Kilang minyak lepas pantai di Selat Malaka di Provinsi Riau |
Marwan menjelaskan, sejak masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dimulai 2004 silam, tercatat puluhan penandatangan nota kesepahaman (memorandum of understanding/MoU), telah ditandatangani. Akan tetapi, realisasi berupa eksekusi pembangunan kilang minyak tidak pernah terwujud hingga menjelang berakhirnya masa kabinet Indonesia Bersatu II. "Saya curigai ini ada unsur kesengajaan," kata Marwan.
Lebih lanjut, Marwan mengatakan, pemerintah harus memiliki orientasi yang tegas dalam pembangunan kilang minyak. Apakah dalam rangka bisnis atau dalam rangka ketahanan energi. Salah satu dari dua poin tersebut, harus dipilih pemerintah. "Kilang tidak bisa dibangun jika dua unsur ini ingin dimasukkan," kata Marwan.
Jika dalam rangka ketahanan energi, Marwan menilai wajar jika investor meminta keringanan pajak. Sebagaimana yang diminta salah satu investor yang urung membangun kilang yaitu Kuwait Petroleum Corporation (KPC).
KPC meminta tax holiday hingga 30 tahun namun ditolak pemerintah dengan dalih Peraturan Menteri Keuangan PMK Nomor 130/PMK/011/2011 tentang Pemberian Fasilitas Pembebasan atau Pengurangan Pajak Penghasilan Badan, hanya berjangka waktu maksimal 10 tahun. "Jika kilang dibangun, pajak tetap ada. Kita ini tidak mempunya uang, tapi meminta investor dengan syarat yang tidak memenuhi kepentingan investor," ujar Marwan.
Konsultasi pasar ini merupakan bagian dari tender internasional pembangunan kilang minyak di dalam negeri. Keikutsertaan Singapura yang mengekspor kurang lebih 700 ribu barel minyak mentah dan BBM ke Indonesia setiap harinya patut diwaspadai. Sebab, kata Marwan, ketahanan energi dalam negeri tak sepenuhnya bisa terjamin. Dalam konsultasi pasar yang dijadwalkan hari ini, tak kurang dari 20 perusahaan minyak multinasional dikabarkan siap menghadiri undangan yang disampaikan pemerintah.
0 komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.