Mendarat di Sungai Bengawan Solo 16 Januari 2002Kapten Pilot Abdul Rozaq (58) duduk menerawang kala ditemui di rumahnya yang asri. Rozaq tidak akan lupa mengenai kecelakaan pesawat Garuda Indonesia GA421 yang mendarat darurat di Sungai Bengawan Solo karena semua mesinnya mati. "Detik-detik kematian sudah di depan mata," tuturnya.
Memakai kaos polo warna cokelat bata dan berkaca mata, Rozaq sangat lancar dan detil menceritakan detik demi detik sebelum peristiwa yang nyaris merenggut nyawanya itu.
Pada 15 Januari 2002 lalu, seharusnya Pilot Rozaq dijadwalkan untuk terbang ke Kalimantan. Namun, Rozaq datang ke kantor paling awal. Sehingga, Rozaq dipindah untuk terbang ke rute Jakarta-Yogyakarta-Surabaya-Mataram yang jadwal keberangkatannya lebih awal. Rute itu, seharusnya dikomandani oleh pilot lain, namun pilot yang seharusnya dijadwalkan untuk rute itu terlambat karena terjebak banjir. Saat itu, Indonesia sedang dilanda banjir di mana-mana.
"Hari itu, sudah jadwal 3 kali penggantian schedule-nya. Pilot yang pertama telat, kedua telat, ketiga baru saya. Saya waktu itu sebetulnya diplot ke Kalimantan. Saya datang lebih awal, pilot yang kedua agak telat. Karena saya datang lebih awal, saya di-switch ke sana. Jadi jadwalnya tidak seharusnya. Bukan cuma saya, kopilotnya juga," kisah kapten Rozaq saat ditemui detikcom di rumahnya di kawasan Komplek Garuda, Cipondoh, Tangerang, Jumat (16/12015), tepat 13 tahun kecelakaan GA421.
Pun dengan pramugari dan pramugaranya. Sedianya, ada 5 pramugari yang ditetapkan untuk terbang di pesawat Boeing 737-300 itu. Namun, seorang pramugari tidak datang karena terjebak banjir. Alhasil, hanya 4 pramugari yang terbang.
"Waktu itu berangkat rutenya Jakarta-Yogyakarta, baru kemudian ke Mataram. Tidak sedikitpun ada firasat apa-apa," tutur Rozaq.
Setelah sukses menerbangkan pesawat rute Jakarta-Yogyakarta-Surabaya-Mataram pada 15 Januari 2002 dan bermalam di Mataram, esoknya Rozaq dengan set kru yang sama harus terbang dengan jadwal dari Mataram-Surabaya-Yogyakarta-Jakarta.
Penerbangan dari Mataram-Surabaya normal, namun cuaca sudah hujan sejak pesawatnya terbang di Mataram. Kemudian, saat terbang dari Surabaya ke Yogyakarta, pesawat membawa 54 penumpang, dengan berat total pesawat 56 ton, pesawat yang dipilotinya juga terbang dalam keadaan hujan. Hingga tibalah pesawatnya terbang di ketinggian 31 ribu kaki.
"Di ketinggian 31 ribu kaki, di antara Surabaya-Yogyakarta, saya minta road direct ke Blora, memotong ke kiri. Harusnya ke Lasem. Ternyata diberikan (ATC). Jadi rutenya Blora-Purwodadi-Solo-Yogyakarta. Di ketinggian 31 ribu kaki, itu di depan ada awan CB (Cumulonimbus). Kalau ke kiri, masuk ke area militer di Lanud Iswahyudi, kan tidak boleh terbang di atas area militer. Kalau ke kanan ada gunung. Jadi rutenya memang harus lurus. Pada ketinggian 31 ribu itu, sudah mulai digoncang-goncang," kisahnya.
Weather radar (radar cuaca) di pesawat waktu yang saat itu masih konvensional, hanya menunjukkan 2 warna, hijau dan merah. Hijau berarti area yang aman dilalui, merah itu yang mestinya dihindari.
"Kalau weather radar sekarang ada 4 warna, hijau-tidak begitu kencang, kuning-agak kencang, merah-kencang, magenta-lebih kencang lagi. (Mengacu ukuran turbulensi). Nah, di weather radar dulu cuma ada hijau dan merah, saya memilih yang sudah tipis merahnya, ternyata selanjutnya malah merah semua. Pesawat turbulensi di ketinggian 31 ribu kaki. Turbulensinya setingkat severe turbulence," jelas Rozaq
Severe turbulence adalah turbulensi yang sangat hebat sehingga bisa menyebabkan penumpang dan awak kabin cedera. Sebelum masuk turbulensi, kapten Rozaq menyalakan lampu seat belt alias lampu penanda sabuk pengaman harus digunakan dan membuat pengumuman pada para penumpang. Rozaq juga menyalakan ignition yang berfungsi seperti busi, untuk menambah pengapian. Plus menyalakan mesin anti-es agar mesin tidak mati.
"Karena sudah mulai masuk awan CB besar. Di dalam awan CB itu ada angin, awan, es, campur, jadi supaya aman antinya (anti-ice) sudah ada, supaya mesin tidak mati. Setelah masuk awan CB, tiba-tiba pesawat turun di ketinggian 23 ribu kaki. Kedua mesinnya mati. Suara CB sangat kencang, pesawat terguncang-guncang hebat, ke kiri-kanan-atas-bawah. Di kaca kokpit itu suaranya kencang terhantam-hantam es, sangat kencang," tutur Rozaq pelan mengingat kejadian itu.
Di ketinggian 23 ribu kaki itu mesin pesawat kemudian mati.
"Both engine flame out!" teriak kopilot Haryadi Gunawan seperti ditirukan Rozaq, yang berarti kedua mesin mati.
Saat mendengar kopilot berteriak seperti itu, Rozaq mengaku masih sangsi, "Saya dengar itu berpikir, apa benar dia ngomongnya?".
Kemudian kopilot Haryadi berteriak lagi, "Both engine flame out!".
Rozaq kemudian mengecek sendiri, dan mendapati kenyataan bahwa apa yang dikatakan pilotnya benar. Kemudian, langsung saja Rozaq mengambil langkah-langkah sesuai Standard Operation Procedure (SOP) bila kedua mesin mati.
"Pertama, engine fuel cut off. Itu kalau mobil harus melihat kecepatannya, hingga di kecepatan tertentu supaya dapat kecepatan, supaya dia (mesin) bisa memutar sesuai dengan kecepatan angin. Kemudian saya nyalain kan, seperti di-starter, di-ON-kan lagi, harusnya mau. Dimatikan, ON lagi, tidak mau menyala. ON-kan lagi, tidak mau menyala," katanya.
Di pesawat, ada generator yang standby, bernama Auxiliary Power Unit (APU) yang berada di ujung badan belakang pesawat. Pilot Rozaq dan kopilot Haryadi, mencoba menyalakan standby generator itu.
"Harus dinyalakan standby generator itu, untuk listrik, komunikasi. Karena dapat pressure untuk start mesin, diharapkan dinyalakan. Ternyata, saat dinyalakan, malah baterainya tidak kuat. Baterainya drop. Mati semua. Jadi instrumen, electrical, komunikasi, mati semua," tutur Rozaq.
Dalam kondisi mati mesin, mati listrik juga saluran komunikasi yang terputus, dalam keadaan terguncang-guncang dalam awan CB, dirinya dan kopilot membuka buku panduan darurat. Buku panduan itu memeriksa setiap tahapan SOP, apakah ada tindakan yang terlewat atau tidak dilakukan.
"Diulangi lagi (tindakan SOP saat mesin pesawat mati) dengan Emergency Check List, itu buku panduan restart engine. Jadi kopilot membuka buku, kemudian mengulangi lagi, mungkin ada yang kelupaan tindakannya. Dan di dalam memory item itu, tidak ada yang kelupaan. Tapi tetap tidak bisa menyala mesinnya," jelas dia.
Dalam keadaan demikian, kopilot Haryadi kemudian mengambil mikrofone, untuk mengabarkan kepada Air Traffic Control (ATC).
"Mayday! Mayday!" demikian kata kopilot seperti dituturkan Rozaq.Pilot Abdul Rozaq saat ditemui di rumahnya (Foto: Nograhany WK/detikcom)★
Rupanya, kopilot lupa bahwa saluran komunikasi ke ATC sudah terputus saat kedua mesin mati dan standby generator tidak bisa dinyalakan.
"Kamu itu komunikasi sama siapa? Komunikasi sudah mati, electrical sudah mati. Sudah, taruh saja," kata Rozaq pada kopilotnya.
Kemudian, pramugara senior Tuhu Wasono melihat ada kondisi darurat di kokpit. Dari kabin, pramugara Tuhu langsung berlari ke kokpit.
"Kemudian dia ke depan, saya briefing, "Prepare for emergency. Kedua mesin kita mati!". Setelah saya menunggu kok tidak ada respon, saya kemudian teriak 'PREPARE EMERGENCY!'. Pramugaranya menyahut 'PREPARE EMERGENCY!'," kenangnya.
Dalam kondisi pesawat mengalami turbulensi hebat, penumpang pun ada yang menangkap briefing pramugara Tuhu, ada yang tidak. Pramugara dan pramugari, juga mengatur untuk memindahkan penumpang dari pintu keluar darurat.
"Harusnya penumpang sudah bisa memakai pelampung, kan pada saat take off, sudah diperagakan cara memakai life vest. Sebagian ter-briefing, sebagian tidak. Saat semua sudah siap, kopilot tetap mengatakan 'Mayday Mayday'. Saya bilang, 'Sudah taruh saja. Mari kita berdoa'," kisahnya.
Doa Pilot Abdul Rozaq Menjelang Pendaratan Darurat: Selamatkan PenumpangDua jembatan yang dilihat pilot Rozaq (Foto: via Pilot Abdul Rozaq) ★
Pendaratan darurat pesawat Garuda Indonesia GA421 di Sungai Bengawan Solo pada 16 Januari 2002 lalu sangat legendaris. Sang pilot, Abdul Rozaq (58) dalam kondisi mati mesin, listrik dan saluran komunikasi, mengaku detik-detik kematian sudah di depan mata. Kopilot Haryadi Gunawan tetap berusaha mengabarkan "Mayday Mayday" ke ATC meski saluran komunikasi sudah mati. "Sudah taruh saja, mari kita berdoa," pinta pilot Rozaq.
Saat itu pilot Abdul Rozaq sudah pasrah karena semua usaha menyalakan mesin tidak berhasil. Kala pesawat masih terguncang-guncang dalam awan Cumulonimbus (CB), pilot Rozaq memohon bimbingan Tuhan.
"Saya berdoa, dalam doa itu saya berdoa 'Ya Allah, saya dalam bimbingan-Mu. Saya ikhlas, saya siap apapun yang terjadi'. Dan waktu itu detik-detik kematian di depan mata," tutur Abdul Rozaq dengan suara sedikit bergetar saat mengisahkan detik-detik menegangkan menjelang pendaratan darurat kala ditemui detikcom di rumahnya, Komplek Garuda, Cipondoh, Tangerang, Jumat (16/1/2015) lalu.
Rozaq mengenang, sembari berdoa, dirinya tetap mengendalikan pesawat. Rapalan doa tak henti dilafalkan.
"Sambil tetap pasrah dan saya berdoa 'Ya Allah, hanya satu permintaan saya. Selamatkan penumpang kami'. Dia (kopilot) juga berdoa. Kemudian terakhir, saya takbir, Allahu akbar, tiga kali"," jelasnya.
Usai mengucap takbir 3 kali, Rozaq kembali konsentrasi mengemudikan pesawat. Kopilot memonitor ketinggian yang terus turun, dari awal masuk awan CB, 31 ribu kaki, menjadi 17 ribu kaki. Saat itu, Rozaq mengaku sudah keluar dari awan CB, dan pemandangan di depan kaca kokpit mulai terang dan mulai terlihat daratan, sawah, sungai dan daratan yang digenangi air. Rozaq harus berpikir keras bagaimana mendaratkan pesawat yang sudah tak bertenaga seperti terbang layang ini dengan risiko seminimal mungkin.
Sebelum mengambil keputusan, Rozaq mengajak berdiskusi kopilot Haryadi. Mengobservasi lingkungan sekitar untuk mengumpulkan data.
"Kita sebaiknya emergency landing di mana?" tanya Rozaq pada Haryadi.
"Bagaimana bila di sawah itu?" demikian respons Haryadi seperti disampaikan Rozaq.
"Itu banjir, saya tidak tahu ada apa di sawah itu. Yang jelas, kalau mendarat di situ, semua mati," timpal Rozaq pada Haryadi.
"Itu ada sungai, kalau di sungai itu bagaimana? Itu ada sungai, kita tidak tahu kedalamannya berapa, arusnya bagaimana. Pertama, pesawat itu yang jelas impact. Meski tidak tahu kedalamannya, yang jelas impact dengan air, masih ada kemungkinan yang hidup," papar Rozaq mengutarakan argumen pada Haryadi.
Akhirnya, mereka berdua setuju melakukan pendaratan darurat di sungai itu. Pesawat lantas dibelokkan ke kiri, tujuannya menyejajarkan posisi pesawat dengan sungai. Namun, ada masalah. Ada 2 jembatan berdiri di tengah sungai itu. Keduanya memiliki tiang pancang yang berdiri di tengah sungai. Gawat, bila pesawat menabrak tiang jembatan, maka pendaratan darurat ini kemungkinan bisa memakan banyak korban fatal.Pesawat berbelok ke kanan (Foto: KNKT) ★
"Saya melihat di depan ada jembatan. Tadinya mau saya arahkan ke bawah jembatan. Ternyata ada tiang-tiangnya. Saya sejajarkan pesawat saya dengan sungai, jadi terbang dari arah utara ke selatan. Saya belok kiri, kemudian saya melihat ada jembatan satu lagi. Jembatan itu harus saya lewati, kemudian ada jembatan satu lagi," jelas Rozaq.
Begitu pesawat dibelokkan ke kiri, kopilot terus memantau ketinggian. Pesawat sudah berada di ketinggian 3 ribu kaki dengan kecepatan 180 knot. Begitu pesawat belok tajam, kopilot berteriak "Bank-bank-bank!". Teriakan Haryadi itu mengindikasikan peringatan bahwa pesawat berbelok terlalu tajam.
"Kalau tidak tajam, kita tidak bisa mendarat di sungai. Sudah tidak ada instrumen," jelas Rozaq pada Haryadi.
Sebelum menyentuh sungai, Rozaq berteriak 'BRACE FOR IMPACT!', perintah yang mengharuskan penumpang pesawat meringkuk, kepala didekatkan ke lutut, untuk meminimalkan efek guncangan.
Kemudian saat mendarat, tail atau ekor pesawat itu kena batu besar. Saat dilakukan pengereman maksimal, pesawat tiba-tiba berhenti dengan posisi miring ke kanan.
"Pesawat belok ke kanan sendiri. Setir saya dorong ke kanan. Kemudian pesawat berhenti dan berbelok ke kanan sendiri, dan saat berhenti saya menyadari bahwa pesawat berbelok kanan persis menghadap kiblat," kenangnya.
Belakangan pilot Rozaq mengetahui bahwa sungai tempat pendaratan itu adalah Sungai Bengawan Solo. Jarak antara dua jembatan yang melintang di tengah sungai itu adalah 1.500 meter atau 1,5 km. Saat mendarat di air, pesawat melewati jembatan pertama dan sempat meluncur sejauh 100 meter. Sedangkan jarak dengan jembatan berikutnya berkisar 300-500 meter dari posisi pesawat berhenti.Hikmah Tersembunyi Pasca GA421 Mendarat di Sungai Bengawan SoloRumah kosong tempat evakuasi penumpang (Foto: via Pilot Abdul Rozaq)★
Setelah berhasil mendaratkan pesawat Boeing 737-300 Garuda Indonesia GA421 di atas Sungai Bengawan Solo pada 16 Januari 2002 lalu, pilot Abdul Rozaq langsung membantu evakuasi penumpang. Aneka reaksi penumpang dan kru, serta hikmah tersembunyi didapati pilot Rozaq setelah berada di daratan.
"Banyak kejadian di luar akal manusia. Kenapa harus di situ, kenapa harus berputar. Ternyata, di situ ada rumah kosong. Cukup luas, tapi belum jadi. Rumah itu jadi tempat evakuasi penumpang," tutur pilot Abdul Rozaq saat ditemui detikcom di rumahnya yang asri, di Komplek Garuda, Cipondoh, Tangerang, Banten, Jumat (16/1/2015) lalu, tepat 13 tahun peristiwa pendaratan darurat GA421.
Rozaq juga mendapati bahwa di lokasi pendaratan darurat, yang belakangan diketahui di Dusun Serenan, Juwiring, Klaten, Jawa Tengah itu ada tempat kerajinan mebel. Tempat kerajinan mebel itu memiliki 2 mobil, yang saat itu tersedia karena tak ada mebel yang diantar.
"Sehingga ada 2 mobil kosong yang siap mengantarkan penumpang ke rumah sakit," jelas dia.
Tak cuma itu, di Desa Serenan itu ternyata satu-satunya desa yang memiliki saluran telepon. Sehingga komunikasi dalam keadaan darurat itu bisa dengan mudah dilakukan. Hikmah lainnya, lokasi pendaratan darurat pesawat GA421 itu sangat tepat. Kontur sungainya berada di kontur yang datar. Sementara, kontur sungai itu seperti gunung.
"Kemudian diceritakan Paska yang mencari kotak hitam itu, ternyata kondisi sungainya itu seperti gunung. Jadi tempat saya mendaratkan pesawat itu bagian yang datar di atas. Bila mendaratkan sebelumnya, itu dalam, setelahnya juga. Kalau mendaratkan sebelum bagian itu kemungkinan semua mati, setelahnya juga, kemungkinan semua mati," kenang Rozaq yang saat ditemui memakai kaos berkerah warna merah bata.
Di desa itu pula, tiba-tiba ada seseorang yang menyapa sang kopilot, Haryadi Gunawan. Mulanya, mereka tak habis pikir di tempat ini ada saja yang mengenal kopilot. Usut punya usut, seseorang yang menyapa kopilot dengan sebutan 'Pak Hary' ini adalah tetangga Haryadi di Bekasi.
"Karena sudah kenal dengan kopilotnya, kita malah dijamu oleh penduduk desa itu," tutur Rozaq.
Belum habis keheranannya, dirinya juga bingung mengapa saat melakukan pendaratan darurat itu, kemudi pesawat yang dipegangnya sangat enteng.
Padahal, biasanya kemudi pesawat itu terasa berat.
"Saya juga tidak percaya kok saya bisa ya (mendaratkan pesawat di sungai). Saya sendiri bertanya-tanya, tadinya saya tidak mengerti dan ingin mengulang peristiwa itu melalui simulator. Bisa tidak sebetulnya? Cuma saya tidak utarakan. Saya heran, kok enteng (setir pesawatnya)," tuturnya.
Belakangan, penjelasan ilmiah mengenai ringannya setir pesawat itu ditemukan Rozaq. Ternyata, kemudi pesawat yang ringan itu karena mesin pesawat terkena angin yang kemudian memutar mesin itu sedikit hingga menggerakkan sistem hidrolik.
"Mesin yang kena angin itu bisa menggerakkan hidrolik dan akhirnya pengaruh ke steering pesawat. Angin memutar mesin sedikit, kemudian menggerakkan hidrolik," demikian jelasnya.
Kembali ke sesaat setelah pendaratan darurat terjadi, tak ada penumpang atau kru yang berani keluar dari badan pesawat. Namun, penduduk setempat meneriaki untuk keluar saja karena ketinggian airnya mencapai sepinggul. Akhirnya dirinya beserta kru kabin keluar dan benar, kedalamannya cukup dangkal. Pramugara senior Tuhu Wasono pun berteriak "Evacuate! Evacuate!".
Pilot Rozaq, kopilot Haryadi beranjak ke kabin ikut membantu evakuasi penumpang. Bahkan penduduk desa menghampiri pesawat dan ikut mengevakuasi penumpang.
"Setelah terevakuasi semua, tangan saya gemetar. Saya tidak tahu saya harus berkomunikasi dengan apa. Saya ambil HP saya, kemudian saya tidak tahu mau pencet nomor siapa. Kemudian saya tawarkan HP saya pada pramugari, yang ternyata dia bahkan tidak ingat namanya siapa. Akhirnya saya telepon kantor. Yang terima kebetulan Chief saya," kata Rozaq.
Rozaq lantas mengabarkan ke atasannya bahwa pesawatnya mengalami kondisi darurat. Setelah tanya-tanya penduduk desa, diketahui lokasi pendaratannya di Desa Serenan, Juwiring, Klaten, 15 km dari Solo.
"Kantor kemudian kontak ke stasiun Yogyakarta dan Solo untuk mencari. Saya komunikasi terus, sehingga cepat ditemukan," kenang dia.
Setelah situasi cukup tenang, Rozaq menyaksikan reaksi beberapa penumpang. Saat briefing darurat, tampaknya ada yang tidak mendengar briefing itu sehingga tidak merasakan bahwa pesawat meluncur darurat di atas sungai.
"Ada yang merasa 'Tahu-tahu kaki saya kok basah ya'. Ada juga 1 penumpang dari Italia, dia masih bimbang, tidak tahu masih hidup atau tidak. Dia bilang, 'Tolong tonjok saya' pada warga desa. Akhirnya ditonjok beneran, dan merasakan sakit hingga akhirnya sadar dia masih hidup," tuturnya.
Ada pula penumpang yang begitu pendaratan darurat dilakukan, langsung pingsan. Setelah siuman di rumah sakit, penumpang itu bertanya-tanya, ada kejadian apa hingga dirinya dirawat di rumah sakit.
54 Penumpang selamat, menurut Rozaq, 90% -nya adalah dari Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) yang saat itu hendak menghadiri muktamar di
Yogyakarta. Namun demikian, pendaratan darurat itu bukan tidak memakan korban.
"Setelah terevakuasi semua, saya hitung. Ada satu pramugari saya tidak ada. Saya masuk lagi, cari ke dalam kabin, ke kokpit, satu pramugari saya itu tidak ada. Cuma satu pramugari saya itu yang tidak ada," tuturnya pelan.Kisah Dua Pilot Heroik, Antara Sungai Hudson dan Bengawan SoloDua aksi pilot heroik yang hampir sama, namun lokasi dan waktunya berbeda, mewarnai kisah penerbangan dunia. Mereka adalah Chesley Burnett "Sully" Sullenberger III di Sungai Hudson, New York, Amerika Serikat dan Abdul Rozaq di sungai Bengawan Solo, Jawa Tengah.
Peristiwa yang menghebohkan dunia ini terjadi di tanggal yang hampir mirip. Peristiwa pendaratan darurat pesawat US Airways 1549 di Sungai Hudson terjadi pada 15 Januari 2009. Sementara Garuda Indonesia GA421 terjadi 13 tahun lalu, yakni 16 Januari 2002.
Sullenberger maupun Abdul Rozaq sama-sama mendapatkan pujian dari dunia. Keduanya akhirnya menulis kisah pendaratan fenomenal itu di buku. Sullenberger menulis buku autobiografi dan cerita pendaratan pesawat berjudul 'Highest Duty', sedangkan Abdul Rozaq menceritakan pengalamannya di buku berjudul 'Miracle of Flight'.
Sullenberger merupakan mantan pilot jet tempur. Dia berhasil menyelamatkan lebih dari 150 orang setelah mendaratkan dengan selamat pesawat Airbus A320 di atas sungai dingin Hudson. Sullenberger mengarahkan pesawatnya ke sungai setelah dua mesin pesawat mati usai tabrakan dengan sekelompok burung.
Pesawat tersebut bertolak dari Bandara LaGuardia pada Kamis, 15 Januari 2009 pukul 15.26 waktu setempat menuju Charlotte, North Carolina. Pesawat baru saja mengudara selama tiga menit ketika gangguan itu terjadi.
Apa yang dilakukan sang pilot disebut-sebut sebagai keberhasilan 'pendaratan di atas air sesuai buku panduan'. Ketika mesin pesawat mengalami masalah, pilot dengan tenang menurunkan pesawat ke sungai dengan ekor pesawat lebih dulu menyentuh air.
Kemudian dengan pesawat mengapung di atas air, 150 penumpang dan 4 kru serta sang pilot keluar dari pesawat dan berdiri di atas sayap. Kapal-kapal bantuan datang dengan cepat sehingga seluruh penumpang dan kru berhasil dievakuasi dengan selamat sebelum pesawat akhirnya benar-benar tenggelam.
"Tampaknya pilot melakukan pekerjaan yang bagus sekali dengan mendaratkan pesawat di atas sungai, dan kemudian memastikan semua orang keluar," puji Walikota New York Michael Bloomberg.
Sejumlah pejabat aviasi internasional menyebut ini pertama kalinya pesawat komersial berhasil melakukan pendaratan di atas air. Pilot British Airways Eric Moody menuturkan, pendaratan tersebut merupakan pendaratan di atas air sesuai buku panduan. "Siapapun yang menerbangkan pesawat itu telah melakukan pekerjaan yang sangat bagus," pujinya.
Pendaratan di atas air (ditching) merupakan pendaratan darurat di perairan. Ini kadang-kadang terjadi pada pesawat militer dan pesawat yang lebih kecil. Namun sangat jarang terjadi pada pesawat penumpang komersial. Suhu udara di Sungai Hudson saat kejadian itu di bawah 6 derajat Celcius.
Sementara Abdul Rozaq membawa pesawat berjenis Boeing 737-300 dengan nomor registrasi PK-GWA. Dia berangkat dari Ampenan-Mataram pukul 16.32 Wita dengan 54 penumpang dan 6 awak kabin ke Yogyakarta. Saat turun ke ketinggian 19 ribu kaki, pesawat memasuki formasi awan cumulonimbus (CB) tebal.
Akibatnya, pesawat mengalami turbulensi hebat karena di dalam awan itu terjadi hujan lebat dan hujan es. Banyaknya air dan es yang masuk dalam mesin ini menyebabkan kedua mesin pesawat kehilangan dayanya. Saat pilot dan kopilot berupaya menyalakan lagi mesin pesawat ketika di luar masih terjadi hujan lebat, namun gagal. Lantas, pilot memutuskan bahwa pesawat harus mendarat darurat.
Pendaratan darurat dilakukan secara ditching alias mendarat di air di Sungai Bengawan Solo, tepatnya di Desa Serenan, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah. Satu pramugrari meninggal karena terlempar keluar pesawat, satu awak kabin dan 12 penumpang mengalami luka serius, dan penumpang sisanya plus pilot-kopilot dan 2 awak kabin tidak terluka. Demikian seperti dijelaskan dalam laporan final Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) yang dirilis di situsnya.(nwk/try)
Terima kasih, pilot!
TNI AL Siapkan 80 Unit Maung MV3 Pindad Jadi Kendaraan Dinas
-
Kepala Staf Angkatan Laut (KSAL) Laksamana TNI Muhammad Ali mengungkapkan
bahwa pihaknya menyiapkan 80 unit mobil Maung buatan PT Pindad versi
terakhir, y...
16 jam yang lalu
0 komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.