Industri Baja Ada, Tapi Belum Bisa Bikin RelDewasa ini banyak bermunculan moda transportasi baru yang juga berbasis rel seperti kereta cepat, kereta rel tunggal alias monorail hingga kereta ringan (LRT/Light Rail Transit).
Sejalan dengan perkembangan tersebut, dibutuhkan lebih banyak industri yang memproduksi komponen-komponen perkerta apian untuk menunjang keberadaan moda transportasi ini.
Untuk itu, Kementerin Perindustrian (Kemenperin) melalui Direktorat Jenderal Industri Logam, Mesin, Alat Transportasi dan Elektronika menggelar serangkaian acara seminar berjudul Seminar nasionl Industri Penunjang Perkeretaapian di Crown Hotel, Jakarta, Rabu (25/11/2015).
Seminar ini mengulas berbagai peluang pembukaan industri baru sektor produksi komponen sejalan dengan perkembangan industri perkereta apian yang kian berkembang baik dari jenis moda transportasinya hingga teknologi yang digunakannya.
"Jadi tidak hanya rel, gerbong, dan keretanya saja yang diproduksi, tapi banyak komponen penunjangnnya. Hampir seluruh industri dapat menunjang kereta api. Industri ini yang harus di identifikasi oleh kita dimana potensi pasar yang besar," ujar Direktur Jenderal (Dirjen) Industri Logam, Mesin, Alat Transportasi dan Elektronika Kemenperin, I Gusti Putu Suryawirawan dalam sambutannya pada seminar tersebut.
Putu mengidentifikasi, ada sejumlah industri yang sudah dimiliki Indonesia dan bisa ditingkatkan kapasitasnya untuk menunjang sektor perkeretaapian. Contohnya, lanjut dia, adalah Industri baja untuk membuat rel kereta api.
"Industri baja kita ada. Tapi untuk membuat rel belum ada yang memikirkan dan belum bisa bikin. Karena tidak ada identifikasi itu. Jika sudah di lakukan identifikasi, pasti buat rel kita bisa," paparnya.
Lalu, ada Industri permesinan. Mesin juga memiliki berbagai jenis. Jika ini di identifikasi maka banyak industri penunjang permesinan untuk kereta yang bisa dikembangkan.
"Mesin penunjang kan banyak ada mesin air condition (penyejuk ruangan), mesin motor penggeraknya. Semua ini diperlukan permesinan dan identifikasi juga" jelasnya.
Selain itu, kata dia, industri yang memproduksi alat-alat penunjang lain seperti elektornik persinyalan, tempat penyedian solar sell ditempat-tempat terjangkau perlu dipikirkan juga.
Saat ini sebenarnya Indonesia sudah memiliki PT Industri Kereta Api (INKA) yang punya tugas khusus memproduksi kereta dan perlengkapannya. "Tapi, karena industri penunjang belum ada kinerja PT INKA kurang maksimal," kata dia.
Lewat seminar ini, diharapakan dapat dihasilkan satu kesimpulan yang dapat dijadikan acuan untuk membangkitkan industri-industri yang sudah ada dan mensinergikannya dalam satu kegiatan industri saling berkaitan.
"Dengan terintegrasinya indusri penunjang dan industri pabrikasi maka potensial industri kereta api bisa dikerjakan secara nasional," tutur dia.
Hadir dalam seminar ini sebagai pembicara diantaranya Direktur Sarana Perkeretaapian Direktorat Jenderal Perkeretaapian Kementerian Perhubungan, Yugihartiman dan Manager Pengembangan Bisnis PT INKA, Agung Sedayu.RI Baru Bisa Kuasai 40% Komponen Kereta ApiPerkembangan industri perkeretaapian di Indonesia telah dimulai pada 1867 atau 148 tahun sejak era Hindia Belanda. Hingga periode kemerdekaan sampai saat ini Indonesia masih belum bisa memproduksi 100% komponen kereta api.
Kementerian Perindustrian (Kemenperin) mencatat tingkat komponen dalam negeri (TKDN) alias komponen produksi dalam negeri dalam satu unit kereta di Indonesia masih kurang dari 50%. Sebagian besarnya masih mengandalkan barang impor hingga 60%.
Direktur Jenderal Industri Logam, Mesin, Alat Transportasi dan Elektronika (Ilmate) I Gusti Putu Suryawirwan menyebutkan, dengan industri yang ada saat ini, komponen penunjang yang bisa diproduksi di dalam negeri baru mencapai 40% dari keseluruhan komponen untuk membuat satu unit kereta utuh.
"Kalau dilihat secara umum lebih dari 40% komponen lokal untuk kebutuhan kereta api ini bisa kita penuhi," ujar Putu dalam seminar soal industri kereta di Hotel Crown, Jakarta, Rabu (25/11/2015).
Sebanyak 40% komponen tersebut berupa gerbong kereta api yang diproduksi oleh PT INKA. Selain itu, peralatan elektronik, persinyalan dan telekomunikasi dibuat oleh PT LAN. Komponen seperti mesin, roda kereta hingga rel kereta masih mengandalkan produk Impor dari berbagai negara seperti China, Jepang dan Eropa.
Angka komponen lokal di kereta bisa ditingkatkan lagi jauh lebih besar bahkan mendekati 100%. Sayangnya, saat ini hal tersebut belum bisa dilakukan.
Ia menjelaskan, untuk menciptakan industri yang perkeretaapian yang besar sangat bergantung pada perencanaan pengembangan perkeretaapian. Komponen penunjang perekeretaapian ini termasuk dalam kategori industri penghasil barang modal yang jumlah diproduksinya tidak mungkin melebihi dari kebutuhan.
"Makanya kita butuh gambaran yang jelas tentang rencana pengembangan kereta api ke depan. Jumlahnya berapa, peruntukannya bagaimana, spesifikasinya seperti apa. Sehingga, kemampuan supply itu harus sesuaikan dengan rencana kebutuhan. Sekarang kita belum punya (rencana kebutuhan kereta api)," katanya.
Menurutnya, perlu dibuat semacam perencanaan kebutuhan untuk menghitung spesifikasi apa saja yang dibutuhkan di industri perkeretaapian. Sehingga bisa diketahui industri apa saja yang bisa dikembangkan secara maksimal di dalam negeri dan komponen impor bisa berkurang.
"Yang akan kita kembangkan ke arah mana. Meskipun tidak 100% tapi bisa dipenuhi industri dalam negeri," kata Putu.RI Masih 100% Impor Rel Kereta ApiRel adalah kompoenen penting dalam beroperasinya sebuah kereta. Tanpa landasan baja ini, sehebat apa pun sebuah kereta tak bisa berfungsi. Indonesia sebagai negara pengguna moda transportasi kereta, tak memiliki satu pun industri yang memproduski Rel.
Demikian disampaikan Direktur Sarana Perkeretaapian Direktorat Jenderal Perkeretaapian Kementerian Perhubungan Yugihartiman dalam acara seminar berjudul Seminar nasional Industri Penunjang Perkeretaapian di Crowne Plaza, Jakarta, Rabu (25/11/2015).
"Belum ada industri yang bikin (produksi rel kereta). Kita masih impor dari China, Jepang, dan Eropa Timur," kata Yugi.
Kalangan usaha masih enggan menggarap industri ini karena mereka belum mendapat kepastian perihal keberlangsungan pembangunan kereta di tanah air. Apa lagi, pembuatan rel kereta adalah industri skala besar yang melibatkan volume bahan baku dan produksi dalam jumlah yang sangat besar. Sehingga membutuhkan kepastian pasar.
"Nanti kalau dibuat, tapi tidak ada pasarnya, susah juga," sambungnya.
Dampak dari ketergantungan impor, peningkatan kualitas rel yang ada pun masih belum bisa dilakukan menyeluruh. Saat ini masih banyak rel kereta di Indonesia yang merupakan peninggalan Belanda dengan spesifikasi yang sudah usang.
Rel kereta peninggalan zaman Belanda, memiliki spesifikasi R33 atau rel yang setiap potongnya memiliki berat 33 kg. Rel ini memiliki ukuran yang relatif kecil.
"Sehingga tidak bisa digunakan untuk kereta api berkecepatan tinggi," jelas Yugi.
Di zaman seperti saat ini, Indonesia membutuhkan rel dengan spesifikasi yang lebih tinggi. Yugi menyebut, yang dibutuhkan Indonesia adalah rel dengan spesifikasi R54. Rel jenis ini sudah mulai digunakan. Misalnya untuk jalur rel ganda lintas Jawa, sebanyak 80-90% sudah menggunakan rel spesifikasi R54 yang berasal dari impor.
"Hanya beberapa lintas cabang yang masih menggunakan rel lama," kata Yugi.
Latar belakang ini membuat Pemerintahan Presiden Joko Widod (Jokowi) giat mendorong berbagai pengembangan perkeretaapian dari mulai Kereta Api, Monorail, Kereta Ringan alias LRT hingga kereta cepat. Bukan hanya di Pulau Jawa, tetapi mulai dibuat rintisanya di berbagai pulau di Indonesia.
"Sampai 2019 ada Trans Sumatera, Kalimantan dan Papua. Investasi di atas Rp 300 triliun dalam pengembangan infrastruktur," katanya.
Dengan cara ini, diharapkan ada stimulus bagi kalangan Industri untuk mau menggarap industri penunjang perkeretaapian terutama rel kereta karena melihat keseriusan pemerintah yang mau membangun kereta api secara besar-besaran.
Contoh proyek kereta yang memakai rel impor adalah Trans Sulawesi. Jalur kereta api rute Trans Sulawesi Makassar-Pare Pare panjang 145,23 km. (dna/hen)
Sejalan dengan perkembangan tersebut, dibutuhkan lebih banyak industri yang memproduksi komponen-komponen perkerta apian untuk menunjang keberadaan moda transportasi ini.
Untuk itu, Kementerin Perindustrian (Kemenperin) melalui Direktorat Jenderal Industri Logam, Mesin, Alat Transportasi dan Elektronika menggelar serangkaian acara seminar berjudul Seminar nasionl Industri Penunjang Perkeretaapian di Crown Hotel, Jakarta, Rabu (25/11/2015).
Seminar ini mengulas berbagai peluang pembukaan industri baru sektor produksi komponen sejalan dengan perkembangan industri perkereta apian yang kian berkembang baik dari jenis moda transportasinya hingga teknologi yang digunakannya.
"Jadi tidak hanya rel, gerbong, dan keretanya saja yang diproduksi, tapi banyak komponen penunjangnnya. Hampir seluruh industri dapat menunjang kereta api. Industri ini yang harus di identifikasi oleh kita dimana potensi pasar yang besar," ujar Direktur Jenderal (Dirjen) Industri Logam, Mesin, Alat Transportasi dan Elektronika Kemenperin, I Gusti Putu Suryawirawan dalam sambutannya pada seminar tersebut.
Putu mengidentifikasi, ada sejumlah industri yang sudah dimiliki Indonesia dan bisa ditingkatkan kapasitasnya untuk menunjang sektor perkeretaapian. Contohnya, lanjut dia, adalah Industri baja untuk membuat rel kereta api.
"Industri baja kita ada. Tapi untuk membuat rel belum ada yang memikirkan dan belum bisa bikin. Karena tidak ada identifikasi itu. Jika sudah di lakukan identifikasi, pasti buat rel kita bisa," paparnya.
Lalu, ada Industri permesinan. Mesin juga memiliki berbagai jenis. Jika ini di identifikasi maka banyak industri penunjang permesinan untuk kereta yang bisa dikembangkan.
"Mesin penunjang kan banyak ada mesin air condition (penyejuk ruangan), mesin motor penggeraknya. Semua ini diperlukan permesinan dan identifikasi juga" jelasnya.
Selain itu, kata dia, industri yang memproduksi alat-alat penunjang lain seperti elektornik persinyalan, tempat penyedian solar sell ditempat-tempat terjangkau perlu dipikirkan juga.
Saat ini sebenarnya Indonesia sudah memiliki PT Industri Kereta Api (INKA) yang punya tugas khusus memproduksi kereta dan perlengkapannya. "Tapi, karena industri penunjang belum ada kinerja PT INKA kurang maksimal," kata dia.
Lewat seminar ini, diharapakan dapat dihasilkan satu kesimpulan yang dapat dijadikan acuan untuk membangkitkan industri-industri yang sudah ada dan mensinergikannya dalam satu kegiatan industri saling berkaitan.
"Dengan terintegrasinya indusri penunjang dan industri pabrikasi maka potensial industri kereta api bisa dikerjakan secara nasional," tutur dia.
Hadir dalam seminar ini sebagai pembicara diantaranya Direktur Sarana Perkeretaapian Direktorat Jenderal Perkeretaapian Kementerian Perhubungan, Yugihartiman dan Manager Pengembangan Bisnis PT INKA, Agung Sedayu.RI Baru Bisa Kuasai 40% Komponen Kereta ApiPerkembangan industri perkeretaapian di Indonesia telah dimulai pada 1867 atau 148 tahun sejak era Hindia Belanda. Hingga periode kemerdekaan sampai saat ini Indonesia masih belum bisa memproduksi 100% komponen kereta api.
Kementerian Perindustrian (Kemenperin) mencatat tingkat komponen dalam negeri (TKDN) alias komponen produksi dalam negeri dalam satu unit kereta di Indonesia masih kurang dari 50%. Sebagian besarnya masih mengandalkan barang impor hingga 60%.
Direktur Jenderal Industri Logam, Mesin, Alat Transportasi dan Elektronika (Ilmate) I Gusti Putu Suryawirwan menyebutkan, dengan industri yang ada saat ini, komponen penunjang yang bisa diproduksi di dalam negeri baru mencapai 40% dari keseluruhan komponen untuk membuat satu unit kereta utuh.
"Kalau dilihat secara umum lebih dari 40% komponen lokal untuk kebutuhan kereta api ini bisa kita penuhi," ujar Putu dalam seminar soal industri kereta di Hotel Crown, Jakarta, Rabu (25/11/2015).
Sebanyak 40% komponen tersebut berupa gerbong kereta api yang diproduksi oleh PT INKA. Selain itu, peralatan elektronik, persinyalan dan telekomunikasi dibuat oleh PT LAN. Komponen seperti mesin, roda kereta hingga rel kereta masih mengandalkan produk Impor dari berbagai negara seperti China, Jepang dan Eropa.
Angka komponen lokal di kereta bisa ditingkatkan lagi jauh lebih besar bahkan mendekati 100%. Sayangnya, saat ini hal tersebut belum bisa dilakukan.
Ia menjelaskan, untuk menciptakan industri yang perkeretaapian yang besar sangat bergantung pada perencanaan pengembangan perkeretaapian. Komponen penunjang perekeretaapian ini termasuk dalam kategori industri penghasil barang modal yang jumlah diproduksinya tidak mungkin melebihi dari kebutuhan.
"Makanya kita butuh gambaran yang jelas tentang rencana pengembangan kereta api ke depan. Jumlahnya berapa, peruntukannya bagaimana, spesifikasinya seperti apa. Sehingga, kemampuan supply itu harus sesuaikan dengan rencana kebutuhan. Sekarang kita belum punya (rencana kebutuhan kereta api)," katanya.
Menurutnya, perlu dibuat semacam perencanaan kebutuhan untuk menghitung spesifikasi apa saja yang dibutuhkan di industri perkeretaapian. Sehingga bisa diketahui industri apa saja yang bisa dikembangkan secara maksimal di dalam negeri dan komponen impor bisa berkurang.
"Yang akan kita kembangkan ke arah mana. Meskipun tidak 100% tapi bisa dipenuhi industri dalam negeri," kata Putu.RI Masih 100% Impor Rel Kereta ApiRel adalah kompoenen penting dalam beroperasinya sebuah kereta. Tanpa landasan baja ini, sehebat apa pun sebuah kereta tak bisa berfungsi. Indonesia sebagai negara pengguna moda transportasi kereta, tak memiliki satu pun industri yang memproduski Rel.
Demikian disampaikan Direktur Sarana Perkeretaapian Direktorat Jenderal Perkeretaapian Kementerian Perhubungan Yugihartiman dalam acara seminar berjudul Seminar nasional Industri Penunjang Perkeretaapian di Crowne Plaza, Jakarta, Rabu (25/11/2015).
"Belum ada industri yang bikin (produksi rel kereta). Kita masih impor dari China, Jepang, dan Eropa Timur," kata Yugi.
Kalangan usaha masih enggan menggarap industri ini karena mereka belum mendapat kepastian perihal keberlangsungan pembangunan kereta di tanah air. Apa lagi, pembuatan rel kereta adalah industri skala besar yang melibatkan volume bahan baku dan produksi dalam jumlah yang sangat besar. Sehingga membutuhkan kepastian pasar.
"Nanti kalau dibuat, tapi tidak ada pasarnya, susah juga," sambungnya.
Dampak dari ketergantungan impor, peningkatan kualitas rel yang ada pun masih belum bisa dilakukan menyeluruh. Saat ini masih banyak rel kereta di Indonesia yang merupakan peninggalan Belanda dengan spesifikasi yang sudah usang.
Rel kereta peninggalan zaman Belanda, memiliki spesifikasi R33 atau rel yang setiap potongnya memiliki berat 33 kg. Rel ini memiliki ukuran yang relatif kecil.
"Sehingga tidak bisa digunakan untuk kereta api berkecepatan tinggi," jelas Yugi.
Di zaman seperti saat ini, Indonesia membutuhkan rel dengan spesifikasi yang lebih tinggi. Yugi menyebut, yang dibutuhkan Indonesia adalah rel dengan spesifikasi R54. Rel jenis ini sudah mulai digunakan. Misalnya untuk jalur rel ganda lintas Jawa, sebanyak 80-90% sudah menggunakan rel spesifikasi R54 yang berasal dari impor.
"Hanya beberapa lintas cabang yang masih menggunakan rel lama," kata Yugi.
Latar belakang ini membuat Pemerintahan Presiden Joko Widod (Jokowi) giat mendorong berbagai pengembangan perkeretaapian dari mulai Kereta Api, Monorail, Kereta Ringan alias LRT hingga kereta cepat. Bukan hanya di Pulau Jawa, tetapi mulai dibuat rintisanya di berbagai pulau di Indonesia.
"Sampai 2019 ada Trans Sumatera, Kalimantan dan Papua. Investasi di atas Rp 300 triliun dalam pengembangan infrastruktur," katanya.
Dengan cara ini, diharapkan ada stimulus bagi kalangan Industri untuk mau menggarap industri penunjang perkeretaapian terutama rel kereta karena melihat keseriusan pemerintah yang mau membangun kereta api secara besar-besaran.
Contoh proyek kereta yang memakai rel impor adalah Trans Sulawesi. Jalur kereta api rute Trans Sulawesi Makassar-Pare Pare panjang 145,23 km. (dna/hen)
0 komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.