Panglima TNI Jenderal Moeldoko memeriksa langsung temuan ekor pesawat AirAsia QZ8501 saat diangkat ke kapal Crest Onyx di Selat Karimata, Pangkalan Bun, Kalimantan Tengah, Sabtu (10/1/2015).★★★★
Tim penyelam gabungan TNI Angkatan Laut akhirnya berhasil menemukan dan mengangkat kotak hitam atau black box flight data recorder pesawat AirAsia QZ8501 pada Senin (12/1/2015) pagi. Pesawat AirAsia QZ8501 jatuh di Selat Karimata, dekat Pangkalan Bun, Kalimantan Tengah, pada 28 Desember 2014 lalu.
Ada cerita tersendiri di balik hasil besar yang dinanti-nanti itu, terutama bagi saya, reporter Kompas.com—Ihsanuddin—dan wartawan lain yang berada di KRI Banda Aceh.
Ditutup-tutupi
Senin pagi, para wartawan bersama sejumlah awak KRI Banda Aceh dikumpulkan untuk apel pagi, sama seperti hari-hari biasanya. Bedanya, apel pagi itu diadakan di dalam lounge room prajurit yang biasa digunakan sebagai tempat makan bagi awak kapal dan wartawan, bukan di geladak helikopter.
Waktu apel pagi yang biasanya dimulai pukul 08.00 WIB juga dimajukan menjadi pukul 07.20 WIB.
"Apel di lounge room perwira, sekarang juga," kata Lettu Wahyu Widadi, staf Dinas Penerangan TNI Angkatan Laut.
Kali ini, tidak ada toleransi bagi wartawan yang tidak hadir. Sebelum apel dimulai, semua wartawan harus ada di ruangan tanpa terkecuali. Lettu Wahyu pun dibuat sibuk untuk mencari wartawan yang belum juga muncul di ruangan. Wartawan juga tidak boleh keluar ruangan dengan alasan apa pun, meski hanya sebentar. Materi apel yang disampaikan Palaksa KRI Banda Aceh Mayor Priyo Dwi Saputro juga di luar kebiasaan.
Priyo, misalnya, berbicara soal turnamen bulu tangkis antara wartawan dan prajurit. Priyo baru menyudahi apel setelah kurang lebih 30 menit. Tak lama, HT yang dipegang Priyo berbunyi.
Saya yang sudah berada lebih dari dua minggu di KRI Banda Aceh untuk meliput proses pencarian AirAsia merasakan ada suatu hal yang janggal. Sejumlah hal pada pagi itu tak seperti pagi-pagi sebelumnya. Namun, saat itu saya hanya bisa berspekulasi dan menduga-duga.
Untuk Panglima
Beberapa jam setelah apel pagi selesai, kejanggalan lainnya kembali terjadi. Lettu Wahyu tiba-tiba dipanggil melalui pengeras suara untuk datang ke anjungan kapal. Saat itu, para "petinggi" di KRI Banda Aceh sedang menggelar rapat tertutup. Anjungan yang biasanya bebas dimasuki wartawan saat itu masing-masing pintu masuknya dijaga oleh awak kapal.
Wahyu pun turun dengan membawa kabar yang semakin menguatkan dugaan-dugaan saya.
"Dalam dua jam lagi, Panglima akan segera ke sini. Akan langsung diadakan konferensi pers," kata Wahyu kepada wartawan.
Kedatangan Panglima TNI Jenderal Moeldoko ke KRI Banda Aceh berkaitan dengan operasi Search and Rescue pesawat AirAsia ini memang bukan hal yang baru. Sebelumnya, Moeldoko sudah dua kali berkunjung ke KRI Banda Aceh.
Kedatangan pertama berupa kunjungan singkat untuk memotivasi seluruh tim yang ada di kapal induk pencarian ini. Kedatangan kedua adalah untuk memantau langsung pengangkatan ekor pesawat. Panglima menginap dua malam di kapal produksi PT PAL Indonesia ini sebelum akhirnya ekor pesawat berhasil diangkat.
Namun, selalu ada kesamaan pola di dua kali kunjungan Panglima TNI itu. Seisi kapal sudah mengetahui kunjungan Panglima pada satu hari sebelumnya. Segala persiapan untuk menyambut kedatangan jenderal bintang empat itu pun langsung dilakukan. Namun, kali ini, kedatangan Panglima TNI sangat mendadak.
Kecurigaan saya pun semakin menjadi-jadi. Saat itu, saya yang semakin penasaran mengonfirmasi kecurigaan saya kepada beberapa orang di KRI Banda Aceh. Sebagian membenarkan dugaan-dugaan saya. Namun, tidak ada yang bisa menjawabnya dengan pasti kecuali kehadiran Panglima TNI.
Sekitar pukul 13.05 WIB, Moeldoko tiba di KRI Banda Aceh dan segala kecurigaan terjawab. Black box telah ditemukan dan dibawa ke KRI Banda Aceh. Prosesnya dilakukan saat saya dan seluruh wartawan dikumpulkan di lounge room perwira untuk melakukan "apel" pagi.
Penemuan black box yang sudah dinanti-nanti selama lebih dari dua pekan oleh keluarga korban dan seluruh masyarakat Indonesia ditutup-tutupi dan ditunda pengumumannya sampai kehadiran Panglima TNI.
Kepala Basarnas Marsekal TNI Soelistyo memang sudah langsung menggelar konferensi pers di Jakarta terkait penemuan itu meski tak ada alat ataupun gambar visual yang ditunjukkan ke publik.
Ketika ditanya mengapa temuan ini ditutup-tutupi, Moledoko berkilah. Ia mengatakan, TNI ingin mengonfirmasi terlebih dahulu alat yang ditemukan itu kepada Komite Nasional Keselamatan Transportasi.
Moeldoko mengatakan, bisa jadi alat itu bukan black box seperti yang diharapkan, melainkan bagian lain pesawat yang tidak berdampak banyak untuk hasil penyelidikan.
Oleh karena itu, kata Moeldoko, dalam kunjungannya ke KRI Banda Aceh yang menggunakan tiga helikopter, ia datang bersama Ketua KNKT Tatang Kurniadi dan rombongan. Moeldoko merasa harus mengonfirmasi terlebih dahulu barang yang ditemukan kepada Tatang, sebelum mengumumkannya ke publik.
"Kita tidak mau spekulasi karena ini akan jadi berita. Karena itu, saya paksa Ketua KNKT hadir (untuk mengecek) apakah ini benar black box," kata Moeldoko.
Tatang pun mengonfirmasi bahwa alat yang telah ditemukan penyelam TNI AL adalah black box flight data recorder.
Sebenarnya, di Kapal Navigasi Jadayat yang membantu kerja tim penyelam mendeteksi sinyal black box itu, terdapat beberapa staf KNKT yang bisa dimintai konfirmasi, tanpa Panglima TNI "memboyong" Ketua KNKT ke KRI Banda Aceh.
Tim penyelam gabungan TNI Angkatan Laut akhirnya berhasil menemukan dan mengangkat kotak hitam atau black box flight data recorder pesawat AirAsia QZ8501 pada Senin (12/1/2015) pagi. Pesawat AirAsia QZ8501 jatuh di Selat Karimata, dekat Pangkalan Bun, Kalimantan Tengah, pada 28 Desember 2014 lalu.
Ada cerita tersendiri di balik hasil besar yang dinanti-nanti itu, terutama bagi saya, reporter Kompas.com—Ihsanuddin—dan wartawan lain yang berada di KRI Banda Aceh.
Ditutup-tutupi
Senin pagi, para wartawan bersama sejumlah awak KRI Banda Aceh dikumpulkan untuk apel pagi, sama seperti hari-hari biasanya. Bedanya, apel pagi itu diadakan di dalam lounge room prajurit yang biasa digunakan sebagai tempat makan bagi awak kapal dan wartawan, bukan di geladak helikopter.
Waktu apel pagi yang biasanya dimulai pukul 08.00 WIB juga dimajukan menjadi pukul 07.20 WIB.
"Apel di lounge room perwira, sekarang juga," kata Lettu Wahyu Widadi, staf Dinas Penerangan TNI Angkatan Laut.
Kali ini, tidak ada toleransi bagi wartawan yang tidak hadir. Sebelum apel dimulai, semua wartawan harus ada di ruangan tanpa terkecuali. Lettu Wahyu pun dibuat sibuk untuk mencari wartawan yang belum juga muncul di ruangan. Wartawan juga tidak boleh keluar ruangan dengan alasan apa pun, meski hanya sebentar. Materi apel yang disampaikan Palaksa KRI Banda Aceh Mayor Priyo Dwi Saputro juga di luar kebiasaan.
Priyo, misalnya, berbicara soal turnamen bulu tangkis antara wartawan dan prajurit. Priyo baru menyudahi apel setelah kurang lebih 30 menit. Tak lama, HT yang dipegang Priyo berbunyi.
Saya yang sudah berada lebih dari dua minggu di KRI Banda Aceh untuk meliput proses pencarian AirAsia merasakan ada suatu hal yang janggal. Sejumlah hal pada pagi itu tak seperti pagi-pagi sebelumnya. Namun, saat itu saya hanya bisa berspekulasi dan menduga-duga.
Untuk Panglima
Beberapa jam setelah apel pagi selesai, kejanggalan lainnya kembali terjadi. Lettu Wahyu tiba-tiba dipanggil melalui pengeras suara untuk datang ke anjungan kapal. Saat itu, para "petinggi" di KRI Banda Aceh sedang menggelar rapat tertutup. Anjungan yang biasanya bebas dimasuki wartawan saat itu masing-masing pintu masuknya dijaga oleh awak kapal.
Wahyu pun turun dengan membawa kabar yang semakin menguatkan dugaan-dugaan saya.
"Dalam dua jam lagi, Panglima akan segera ke sini. Akan langsung diadakan konferensi pers," kata Wahyu kepada wartawan.
Kedatangan Panglima TNI Jenderal Moeldoko ke KRI Banda Aceh berkaitan dengan operasi Search and Rescue pesawat AirAsia ini memang bukan hal yang baru. Sebelumnya, Moeldoko sudah dua kali berkunjung ke KRI Banda Aceh.
Kedatangan pertama berupa kunjungan singkat untuk memotivasi seluruh tim yang ada di kapal induk pencarian ini. Kedatangan kedua adalah untuk memantau langsung pengangkatan ekor pesawat. Panglima menginap dua malam di kapal produksi PT PAL Indonesia ini sebelum akhirnya ekor pesawat berhasil diangkat.
Namun, selalu ada kesamaan pola di dua kali kunjungan Panglima TNI itu. Seisi kapal sudah mengetahui kunjungan Panglima pada satu hari sebelumnya. Segala persiapan untuk menyambut kedatangan jenderal bintang empat itu pun langsung dilakukan. Namun, kali ini, kedatangan Panglima TNI sangat mendadak.
Kecurigaan saya pun semakin menjadi-jadi. Saat itu, saya yang semakin penasaran mengonfirmasi kecurigaan saya kepada beberapa orang di KRI Banda Aceh. Sebagian membenarkan dugaan-dugaan saya. Namun, tidak ada yang bisa menjawabnya dengan pasti kecuali kehadiran Panglima TNI.
Sekitar pukul 13.05 WIB, Moeldoko tiba di KRI Banda Aceh dan segala kecurigaan terjawab. Black box telah ditemukan dan dibawa ke KRI Banda Aceh. Prosesnya dilakukan saat saya dan seluruh wartawan dikumpulkan di lounge room perwira untuk melakukan "apel" pagi.
Penemuan black box yang sudah dinanti-nanti selama lebih dari dua pekan oleh keluarga korban dan seluruh masyarakat Indonesia ditutup-tutupi dan ditunda pengumumannya sampai kehadiran Panglima TNI.
Kepala Basarnas Marsekal TNI Soelistyo memang sudah langsung menggelar konferensi pers di Jakarta terkait penemuan itu meski tak ada alat ataupun gambar visual yang ditunjukkan ke publik.
Ketika ditanya mengapa temuan ini ditutup-tutupi, Moledoko berkilah. Ia mengatakan, TNI ingin mengonfirmasi terlebih dahulu alat yang ditemukan itu kepada Komite Nasional Keselamatan Transportasi.
Moeldoko mengatakan, bisa jadi alat itu bukan black box seperti yang diharapkan, melainkan bagian lain pesawat yang tidak berdampak banyak untuk hasil penyelidikan.
Oleh karena itu, kata Moeldoko, dalam kunjungannya ke KRI Banda Aceh yang menggunakan tiga helikopter, ia datang bersama Ketua KNKT Tatang Kurniadi dan rombongan. Moeldoko merasa harus mengonfirmasi terlebih dahulu barang yang ditemukan kepada Tatang, sebelum mengumumkannya ke publik.
"Kita tidak mau spekulasi karena ini akan jadi berita. Karena itu, saya paksa Ketua KNKT hadir (untuk mengecek) apakah ini benar black box," kata Moeldoko.
Tatang pun mengonfirmasi bahwa alat yang telah ditemukan penyelam TNI AL adalah black box flight data recorder.
Sebenarnya, di Kapal Navigasi Jadayat yang membantu kerja tim penyelam mendeteksi sinyal black box itu, terdapat beberapa staf KNKT yang bisa dimintai konfirmasi, tanpa Panglima TNI "memboyong" Ketua KNKT ke KRI Banda Aceh.
☠ Kompas
0 komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.