Berita manis tentang Indonesia sebagai negara pengekspor minyak sudah lama berlalu. Kini Indonesia menjadi negara importir minyak lantaran produksinya sudah tidak bisa lagi mampu menutup konsumsi yang terus meningkat. Industri hulu minyak nasional sedang terseok-seok. Produksi atau lifting minyak nasional terus menurun dan saat ini berada di titik nadir.
Indonesia juga bukan negara kaya minyak. Selama 50 tahun terakhir, Indonesia telah menguras 23 miliar barel cadangan minyaknya. Sekarang tersisa 4 miliar barel dan diperkirakan akan habis dalam 10 tahun bila tidak ditemukan cadangan baru. Untuk menemukan cadangan baru bukan perkara mudah. Birokrasi dan perizinan yang berbelit-belit, tidak adanya kepastian hukum, iklim investasi yang belum kondusif serta lemahnya koordinasi antara pemerintah pusat dan daerah hanyalah sebagian kecil dari sekian banyak persoalan yang melemahkan industri hulu migas nasional.
Sedangkan di hilir, terbatasnya kapasitas kilang dan tingginya konsumsi bahan bakar minyak (BBM) seiring lonjakan jumlah penduduk dan pertumbuhan ekonomi menjadi penyebab terus melambungnya impor minyak dan hasil minyak. Tingkat konsumsi BBM melonjak dua kali lipat dalam 10 tahun terakhir menjadi sekitar 1,4 juta barel per hari (bph). Akibatnya, negara harus mengimpor minyak dan BBM sekitar 900 ribu bph untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri.
Besarnya impor minyak mentah dan hasil minyak ini mengakibatkan neraca perdagangan Indonesia mengalami defisit US$ 4,06 miliar pada 2013. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), sepanjang tahun lalu, total ekspor Indonesia US$ 182,57 miliar, sementara impor mencapai US$ 186,63 miliar. Impor minyak mentah tahun lalu mencapai US$ 10,2 miliar dan impor hasil minyak mencapai US$ 4,2 miliar. Besarnya impor minyak dan hasil minyak juga berdampak terkurasnya cadangan devisa dan menekan nilai tukar rupiah. Setiap hari, Pertamina harus mencari US$ 150 juta dari pasar untuk membiayai impor minyak mentah dan BBM guna mengamankan pasokan di dalam negeri. Kondisi inilah yang membuat rupiah tertekan.
Dengan tingkat produksi yang sekarang ini, industri minyak nasional dipastikan tidak akan kembali berjaya dengan produksi di atas 1,5 juta bph pada era 1970-an hingga 1990-an. Sejak 2007, produksi minyak Indonesia berada di bawah 1 juta bph —yaitu 952 ribu bph— dan terus merosot hingga sekarang. Bahkan, target produksi yang dipatok dalam Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) 2014 sebesar 870 ribu bph kemungkinan sulit dicapai.
Produksi minyak Indonesia terus menurun hingga 30%. Salah satu penyebabnya adalah semakin tuanya ladang-ladang minyak yang ada. Kondisi tersebut diperparah tidak adanya penemuan cadangan minyak dalam jumlah besar. Alhasil, Indonesia hanya mengeruk cadangan minyak yang ada. Dari 321 wilayah kerja migas, dalam lima tahun terakhir rasio penemuan cadangan baru terhadap produksi (reserves replacement ratio/RRR) sekitar 52%. Idealnya, angka RRR di atas 100% agar setiap satu barel minyak yang diproduksi dapat diimbangi dengan penemuan cadangan dari kegiatan eksplorasi yang hasilnya lebih dari satu barel.
Kegiatan eksplorasi yang dilakukan saat ini tidak serta merta dapat langsung dinikmati hasilnya. Diperlukan waktu sekitar 20 tahun untuk bisa memproduksi temuan cadangan tersebut. Risiko investasi di sektor migas pun sangat besar, belum lagi kendalanya banyak. Untuk mengebor satu sumur eksplorasi dibutuhkan dana US$ 100 juta. Jika dari pengeboran itu tidak menghasilkan minyak, uang yang ditanamkan takkan kembali.
Memang, pemerintah telah mengeluarkan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 2 Tahun 2012 tentang Peningkatan Produksi Minyak Bumi Nasional. Namun, Inpres tersebut dirasakan masih kurang. Di tengah suramnya prospek produksi minyak nasional, pemerintah harus menyiapkan kebijakan dan strategi agar Indonesia bisa terhindar dari krisis energi.
Meminimalisasi penghentian produksi lapangan minyak (unplanned shutdown), mempermudah perizinan serta menerapkan kegiatan pengurasan minyak tahap lanjut (enhanced oil recovery/EOR) hanyalah strategi untuk mempertahankan produksi yang ada. Pemerintah harus mencari terobosan-terobosan guna mendorong minat investor melalukan kegiatan eksplorasi untuk mencari cadangan baru. Tanpa adanya terobosan di sektor migas, produksi minyak bakal terus melorot dan diperkirakan hanya 400 ribu bph pada 2025.
Terobosan yang dapat dilakukan di antaranya membuat payung hukum untuk percepatan lifting guna memangkas birokrasi dan perizinan dan memberikan insentif yang dibutuhkan pelaku industri migas. Masalah ketidakpastian hukum yang menyurutkan semangat pelaku industri migas juga harus disingkirkan. Kriminalisasi yang menimpa karyawan dan kontraktor PT Chevron Pacific Indonesia (CPI) dan ketidakpastian pasca berakhirnya masa kontrak migas merupakan contoh belum adanya kepastian hukum di industri migas nasional.
Pemerintah juga harus melakukan terobosan di sisi hilir untuk mengimbangi konsumsi BBM yang terus meningkat dan mengurangi ketergantungan terhadap impor minyak dan hasil minyak. Kemampuan kilang Indonesia memprodusi BBM lebih kecil dari tingkat konsumsi yang mencapai 1,4 juta bph. Kapasitas kilang di Indonesia mencapai 1.046 ribu bph, namun terbukti saat ini hanya mampu mengolah minyak sekitar 800 ribu bph.
Prabowo Bahas Pertahanan hingga Krisis Gaza
-
* Sambangi PM Inggris Keir Starmer**Presiden Indonesia Prabowo Subianto
(kanan) menemui PM Inggris Keir Starmer di London. (Foto/via Kedutaan Besar
Inggr...
2 jam yang lalu
0 komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.