Jakarta
☆ Pada awal tahun ini, Universitas Yale di Amerika Serikat menyebut New Delhi sebagai kota dengan kualitas udara terburuk di dunia. Media lokal, India Today, bahkan menulis laporan, sebagian anak-anak di kota itu memiliki punya paru-paru seperti perokok dewasa, saking buruknya kualitas udara kota itu.Ilustrasi Polusi Udara
Tingkat PM2.5, partikel mikro yang bisa menyebabkan kanker, di New Delhi mencapai 985 μg/m3. Angka tersebut sangat jauh melebihi batasan yang ditetapkan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), yakni sebesar 20 μg/m3.
Terkait hal tersebut, Indonesia dianggap punya porsi dalam menciptakan masalah buruknya kualitas udara di New Delhi. Sebab, seperlima ekspor batu bara Indonesia diekspor ke India. Diketahui, batu bara adalah sumber energi yang paling berdampak buruk bagi kesehatan paru-paru.
"Sebetulnya, India punya cadangan batu bara yang cukup untuk 25 sampai 30 tahun, tetapi letaknya terlalu dalam. Untuk mendapatkannya terhitung mahal, sehingga pemerintah [India] lebih memilih mengimpor, salah satunya dari Indonesia. India merupakan pengimpor tertinggi di samping Tiongkok, yaitu sebanyak seperlima dari total ekspor batu bara Indonesia. Rata-rata enam juta ton per bulan," kata Renuka Saroha perwakilan dari organisasi lingkungan hidup India, 350.org, di Cikini, Jakarta Pusat, Minggu (23/2).
Ironisnya, buruknya kualitas udara di New Delhi tak terlalu disadari warganya. Sementara warga asing yang datang ke kota itu memilih memakai masker saat beraktivitas di luar ruang, namun hal serupa tak dilakukan warga setempat. Mereka yang tak memakai masker masih jauh lebih banyak daripada yang memakai.
Tambah lagi, meski 350.org sudah sering mengangkat isu ini ke pemerintah, dan media setempat juga memberitakan, hanya sedikit warga India yang benar-benar sadar.
"Alasan India butuh batu bara? Sebagai sumber energi? Tidak. Membuka lapangan kerja? Tidak. Mengentaskan kemiskinan? Tidak. Pertambangan batu bara lebih banyak mencetak buruh dan budak daripada lapangan pekerjaan. Semua ini cuma soal mendukung lobi-lobi dan membuat kaya para politisi," ucap Saroha geram.
Hal serupa, berdasar penuturan aktivis JATAM (Jaringan Advokasi Tambang) Ki Bagus Hadi Kusuma, pun terjadi di Indonesia. Banyak politisi yang mendapatkan aliran dana kampanye dari pertambangan batu bara.
Saat ini jumlah mereka di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) memang tak banyak, namun jika diteruskan, Hadi khawatir hal ini akan jadi sebuah tren negatif.
"Saat ini jumlahnya memang kecil, hanya beberapa persen saja yang duduk di DPR. Tapi jika terus terjadi, maka ini bisa jadi tren. Apalagi melihat makin tingginya biaya politik, maka pertambangan batu bara bisa makin dieksploitasi," tutur Hadi.
Menhan Sebut Akan ada 100 Yonif Teritorial di Tahun 2025
-
* Rapat Bersama Komisi I DPR dan Panglima TNI *
*[image:
https://cdn.antaranews.com/cache/1200x800/2024/11/25/IMG_20241125_114356.jpg.webp]*
*Menteri Pe...
6 jam yang lalu
0 komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.