JAKARTA--MICOM: Jika tidak memiliki resiko kecelakaan yang besar, pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN) sebaiknya perlu dibangun di Indonesia. Namun pada kenyataannya PLTN memiliki resiko tinggi sehingga pemerintah perlu memikirkan lebih dalam lagi pembangunan PLTN untuk memenuhi kebutuhan listrik nasional.
Demikian diungkapkan anggota Dewan Energi Nasional (DEN) Herman Darnel Ibrahim dalam diskusi PLTN di Universitas Indonesia, Depok, Selasa (19/4). Dalam perhitungannya membangun PLTN memang memiliki keuntungan dan kerugian tersendiri.
Herman menuturkan, untuk membangun 1 ribu MW diperlukan 10 ton uranium per tahun untuk PLTN, sedangkan untuk pembangkit berbahan bakar fosil diperlukan 3 juta ton batu bara atau 2 juta kiloliter bahan bakar minyak (BBM) per tahun. "PLTN juga lebih bersih, tidak ada pembakaran yang menghasilkan emisi karbon," tambah Herman.
Namun di sisi lain, investasi membangun PLTN memerlukan biaya sekitar US$4-6 miliar untuk kapasitas 1 ribu MW. Menurut Herman, jumlah investasi yang sama tersebut dapat digunakan untuk membangun PLTU batubara dengan kapasitas 3-4 ribu MW.
Namun kendala terbesar pembangunan PLTN adalah penolakannya akibat resiko kecelakaan yang berakibat fatal dan ongkosnya mahal. "Kalau PLTN enggak punya resiko kecelakaan kita perlu membangun itu," ujar Herman.
Selama ini nuklir dianggap bukan merupakan kemampuan utama nasional karena teknologinya berasal dari luar negri. Tak heran jika Herman mengkhawatirkan pembangunan PLTN akan banyak menggunakan barang impor, seperti alat otomisasi dan robotik.
Lagipula Indonesia tidak bisa memproduksi pelet uranium walaupun Indonesia punya uraniumnya. "Ibarat kata kita jual minyak, kita impor bensinnya," ujar Herman.
Maka pemerintah diminta harus melakukan kajian kelayakan yang komprehensif dan terus menerus dari aspek tekno ekonomi dari berbagai opsi penyediaan energi non nuklir dan nuklir.
Jika studi kelayakan PLTN menyimpulkan opsi yang kompetitif, Herman mengatakan bahwa keputusan pembangunan PLTN selanjutnya ditentukan secara politis dengan memperhatikan penerimaan publik.
"Sampai 2030, proyeksi kebutuhan masih di bawah 200 GW dan emisi per kapita Indonesia masih di bawah rata-rata. Maka kebutuhan akan PLTN masih dapat dihindari dengan stop ekspor batubara dan gas," tutur Herman. (ML/OL-9)
• MediaIndonesia
TNI AL Siapkan 80 Unit Maung MV3 Pindad Jadi Kendaraan Dinas
-
Kepala Staf Angkatan Laut (KSAL) Laksamana TNI Muhammad Ali mengungkapkan
bahwa pihaknya menyiapkan 80 unit mobil Maung buatan PT Pindad versi
terakhir, y...
15 jam yang lalu
0 komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.