Situs Gunung Padang (Gatra/Wisnu Prabowo) |
Beberapa penelitian telah dilakukan sejak tahun 1979 oleh berbagai instansi dan beberapa peneliti, baik secara tim maupun individu. Pada 1998, pemerintah melalui Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan menyatakan situs ini sebagai benda cagar budaya. Kemudian situs ini menjadi salah satu lokasi wisata untuk masyarakat umum.
Berbagai penelitian pasca-1998 juga terus dilakukan oleh berbagai tim dan peneliti, antara lain berupa survei dan ekskavasi arkeologi.
Penelitian Tim Katastropik Purba tahun 2011 bisa dibilang membuka babak baru penelitian di situs Gunung Padang.
Selanjutnya, pada 2012-2013, Tim Terpadu Riset Mandiri (TTRM) memperoleh sejumlah temuan penting dan mencengangkan. Salah satunya, Situs Gunung Padang ternyata jauh lebih tua, lebih tinggi, dan lebih besar daripada Candi Borobudur!
Sejumlah pihak mempunyai pandangan berbeda mengenai situs Gunung Padang. Perbedaan pandangan itulah yang kemudian melahirkan kontroversi. Awalnya saya selaku arkeolog di TTRM tidak ingin menanggapi kontroversi tersebut.
Akan lebih menarik untuk membahas proses dan sosialisasi hasil penelitian. Namun mengingat situs ini pernah dilupakan selama 65 tahun, saya akan menanggapi beberapa kontroversi agar situs ini tidak dilupakan lagi.
Semoga tulisan ini akan memacu penelitian berikutnya dan kontroversi yang tersisa dapat diselesaikan dengan hasil penelitian ilmiah.
Terdapat beberapa tulisan pada GATRA edisi sebelumnya yang membahas situs Gunung Padang. Keseluruhan pandangan yang tersaji pada tulisan-tulisan tersebut sesungguhnya dapat ditanggapi, namun tentu tidak semuanya dapat disajikan pada tulisan yang terbatas secara jumlah halaman ini.
Dalam buku Situs Gunung Padang: Misteri dan Arkeologi (2013) setebal lebih dari 200 halaman telah diuraikan panjang lebar mengenai sejumlah misteri yang akhirnya menuai kontroversi, namun sebagian akhirnya telah diselesaikan menggunakan ilmu arkeologi.
Ilmu arkeologi yang digunakan oleh TTRM adalah ilmu yang diterapkan bersama-sama, bersinergi, bahu membahu dengan ilmu lain yakni geologi, teknik arsitektur, teknik sipil, biologi, filologi, dan lainnya.
Kontroversi lahir salah satunya karena beberapa pihak membahas mengenai rumor dari mulut ke mulut bahwa di bawah Gunung Padang terdapat emas yang luar biasa banyaknya.
TTRM yang melakukan penelitian di situs Gunung Padang akhirnya dianggap mencari harta karun. Padahal, penelitian di situs ini sudah dilakukan sejak tahun 1979. Mengapa tim-tim sebelumnya atau para peneliti terdahulu tidak disebut-sebut mencari harta karun?
Beberapa pihak menanggapi rumor harta karun, emas, dan sebagainya padahal bukan itu yang dicari oleh para peneliti TTRM. TTRM bekerja atas dasar hasil riset Tim Katastropik Purba.
Inisiator Tim Katastropik Purba adalah Andi Arief, Staf Khusus Presiden Bidang Bantuan Sosial dan Bencana. Andi Arief mencoba bekerja berdasarkan riset bencana masa silam untuk mengetahui lokasi-lokasi terjadinya bencana, waktunya, dan kemungkinan pengulangannya untuk mitigasi atau kesiapsiagaan jika terjadi lagi pada masa kini.
Tim yang terdiri atas para ahli geologi atau ilmu kebumian ini telah meneliti di berbagai wilayah di Indonesia, seperti di Aceh, Sumatera Utara, Sulawesi Tengah, dan sebagainya termasuk di Jawa Barat.
Riset di Jawa Barat, antara lain di Gunung Padang di Cianjur memperlihatkan kemungkinan keterkaitan antara punahnya peradaban masa silam di Gunung Padang akibat bencana alam berupa gempa bumi.
TTRM Gunung Padang: Bukan Mencari Harta Karun
Mengingat Gunung Padang merupakan situs arkeologi prasejarah, dibentuklah tim tersendiri yang disebut TTRM. TTRM melibatkan arkeolog dan menerapkan pendekatan terpadu, yakni gabungan metode dan teknik dari berbagai disiplin ilmu serta bekerja sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku, khususnya pelestarian situs sesuai Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya.
Para peneliti mau terlibat di TTRM karena menghormati permintaan resmi secara tertulis yang dikirimkan oleh instansi resmi pemerintah untuk melakukan penelitian ilmiah.
Beberapa sukarelawan direkrut secara terbuka, namun tentu harus memiliki latar belakang keilmuan, yakni ilmu-ilmu yang diterapkan dalam penelitian Gunung Padang oleh TTRM.
Para peneliti juga menghargai adanya keinginan untuk melakukan riset secara seksama sebagai dasar pengambilan suatu keputusan. Pihak-pihak yang ingin mengembangkan budaya riset tentu harus didukung.
Permasalahan penelitian yang diusung oleh TTRM seperti apa bentuk situs ini sesungguhnya, apa aktivitas yang dilakukan oleh masyarakat masa lalu di situs ini, dan kapan situs ini dibuat kemudian ditinggalkan.
Salah satu manfaat penelitian mengetahui mengapa dan kapan situs ini ditinggalkan serta adakah konstruksi bangunan yang dirancang secara khusus karena bangunan Gunung Padang berada di Sesar Cimandiri yang kerap menghasilkan gempa bumi.
Masyarakat masa lalu tentunya sadar telah membangun di daerah tersebut. Peneliti TTRM berharap dapat menemukan pengetahuan atau kearifan masyarakat masa lalu sehingga dapat menjadi pelajaran bagi masyarakat masa kini.
Bagi ilmuwan dan peneliti, harta karun yang terpendam adalah ilmu pengetahuan yang telah terkubur dan terlupakan. TTRM berusaha menggali kembali pengetahuan-pengetahuan tersebut dan salah satunya menemukan berbagai teknik konstruksi untuk meredam gempa pada masa lalu.
Ternyata situs Gunung Padang dibangun dengan teknik konstruksi yang tidak sederhana, bahkan tergolong maju meskipun berasal dari periode yang tergolong tua. Masyarakat pra-sejarah Gunung Padang bahkan telah menguasai metalurgi, khususnya peleburan logam besi.
Kontroversi berikutnya adalah penyebutan piramida. Patut dibedakan antara piramida ala Mesir dan bentuk geometri piramida. Bentuk geometri piramida juga terdapat di Indonesia, misalnya di Candi Borobudur.
Penyebutan istilah piramida tidak serta merta harus dikaitkan dengan Piramida Mesir. Situs Gunung Padang berbentuk punden berundak, yakni istilah yang digunakan oleh para arkeolog Indonesia untuk menyebut bentuk bangunan memanjang ke belakang dengan terdapat undakan-undakan yang semakin ke belakang letaknya semakin tinggi.
Dalam literatur yang ditulis para ahli mancanegara, bentuk serupa punden berundak dalam bahasa Inggris disebut stepped pyramid. Bapak Arkeologi Prasejarah Indonesia, Prof. Dr. R.P. Soejono pernah menulis artikel ilmiah tentang situs Gunung Padang.
Artikel tersebut bersama-sama dengan artikel lain dari para ahli prasejarah Asia kemudian diterbitkan di Seoul dengan judul Megalithic Cultures in Asia (1982). Dalam artikelnya, Soejono menerjemahkan situs Gunung Padang yang berbentuk punden berundak sebagai stepped pyramid.
Selamat datang di Gunung Padang!
Kontroversi selanjutnya mengenai usia situs Gunung Padang. Berdasarkan penelusuran beberapa hasil penelitian terdahulu di situs Gunung Padang ternyata tidak pernah ada uji pertanggalan absolut (absolute chronology) sejak tahun 1979 sampai akhirnya Tim Katastropik Purba melakukannya pada 2011.
Hasil penelitian sebelumnya umumnya menyampaikan perkiraan usia secara relatif, misalnya, dibandingkan dengan situs lainnya. Di dalam ilmu arkeologi, untuk mengetahui usia situs secara akurat menggunakan uji pertanggalan absolut, misalnya carbon dating (C-14) dan tentu saja dilakukan di situs tersebut.
Carbon dating merupakan salah satu metode pengujian usia dengan meneliti karbon yang masih tersisa pada material organik misalnya kayu dari masa lalu.
Sampel-sampel yang diperoleh Tim Katastropik Purba dan TTRM berasal dari situs Gunung Padang. Sampel diperoleh dengan metode ilmiah, yakni pengeboran dan ekskavasi arkeologi. Sampel diuji di laboratorium Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN) di Jakarta dan sebagai pembanding juga diuji di Laboratorium Beta Analytic di Miami, Amerika Serikat.
Salah satu sampel paleosoil berusia 4700 Sebelum Masehi (SM). Usia sampel tersebut lebih tua dibandingkan piramida di Mesir yang berusia sekitar 2500 SM maupun peradaban Mesopotamia yang berusia sekitar 4000 SM.
Selain itu, hasil ekskavasi arkeologi memperoleh sampel karbon tepat di atas struktur batu susunan manusia masa lalu. Pada kedalaman 2 meter diperoleh arang sisa pembakaran aktivitas manusia yang setelah diuji di laboratorium menghasilkan usia 7.095 (plus-minus --AGZ) 60 tahun BP (sekitar 5200 SM atau 7.200 tahun yang lalu).
Berdasarkan pemindaian geofisika oleh ahli geologi Dr. Danny Hilman dan para geolog TTRM menggunakan geolistrik, georadar, dan geomagnet, diperoleh citra-citra di bawah permukaan tanah (subsurface) situs Gunung Padang terdapat anomali atau bentuk-bentuk yang tidak alamiah.
Berdasarkan hasil pengeboran yang dilakukan mantan Ketua Ikatan Ahli Geologi Indonesia (IAGI) Dr. Andang Bachtiar juga terdapat indikasi campur tangan manusia masa lalu sampai kedalaman 7 meter.
Berdasarkan hasil penelusuran literatur, hanya Tim Katastropik Purba dan TTRM yang menggunakan metode gabungan antara pengamatan permukaan secara seksama, pengeboran, dan geofisika untuk mengidentifikasi kondisi di bawah permukaan tanah.
Metode pengeboran dan geofisika telah digunakan para arkeolog luar negeri sejak tahun 1990-an. Namun, penerapan metode lintas disiplin seperti itu tergolong langka dalam penelitian di situs-situs arkeologi di Indonesia.
Salah satu pertimbangan ahli arkeologi untuk menentukan lokasi ekskavasi berdasarkan identifikasi ahli geologi. Upaya ini dilakukan, karena situs umumnya cukup besar, sementara kotak gali ekskavasi arkeologi tergolong berukuran kecil.
Dengan berkembangnya teknologi geofisika yang sangat canggih, saat ini para ahli arkeologi dapat lebih mudah menentukan lokasi ekskavasi secara akurat, cepat, dan menghemat waktu.
Satu hal yang dapat disampaikan oleh saya selaku arkeolog, hasil ekskavasi arkeologi sampai kedalaman 4,2 meter terdapat kesesuaian fakta arkeologi dengan data geofisika dan data pengeboran yang diperoleh para ahli geologi TTRM.
Berdasarkan temuan di kotak gali, pada kedalaman 2 meter terdapat struktur batu buatan manusia. Struktur ini masih ditemukan sampai kedalaman 4,2 meter dan belum diketahui akan berlanjut sampai kedalaman berapa meter.
Situs Gunung Padang dari masa prasejarah kemungkinan terus digunakan pada masa berikutnya, antara lain masa Sunda Kuno (sekitar abad VIII-XVI Masehi).
Dalam ilmu arkeologi, situs yang digunakan selama beberapa periode disebut multicomponent site. TTRM melibatkan ahli filologi yang mempelajari naskah kuno yakni Dr. Undang Darsa.
Hasil kajiannya menunjukkan kemungkinan situs Gunung Padang pernah digunakan sebagai kabuyutan, yakni semacam pusat kekuatan batin.
Tentu saja masih banyak yang belum terungkap di situs Gunung Padang oleh TTRM. Perlu penelitian lanjutan sekaligus mungkin mengoreksi hasil penelitian TTRM. Selamat datang di Gunung Padang!
[Ali Akbar, Arkeolog]Kontroversi selanjutnya mengenai usia situs Gunung Padang. Berdasarkan penelusuran beberapa hasil penelitian terdahulu di situs Gunung Padang ternyata tidak pernah ada uji pertanggalan absolut (absolute chronology) sejak tahun 1979 sampai akhirnya Tim Katastropik Purba melakukannya pada 2011.
Hasil penelitian sebelumnya umumnya menyampaikan perkiraan usia secara relatif, misalnya, dibandingkan dengan situs lainnya. Di dalam ilmu arkeologi, untuk mengetahui usia situs secara akurat menggunakan uji pertanggalan absolut, misalnya carbon dating (C-14) dan tentu saja dilakukan di situs tersebut.
Carbon dating merupakan salah satu metode pengujian usia dengan meneliti karbon yang masih tersisa pada material organik misalnya kayu dari masa lalu.
Sampel-sampel yang diperoleh Tim Katastropik Purba dan TTRM berasal dari situs Gunung Padang. Sampel diperoleh dengan metode ilmiah, yakni pengeboran dan ekskavasi arkeologi. Sampel diuji di laboratorium Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN) di Jakarta dan sebagai pembanding juga diuji di Laboratorium Beta Analytic di Miami, Amerika Serikat.
Salah satu sampel paleosoil berusia 4700 Sebelum Masehi (SM). Usia sampel tersebut lebih tua dibandingkan piramida di Mesir yang berusia sekitar 2500 SM maupun peradaban Mesopotamia yang berusia sekitar 4000 SM.
Selain itu, hasil ekskavasi arkeologi memperoleh sampel karbon tepat di atas struktur batu susunan manusia masa lalu. Pada kedalaman 2 meter diperoleh arang sisa pembakaran aktivitas manusia yang setelah diuji di laboratorium menghasilkan usia 7.095 (plus-minus --AGZ) 60 tahun BP (sekitar 5200 SM atau 7.200 tahun yang lalu).
Berdasarkan pemindaian geofisika oleh ahli geologi Dr. Danny Hilman dan para geolog TTRM menggunakan geolistrik, georadar, dan geomagnet, diperoleh citra-citra di bawah permukaan tanah (subsurface) situs Gunung Padang terdapat anomali atau bentuk-bentuk yang tidak alamiah.
Berdasarkan hasil pengeboran yang dilakukan mantan Ketua Ikatan Ahli Geologi Indonesia (IAGI) Dr. Andang Bachtiar juga terdapat indikasi campur tangan manusia masa lalu sampai kedalaman 7 meter.
Berdasarkan hasil penelusuran literatur, hanya Tim Katastropik Purba dan TTRM yang menggunakan metode gabungan antara pengamatan permukaan secara seksama, pengeboran, dan geofisika untuk mengidentifikasi kondisi di bawah permukaan tanah.
Metode pengeboran dan geofisika telah digunakan para arkeolog luar negeri sejak tahun 1990-an. Namun, penerapan metode lintas disiplin seperti itu tergolong langka dalam penelitian di situs-situs arkeologi di Indonesia.
Salah satu pertimbangan ahli arkeologi untuk menentukan lokasi ekskavasi berdasarkan identifikasi ahli geologi. Upaya ini dilakukan, karena situs umumnya cukup besar, sementara kotak gali ekskavasi arkeologi tergolong berukuran kecil.
Dengan berkembangnya teknologi geofisika yang sangat canggih, saat ini para ahli arkeologi dapat lebih mudah menentukan lokasi ekskavasi secara akurat, cepat, dan menghemat waktu.
Satu hal yang dapat disampaikan oleh saya selaku arkeolog, hasil ekskavasi arkeologi sampai kedalaman 4,2 meter terdapat kesesuaian fakta arkeologi dengan data geofisika dan data pengeboran yang diperoleh para ahli geologi TTRM.
Berdasarkan temuan di kotak gali, pada kedalaman 2 meter terdapat struktur batu buatan manusia. Struktur ini masih ditemukan sampai kedalaman 4,2 meter dan belum diketahui akan berlanjut sampai kedalaman berapa meter.
Situs Gunung Padang dari masa prasejarah kemungkinan terus digunakan pada masa berikutnya, antara lain masa Sunda Kuno (sekitar abad VIII-XVI Masehi).
Dalam ilmu arkeologi, situs yang digunakan selama beberapa periode disebut multicomponent site. TTRM melibatkan ahli filologi yang mempelajari naskah kuno yakni Dr. Undang Darsa.
Hasil kajiannya menunjukkan kemungkinan situs Gunung Padang pernah digunakan sebagai kabuyutan, yakni semacam pusat kekuatan batin.
Tentu saja masih banyak yang belum terungkap di situs Gunung Padang oleh TTRM. Perlu penelitian lanjutan sekaligus mungkin mengoreksi hasil penelitian TTRM. Selamat datang di Gunung Padang!
[KOLOM, Majalah GATRA Edisi no 11 tahun ke 26, Beredar 16 Januari 2014]
0 komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.