas para korban," demikian laporan dari UNODC. Laporan itu disusun dengan kerjasama dari Gugus Tugas PBB untuk Penerapan Kontra-Terorisme, yang juga beranggotakan Bank Dunia, Interpol, Organisasi Kesehatan Internasional, dan Dana Moneter Internasional.
Saat meluncurkan laporan itu, Direktur Eksekutif UNODC, Yury Fedotov, mengatakan para teroris pengguna teknologi komunikasi canggih sering melibatkan Internet menjangkau para pengguna lain di penjuru dunia karena bisa menggunakan identitas anonim, dan biayanya pun murah. "Saat penggunaan Internet di kalangan warga biasa yang taat hukum meningkat dalam beberapa tahun terakhir, organisasi-organisasi teroris juga memanfaatkan jaringan global dari Internet ini untuk banyak tujuan yang berbeda," kata Fedotov.
UNODC juga mendeteksi materi yang dulunya hanya disebarkan secara terbatas kini sudah bisa disebarluaskan ke banyak tempat melalui Internet. "Materi demikian bisa didistribusi dengan menggunakan serangkaian sarana, seperti laman khusus, ruang chat dan forum, majalah daring, laman-laman jejaring sosial seperti Twitter dan Facebook, serta laman berbagi data video yang tengah populer seperti YouTube dan Rapidshare," demikian laporan UNODC.
Sebelum populernya penggunaan Internet, menurut laporan itu, informasi terkait kegiatan terorisme sulit untuk disebarluaskan melalui media-media fisik seperti cakram digital, baik CD-ROM maupun DVD. Maka dengan adanya laman-laman jejaring sosial, makin mudah bagi para teroris untuk menyebarluaskan materi perekrutan dan propaganda kepada para simpatisan.
Apalagi kini makin banyak orang yang bisa mengakses Internet dengan peralatan yang kian canggih dengan harga terjangkau dan mereka bisa mengakses internet dengan layanan nirkabel (wifi) di segala tempat, semisal di kafe, bandara, maupun perpustakaan.
"Di abad masyarakat Internet, bentuk-bentuk baru komunikasi massa dan distribusi informasi itu bisa diciptakan hampir setiap hari. Di laman Twitter, misalnya, sudah menjadi alat percakapan global, sedangkan Facebook bertujuan untuk menjangkau orang banyak dan mendorong mereka untuk berbagi banyak informasi," demikian petikan laporan UNODC.
Laporan ini, yang juga sudah dikutip banyak media daring (online) mancanegara, juga menunjukkan bahwa mesin pencari di Internet juga mempermudah menemukan materi yang diunggah teroris di suatu laman. Tidak hanya itu, fasilitas di Internet seperti message board dan forum juga memungkinkan para teroris untuk berkorespondensi dengan banyak pengguna.
Itulah sebabnya, menurut Fedotov, UNODC juga mengupayakan langkah-langkah antisipatif dengan memberi panduan praktis bagi penyelidikan dan penindakan kasus-kasus pemanfaatkan Internet untuk terorisme.
Melalui sejumlah contoh nyata dari beberapa kasus, laporan ini juga menelusuri instrumen hukum negara-negara anggota UNODC dalam menangani penggunaan Internet oleh teroris. Laporan ini juga memaparkan sejumlah kesulitan yang dihadapi negara-negara anggota dalam mengkriminalkan dan menindak perbuatan itu.
UNODC juga berupaya memberi panduan atas kerangka hukum dan praktik nyata di tingkat nasional dan internasional terkait dengan pemidanaan, investigasi, dan pendakwaan kasus-kasus terorisme melalui Internet.
Lembaga PBB itu pun menekankan perlunya penyesuaian kerjasama antara sistem-sistem hukum pidana dengan sektor swasta. Selain itu ditekankan juga kerjasama internasional, terutama dalam perolehan dan dokumentasi data-data terkait Internet di wilayah yurisdiksi yang berbeda-beda.
"Salah satu masalah besar yang dihadapi semua institusi penegak hukum adalah kurangnya suatu kerangka kerja yang telah disepakati secara internasional dalam memperoleh data dari penyedia jasa internet (ISP)," ujar laporan itu. Selama ini hanya Eropa yang baru memiliki peraturan atas perolehan data secara wajib.
Tanggapan Facebook
Sementara itu, pengelola Facebook menyambut baik temuan dari PBB soal pemanfaatan produk mereka oleh teroris. Ini merupakan efek samping dari semakin mudah dan makin cepatnya akses mendapatkan dan menyebarkan informasi melalui Internet.
"Seperti yang ditunjukkan secara sangat jelas di laporan PBB itu, ini merupakan perhatian bagi setiap platform komunikasi di zaman digital ini - mulai dari ponsel, jejaring sosial, hingga mesin pencari dan layanan berbagai video," ujar seorang juru bicara Facebook kepada laman AllThingsD.com.
Terungkap pula bahwa Facebook dan Youtube pun punya mekanisme tersendiri dalam mendeteksi materi-materi yang sensitif, termasuk propaganda teroris dan pidato yang mengandung kebencian. "Kebijakan kami sangat jelas dalam melarang pujian, dukungan, atau perwakilan terorisme, kelompok maupun individu teroris, dan perbuatan terorisme," ujarnya.
Juru bicara yang tidak disebutkan namanya itu juga mengutarakan bahwa pada dasarnya tidak ada tempat di Facebook bagi mereka yang mempromosikan kekerasan. "Kami mencurahkan sumber daya secara signifikan untuk mencegah apapun upaya pengguna untuk menyalahgunakan layanan kami," ungkap dia.
Menurut Cnet, laporan PBB itu sejalan dengan upaya lobi-lobi dari Departemen Kehakiman AS dalam menyakinkan Kongres (parlemen) untuk mengharuskan para penyedia jasa internet (ISP) untuk tetap memantau para konsumen. Pengawasan ini berguna bila aparat berwenang ingin mendapatkan rekaman data.
Lobi ini sudah disetujui oleh komite di DPR, namun awal tahun ini mendapat tentangan keras dari kalangan aktivis HAM. Mereka melihat langkah itu sebagai pengekangan hak individu mendapatkan dan menyalurkan informasi.(np)
© VIVA.co.id
0 komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.