Wawancara Khusus Menperin[Lani/detikFinance] ★
Matahari sudah tenggelam di Pantai Nemberala, Pulau Rote, Nusa Tenggara Timur (NTT) yang merupakan titik terluar Indonesia di bagian selatan. Sebuah pantai eksotis dengan ombak perairan selatan Indonesia dari Samudera Hindia yang jadi idola peselancar dunia. Pulau dengan deretan pantai eksotisnya ini merupakan tempat kelahiran Menteri Perindustrian (Menperin) Saleh Husin.
Pulau Rote menyimpan banyak cerita masa kecil Saleh Husin, yang lahir di Ba'a, Rote Ndao, 16 September 1963. Saleh Husin merupakan warga Pulau Rote pertama yang jadi menteri.
Dibesarkan di daerah yang menyuguhkan keindahan pantainya, masa kecil Saleh Husin tidak lepas dari kehidupan 'anak pantai' mulai dari memancing hingga berenang di laut setiap hari.
Anak ketiga dari tujuh bersaudara ini dibesarkan dari keluarga sangat sederhana. Ayah Saleh Husin bekerja menawarkan jasa angkutan kapal kayu dan ibunya membuat kue dan es. Dituntut kebutuhan hidup, Saleh Husin harus berjualan kue keliling kota.
Diam-diam impiannya saat SMP adalah menjadi jendral TNI. Lalu bagaimana perjalanan 'anak pantai' penjaja kue ini hingga jadi Menteri Perindustrian?
Berikut petikan wawancara detikFinance dengan Saleh Husin saat di Anugerah Beach and Resort, Pantai Nemberala, Pulau Rote, Nusa Tenggara Timur, akhir pekan lalu.
Bisa ceritakan masa kecil Anda di Pulau Rote?
Saya lahir di Ba'a, Pulau Rote. Sampai dengan SMP tinggal di Pulau Rote. Mulai dari SD di SDN 1 Ba'a lalu lanjut ke SMPN 1 Ba'a. SMA saya merantau ke Kupang. Dulu transportasi masih susah. Jadi ke Kupang naik kapal layar. Kebetulan ayah saya yang membawa kapal itu ya nelayan juga, jadi kalau liburan bisa numpang pulang.
Pernah jualan kue sampai SMP?
Ibu kebetulan bikin dan jualan kue. Terus ya kita anak-anak yang jualan. Saya anak ketiga dari tujuh bersaudara. Saya jualan dari SD kelas lima sampai SMP kelas tiga. Jualan kue kaya roti goreng keliling kota. Harganya dulu satu biji hanya lima perak (Rp 5). Kadang-kadang jual ikan juga. Itu sekitar tahun 1970-an.
Kabarnya Anda saat kecil jago mancing dan renang di laut?
Kita kan anak-anak pesisir. Jadi biasanya begitu pulang sekolah ya main di laut. Main bola di pantai. Napasnya kuat, fisiknya juga.
SMA merantau ke Kupang, padahal ada SMA di Pulau Rote?
Saya bertekad sejak SMP lanjut sekolah SMA harus merantau pokoknya. Di Pulau Rote ada SMA, tapi belum terlalu bagus. Apapun caranya, SMA saya harus keluar dari Rote. Saya mau ke Kupang. Guru saya cerita tentang orang-orang Rote yang sudah jadi tokoh nasional di Jakarta seperti mantan Gubernur BI Adrianus Mooy (Gubernur Bank Indonesia periode 1988-1993), Prof. Wilhelmus Zakaria Yohannes (ahli radiologi) mantan rektor pertama UGM, di tentara ada jenderal dari Rote. Pokoknya saya harus jadi sama seperti mereka. Kalau jadi jenderal bisa jadi menteri. Zaman Pak Harto kan hampir seluruhnya jenderal militer.
Jadi ambisi waktu SMA justru jadi Jenderal TNI?
Iya, selain itu, saya pikir ingin kuliah gratis. Kuliah gratis ya masuk Akabri. Jadi jenderal kan gagah, akhirnya selesai SMA bersama beberapa teman dari NTT berangkat ke Akademi Militer Magelang, Jawa Tengah.
Ikut tes, dari sekian orang udah pada gugur, tinggal berdua saat tes penentuan akhir. Saya gagal karena bermasalah dengan mata. Mayoritas anak-anak pesisir kan matanya katarak karena sering nyebur di laut nggak pakai kacamata renang.
Setelah gagal seleksi Akabri, apa yang dilakukan?
Setelah gagal, mau pulang ke Rote kan malu. Udah terlanjur di Jawa, apapun yang terjadi harus menemui Danjen Akabri nekat ke Jakarta naik kereta. Badan masih six pack, kepala botak, dikira angkatan jadi naik kereta gratis.
Untuk apa ketemu Danjen Akabri?
Saya temui saja, ikut dia tinggal di rumahnya. Saya minta ketemu datang ke kantornya, lalu diminta ke rumah. Di rumah mungkin komandan itu lihat ini anak item dari timor mau ngapain.
Danjen nggak kenal saya, hanya saya tahunya Beliau orang Rote juga. Saya cerita masalah di Magelang, Pak jenderal saya mau pulang kampung malu. Kalah boleh saya numpang tinggal. Terserah mau jadi pembantu atau apalah. Siapa tahu tahun depan bisa lolos Akabri.
Setelah itu Anda daftar Akabri lagi?
Ya saya tinggal di Menteng di rumah Danjen tadi sampai ikut seleksi lagi. Saya tahu diri, tiap hari tanpa disuruh pun nyuci piring, ngepel, cuci pakaian, itu saya lakoni pagi sore. Selebihnya saya bebas main ke rumah tetangga, main sama anak-anak pembesar yang juga tinggal di sekitar situ.
Pergaulan saya akhirnya sama anak pembesar. Tahun 1984 akhirnya daftar Akabri lagi bareng Boy Rafli Amar. Jadi tahu betul gimana kita berangkat naik bus sama-sama. Suka duka seleksi di Magelang. Kembali lagi gagal karena mata.
Gagal dua kali, tetap nekad di Jakarta?
Mungkin ini garis tangan. Jalan hidup saya bukan di militer. Saya pikirkan untuk kuliah. Caranya biar bisa kuliah ya harus cari duit dulu dengan mulai dagang.
Apakah Anda masih tinggal di rumah Danjen?
Masih numpang di sana. Sebelumnya saya kirim surat ke ibu saya agar dibantu uang untuk dagang. Dikirim Rp 500 ribu via wesel. Zaman dulu belum kenal bank.
Dari situ akhirnya dijadikan modal usaha. Bikin atribut sekolah, saya ke C 59 di Bandung. Itu banner segitiga seperti flyer untuk hiasan pakai tulisan nama sekolahnya. Satu flyer harga Rp 1.000, mau buat 1.000 biji. Saya kasih DP dulu, flyer itu mau dijual, baru untuk lunasi sisanya.
Akhirnya jadi pedagang flyer atribut sekolah?
Iya akhirnya jualan atribut itu, kebetulan kenal anak-anak pembesar seperti Ferdi Hasan saat itu masih SMP. Saya nggak boleh masuk ke dalam sekoah untuk jualan, jadi Ferdi dan teman-teman lain yang jualan.
Dalam waktu satu jam habis langsung. Saya jual Rp 2.500, akhirnya saya punya duit Rp 2,5 juta. Langsung berangkat ke Bandung, lunasi utang Rp 500.000 dan bikin lebih banyak lagi.
Bagaimana dengan kuliah Anda?
Belum, kan belum punya duit. Saya kebetulan waktu itu dekat suka main bareng anaknya Pak Try Sutrisno mantan Wapres. Konglomerat sepanjang Sudirman-Thamrin akhirnya mulai melirik, siapa sih yang nggak mau dekat sama keluarga Try Sutrisno waktu itu masih Panglima Besar TNI.
Akhirnya mulailah kita bikin usaha dan pabrik ini itu. Dalam usia 27 tahun udah punya mobil.
Anda jadi orang sukses umur 27 sudah bisa beli mobil sendiri?
Iya 27 sudah punya mobil. Terus begitu uang sudah punya, kuliahnya belum, masih asyik cari duit. Lalu kenal sama seorang dekan. Diajak kuliah di Universitas Krisnadwipayana jurusan ekonomi.
Tapi karena posisi kuliah sudah punya uang dari kerja, kuliah malah jarang masuk kelas. Dibawa ke ruang dekan untuk diskusi dengan saya tuker pikiran dari sisi pengusaha. Bareng dengan Ketua MPR Zulkifli Hasan masuk Unkris tahun 1991.
Keenakan jadi pengusaha ya?
Enak betul dan lifestyle berubah. Mulai kenal lifestyle konglomerat kaum jetset.
Di Rote ada bisnis apa?
Dulu sempat ada bisnis perikanan ikan, penangkapan ikan cakalang, tapi terus tutup.
Usia 30 sudah jadi konglomerat? Apa bisnisnya?
Bukan konglomerat juga, saya kan komisaris di bisnis air minum dalam kemasan. Terus ada HPH Sumatera Barat terbesar. Ada pabrik laminating, finger joint dan lainnya. Orang-orang lihat bukan siapa saya, tapi behind-nya. Partner sama anak-anak Try Sutrisno. Kehidupan high class sudah pernah saya dialami. Naik limo dan privat jet sampai satu hotel sama Chuck Norris (aktor film action)
Hidup jadi kaum jetset di usia 30 bagaimana rasanya?
Usia 30 saya sudah sampai ke titik puncak. Kepikiran married tapi takut. Masuk usia 31 baru menikah. Begitu punya anak perempuan langsung rem semua, lifestyle berubah total.
Tukang Kue, Politisi, Hingga Jadi Menteri Perindustrian Perjalanan seorang Saleh Husin hingga menjadi seorang Menteri Perindustrian (Menperin) sangat panjang.
Putra asli Pulau Rote Nusa Tenggara Timur (NTT) ini memulai dari berdagang kue saat di bangku sekolah SD-SMP, gagal menjadi tentara, memulai bisnis kecil-kecilan, sukses berbisnis, masuk politik hingga jadi pejabat negara.
Saleh Husin salah satu dari sekian putra Pulau Rote yang 'jadi orang'. Beberapa tokoh dan pejabat ada yang dari Pulau Rote seperti Gubernur Bank Indonesia periode 1988-1993 Adrianus Mooy dan lainnya.
Berikut petikan wawancara detikFinance dengan Saleh Husin saat di Anugerah Beach and Resort, Pantai Nemberala, Pulau Rote, Nusa Tenggara Timur, akhir pekan lalu.
Bisa cerita awal Anda terjun ke dunia politik hingga jadi anggota DPR?
Ada tawaran terjun ke dunia politik. Saya awalnya nggak mau karena masih euforia dengan bisnis.
Apakah sejak awal di politik berniat jadi menteri?
Oh nggak, waktu SMA kan saya maunya jadi jenderal biar bisa jadi menteri. Lalu teman ajak dorong Amien Rais jadi Presiden. Sejak saat itu terjun ke politik.
Meski ke politik, saya ingin jalur jenderal. Saya masuk ke Lemhanas dulu lewat jalur partai tahun 2006. Saya persiapkan betul, baru terjun ke politik.
Tujuannya apa ke politik?
Saya pikir waktu itu di usia masih kepala tiga saya sudah cukup dengan diri sendiri. Saya lalu mikir, ini daerah kelahiran saya siapa yang mau bangun? Siapa lagi kalau bukan kita. Buat diri saya sendiri sudah tidak pikirkan apa-apa lagi. Kalau mau berbuat untuk daerah, harus mau masuk sistem, akhirnya terjun ke politik lewat DPR. Jadi anggota DPR saya buktikan, sekarang jalan dari barat ke timur Pulau Rote sudah aspal hotmix semua. Embung (tempat penyimpan air) dimana-mana.
Pernah terpikir jadi gubernur?
Oh nggak pernah tertarik jadi gubernur, bupati pun nggak minat.
Kenapa fokus kontribusi ke infrastruktur?
Saya lihat tanpa infrastruktur yang maju mana mungkin daerah ini berkembang. Di DPR kan kolektif, perjuangan bersama.
Bagaimana Anda bisa jadi menteri?
Masuk putaran kedua mulai ikut dorong Pilpres. Kebetulan saya dengan Pak Wiranto (Partai Hanura) kemana-mana bareng tugas saya lobbying karena pergaulan selama saya cukup bagus.
Bapak menteri pertama dari Pulau Rote, perindustrian pula, apa kontribusi buat daerah?
Nah itu yang membuat saya kepikiran. Sampai saya cerita ke presiden, kadang saya malu hampir tiap minggu saya keliling ke berbagai daerah, resmikan pabrik, investasi triliunan, tapi kok nggak ada peresmian pabrik dari NTT? padahal menteri perindustrian dari NTT.
Kenapa bisa seperti itu?
Itu yang menjadi pikiran. Gimana caranya harus ada satu industri yang harus dibangun di NTT.
Sudah ada minat investasi apa di NTT?
Kita sedang dorong industri garam. Industri di Nagekeo. Mudah-mudahan ini sedang berusaha bersama gubernur modal bangun pabrik semen Kupang III.
Padahal Bapak sudah bangun prasyarat infrastruktur supaya industri bisa masuk Pulau Rote?
Ada beberapa minat lain. Saya sudah bicara dengan beberapa teman pengusaha agroindustri untuk bangun pabrik pengolahan tapioka, singkong atau jagung di daerah NTT kan banyak. Lalu skala-skala kecil melalui Ditjen IKM seperti tenun, gula semut, rumput laut.
Di Pulau Rote, mana yang cocok, investasi industri atau Industri Kecil Menengah (IKM)?
Lebih cocok IKM. Kalau industri besar paling mungkin agro. Pabrik pengolahan singkong atau tebu. Tapi tebu kan agak susah di sini harus cari hamparan seluas 10.000 hektar.
Mungkin singkong yang sedang saya coba komunikasikan dengan teman-teman pengusaha. Saya ingat potensi gula semut, saya langsung telepon pengusaha GarudaFood, bilang lagi di Rote ada gula semut bagus. Dia minta sampel supaya nanti bisa dikembangkan apakah mau dipakai GarudaFood atau dikemas untuk dijual lagi.
Ada potensi apa lagi di Pulau Rote?
Pulau Rote itu surplus beras. Pasokan beras di gudang Bulog NTT itu banyak dari Rote. Di sini daerah surplus beras.
Jadi misi dalam waktu dekat untuk NTT selain industri garam?
Ya garam sedang coba kami komunikasikan dengan pengusaha. Kemudian lontar ini ada ratusan ribu pohon. (ang/ang)
TNI AL Kirim Satgas ke Italia Terkait Pembelian Kapal Patroli
-
*⚓**OPV Thaon di Revel class ketika berkunjung ke Indonesia, setelah
ditawarkan, dalam hitungan bulan, Kemhan menandatangani kontrak 2 unit
Kapal OPV ini...
4 jam yang lalu
0 komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.