Investigasi AirAsiaPesawat Air France. (Wikipedia Common/Joe Ravi)★
Pesawat AirAsia QZ8501 sempat naik dengan kecepatan tak wajar di atas batas normal, berhenti di puncak ketinggian, lalu jatuh ke laut. Hal tersebut sama dengan yang terjadi pada Air France 447 yang jatuh ke Samudra Atlantik, 1 Juni 2009, dalam penerbangannya dari Rio de Janeiro, Brasil, ke Paris, Perancis.
Meski sempat mengalami ‘gejala’ serupa sebelum jatuh ke laut, namun menurut pakar penerbangan dan investigator swasta kasus kecelakaan pesawat Gerry Soejatman, penyebab kecelakaan AirAsia dan Air France berbeda. Saat kecelakaan AF447, Gerry ikut membantu rekannya di maskapai itu melakukan penyelidikan secara independen.
Gerry yang sempat berbincang soal QZ8501 dengan Ketua Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) Tatang Kurniadi, yakin dua kecelakaan pesawat tersebut dipicu oleh hal berbeda walau ada sejumlah kesamaan di antara keduanya.
Untuk diketahui, kecelakaan pesawat bisa jadi tak hanya dipicu oleh satu faktor, tapi gabungan beberapa faktor. Untuk kasus Air France 447, pesawat terkena icing, yakni terbentuknya es akibat kondisi atmosfer pada mesin atau permukaan pesawat.
“Air France terkena icing. Ada es yang mengeblok pitot (tabung untuk mengukur kecepatan pesawat). Akibatnya komputer salah mendeteksi, salah menerima data aliran udara. Sistem komputer sudah dibuat bisa menyadari kesalahan ini sehingga meminta pilot untuk menerbangkan pesawat sendiri secara manual, tidak pakai autopilot,” ujar Gerry dalam kunjungannya ke kantor CNN Indonesia, Rabu (21/1).
“Pilot AF447 yang menerbangkan pesawat secara manual, tidak mengendalikan pesawat dengan baik. Tapi jangan salahkan pilot, karena memang ada masalah yang terjadi,” kata Gerry. Ia kembali menegaskan bahwa dalam setiap kasus kecelakaan, penyebabnya kerap bukan satu faktor.
Dalam kendali manual pilot itulah, ujar Gerry, AF447 naik ke ketinggian yang cukup tinggi, mendapat peringatan stall, lalu pesawat mengalami stall. Stall ialah kondisi ketika pesawat kehilangan daya untuk terbang akibat aliran udara pada sayap terlalu lambat.
“Dalam kondisi itu (stall), pilot menahan terus pesawat itu hingga akhirnya jatuh dengan bagian bagian belakang bawah pesawat lebih dulu menyentuh laut,” kata Gerry.
Apa yang dikemukakan Gerry tersebut sama dengan hasil investigasi resmi terhadap AF447 yang menyebut pesawat itu jatuh dari ketinggian 38 ribu kaki ke laut dalam waktu empat menit.
Dalam hal tersebut, ujar Gerry, kemiripan antara kecelakaan AirAsia QZ8501 dan Air France 447 tak terelakkan. “Kasus AirAsia juga begitu. Pesawat naik, lalu jatuh dengan kemungkinan pada posisi sama (seperti AF447), yakni bagian belakang bawah pesawat lebih dulu menyentuh permukaan laut,” kata dia.
Artinya, pesawat tidak jatuh ke laut dalam posisi menukik dengan hidung pesawat lebih dulu menyentuh air laut. Hal tersebut, menurut Gerry, terlihat dari kondisi bangkai pesawat yang ditemukan.
QZ8501 ditemukan di dasar laut tidak seluruhnya dalam serpihan kecil. Bagian ekor dan badan pesawat masih tampak utuh meski terpotong dalam beberapa bagian. Potongan-potongan yang ditemukan pun cukup besar, tak pecah berkeping-keping.
Seperti pada Air France 447, stall juga terjadi pada AirAsia QZ8501. Stall warning sempat berbunyi sebelum QZ8501 jatuh ke laut, dan pilot kesulitan untuk mengembalikan pesawat ke kondisi normal atau recover.
Satu lagi kesamaan, penerbangan QZ8501 dan AF447 sama-sama dibayangi cuaca buruk. KNKT menyatakan berdasarkan foto satelit 15 menit sebelum pesawat AirAsia jatuh, terlihat ada formasi awan badai atau kumulonimbus dengan puncak di ketinggian 44 ribu kaki. Cuaca buruk pulalah yang membuat AF447 terkena icing. Saat itu pesawat berada di antara awan badai. Meski demikian, Gerry yakin kondisi QZ8501 berbeda dan pesawat itu jatuh bukan karena awan badai.
Terhadap sejumlah kesamaan antara kecelakaan AirAsia dan Air France tersebut, Gerry berkeras penyebab keduanya tak sama. Namun, ujarnya, KNKT lah yang berhak untuk membuka seluruh misteri QZ8501 dalam laporan final hasil investigasinya kelak.
Kamis kemarin (29/1), KNKT telah membeberkan laporan hasil investigasi awal mereka. Laporan itu antara lain mengungkapkan bahwa pesawat dikemudikan oleh kopilot, bukan pilot, sejak lepas landas dari Bandara Juanda, Surabaya menuju Bandara Changi, Singapura, sebelum akhirnya jatuh ke laut di Selat Karimata. Untuk diketahui, tukar posisi antara pilot dan kopilot dalam menerbangkan pesawat adalah hal biasa dalam dunia penerbangan.(agk)
Kopasgat TNI AU Mengukir Sejarah Melahirkan Satu Tim Peterjun Wingsuit
-
* Pertama kali dimiliki Indonesia *
*[image:
https://tni-au.mil.id/images/sw/original/2024/11/6%20-1105043.webp]**(TNI
AU)* 🪂
* U*pacara penutupan lat...
2 jam yang lalu
0 komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.