blog-indonesia.com

Selasa, 19 April 2011

Jadi Kebutuhan Dasar Masyarakat, Saatnya Broadband Menjadi PSO?

Direktur Utama Telkomsel, Sarwoto Atmosutarno

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA--Pemerintah perlu melakukan redefinisi mengenai broadband atau jaringan pita lebar. Redefinisi broadband diperlukan karena broadband akan menjadi kebutuhan dasar setelah kebutuhan dasar akan layanan telekomunikasi telah terpenuhi.

Pandangan mengenai redefinisi broadband dilontarkan Direktur Utama Telkomsel, Sarwoto Atmosutarno. Sarwoto yang juga ketua umum asosiasi telekomunikasi seluler Indonesia (ATSI) mengingatkan bahwa redefinisi ulang diperlukan, karena broadband bakal menjadi kebutuhan dasar masyarakat.

''Kalau kita lihat, kebutuhan dasar telekomunikasi telah terpenuhi. Setelah telekomunikasi terpenuhi, broadband akan menjadi kebutuhan dasar masyarakat,'' kata Sarwoto. Karena itulah perlu redefinisi mengenai broadband, apalagi broadband akan menjadi kebutuhan dasar masyarakat di Indonesia.

Dalam pandangan Sarwoto, Broadband idealnya menjadi public servuce obligation (PSO). Sarwoto menyebut hal ini menjadi salah satu alternatif yang ideal. Di sejumlah negara, telah diterapkan pendekatan ini, seperti Malaysia dan Singapura.

''Singapura misalnya. Setelah berhasil memenuhi kebutuhan 200 Mbps per orang, kini tengah meningkatkan alokasi menjadi 1 GBps per orang. Kita mau tidak mau akan memasuki era seperti ini,'' kata Sarwoto.

Bagaimana dengan universal services obligation (USO). Belajar dari pengalaman telepon yang menggunakan mekanisme USO, PSO lebih cocok untuk broadband. '' Pada USO pemerintah hanya membeli servicenya saja,'' papar Sarwoto. Pada broadband dibutuhkan dukungan pembangunan infrastruktur berskala besar dan investasi yang sangat besar pula.

Ekspansi operator telekomunikasi dan tuntasnya program universal dervices obligation (USO) telah berhasil menyediakan akses telekomunikasi hingga ke desa-desa. Program USO misalnya, menyediakan infrastruktur telekomunikasi lebih dari 31 ribu titik di desa yang belum memiliki akses telekomunikasi. Sebanyak 25 ribu diantaranya dibangun oleh Telkomsel selaku salah satu pemenang tender USO.

Program USO telah berhasil mengakselerasi penyediaan layanan telekomunikasi di Indonesia. Fenomena ini juga menggambarkan bahwa dari sisi inftrastruktur dan ketersediaan layanan, kebutuhan dasar telekomunikasi di Indonesia telah terpenuhi.

Karena itulah Sarwoto berpendapata bahwa kebutuhan dasar telekomunikasi berhasil dipenuhi. ''Kalau dulu kita selalu berpikir populasi sekian membutuhkan sekian satuan sambungan telepon, sekarang hal itu tidak relevan lagi. Yang dipikirkan sekarang adalah untuk setiap populasi, berapa mega bits data yang harus disiapkan,'' kata Sarwoto.

Realitas seperti ini membutuhkan ketersediaan akses telekomunikasi berkapasitas besar. KIta berbicara soal broadband. Yang menjadi masalah kemudian adalah transmisi. Pasalnya, transmisi untuk mendukung layanan broadband sangat terbatas sekali. Investasi baru harus digelontorkan untuk menutup kebutuhan itu.

Sekadar mengingatkan, untuk membangun jaringan transmisi serat optik untuk wilayah Indonesia bagian Timur--dikenal dengan Palapa Ring--, membutuhkan dana tak kurang dari Rp 15 triliun. Program yang dicanangkan sejak beberapa tahun lalu ini realisasinya tersendat-sendat. Konsorsium yang sebelumnya berkomitmen membangun jaringan ini belakangan mundur satu persatu.

Sejauh ini, Telkomsel bersama induknya Telkom, berkomitmen membangun infratsruktur serat optik di wilayah Indonesia bagian Timur. Namun, memperhatikan besarnya investasi, dua operator ini tentu saja tidak bisa membangun transmisi secara masif. Mereka harus menerapkan skala prioritas untuk membangun infrastruktur, karena harus mempertimbangkan return of invesment disamping besaran belanja modal yang dimiliki.

''Investasinya sangat besar sekali, sementara revenue belum tentu sebanding. Namun sudah menjadi komitmen kami menyediakan layanan broadband,'' kata Sarwoto. Telkomsel saat ini tengah mengembangkan broadband city.

Dalam dua tahun terakhir ada 40 kota yang telah berstatus broadband city. Bila dikaitkan dengan jumlah kabupaten/kota, broadband city yang dikembangkan Telkomsel baru sekitar 10 persen saja. Untuk menjadikan 410 kota lain menjadi broadband city, butuh waktu belasan bahkan puluhan tahun.Untuk mempercepatnya, tentu saja membutuhkan program akselerasi, antara lain penyediaan transmisi yang masif.

Dalam konteks inilah peran pemerintah sangat penting. Salah satu pendekatan adalah menjadikan broadband sebagai PSO. '' Kalau ini diterapkan, operator akan dengan senang hati membangun transmisi dan mengembangkan broadband secara masif,'' ujar Sarwoto.

Pendekatan lain adalah melalui mekanisme ICT Funds. Dana yang berhasil dihimpun dimanfatkan untuk membangun transmisi. Transmisi yang ada kemudian digunakan oleh operator dengan mekanisme sewa atau mekanisme lain.

Insentif juga dinilai bisa mendorong operator lebih agresif lagi membangun transmisi dan mengembangkan broadband. Ditanya mengenai kemungkinan Telkomsel dibebaskan membayar iuran USO, tetapi dana itu dialihkan untuk pembangunan transmisi untuk mendukung broadband, Sarwoto sependapat. '' Setahun iuran USO Telkomsel bisa mencapai Rp 75 miliar, kalau dana ini bisa digunakan untuk membangun transmisi broadband kami akan senang sekali,'' kata Sarwoto.

Pengalihan dana USO disebut Sarwoto bisa membantu mempercepat pembangunan transmisi broadband. '' Untuk pengembangan broadband operator butuh dukungan dan insentif dari pemerintah,'' kata Sarwoto.


Republika

0 komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More