Cerita Pilu Dirut PTDI Ilustrasi kegiatan Hanggar PT DI [def.pk] ☆
Direktur Utama PT Dirgantara Indonesia (PTDI) Budi Santoso, telah mengalami masa-masa sulit. Perusahaan pelat merah yang ia pimpin sempat dicap pailit hingga sulit berkembang.
Namun PTDI bisa bertahan dan terus beroperasi. Terutama setelah diberikan suntikan dana lewat Penyertaan Modal Negara (PMN).
Budi menjelaskan hal ini setelah dicecar oleh DPR mengenai dugaan denda keterlambatan salah satu proyek pemerintah. Budi dituduh bermasalah dalam mengelola kinerja keuangan PTDI oleh DPR.
"Kalau mau dicari apa yang salah di kami memang banyak. Kami dipailitkan tahun 2007. Kami perusahaan yang tidak mempunyai modal saat itu. Kami tidak bisa meminjam uang modal kerja. Kalau dilihat saat kami diberikan PMN, kondisi jauh berubah," tutur dia saat rapat kerja dengan komisi VI DPR RI hari ini di Jakarta, Kamis (27/10/2016).
Ia bercerita bagaimana perusahaan sempat bangkrut di tahun 2012 karena sulit berkembang akibat banyaknya utang. Bahkan jajaran direksi sempat tidak digaji pada tahun tersebut.
"Tahun 2011 adalah saat yang paling berat bagi kami. 2012 bahkan direksi tidak digaji. Sebagai direksi, kami tidak punya keinginan apa-apa. Saya sudah di PTDI selama 9 tahun dan saya tetap harus bekerja untuk pengembangan perusahaan ini," katanya.
Sebagai informasi, PT DI telah menerima Penyertaan Modal Negara (PMN) sebanyak tiga kali sejak 2011. Yaitu Rp 1,18 triliun pada tahun 2011; Rp 1,4 triliun pada tahun 2012; dan Rp 400 miliar pada tahun 2015.
Meski PTDI telah berhasil melewati masa-masa sulit, Komisi VI DPR RI masih mempertanyakan kinerja direksi PTDI yang ditenggarai membawa perusahaan ke ambang kebangkrutan.
Hal ini terjadi lantaran Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) merilis hasil audit tahun 2015. Dalam audit itu ditemukan adanya denda keterlambatan pekerjaan pengadaan helikopter di TNI AL sebesar Rp 3,35 miliar.
Ilustrasi helikopter TNI AL produksi PT DI [TNI AL]
Budi menjelaskan, PTDI telah melakukan pengiriman helikopter kepada TNI AL dalam waktu yang tepat. Hal ini kemudian menimbulkan tanda tanya oleh sejumlah anggota komisi VI DPR yang hadir dalam rapat kerja hari ini.
"Saya menilai direksi PTDI melakukan sesuatu yang salah dalam penjelasan. Pengiriman helikopter dikatakan tepat tapi audit BPK tahun 2015 ada denda keterlambatan," ujar anggota komisi VI DPR Iskandar dalam kesempatan yang sama.
Anggota komisi VI DPR Iskandar kemudian meminta keterbukaan kepada direksi PTDI mengenai hal ini.
"Kalau melihat kinerja keuangannya, saya pesimis untuk bisa hidup kembali. Kalau dilihat dari penggambaran, direksi ini sudah tidak layak lagi," tutur dia.
Anggota komisi VI DPR lainnya Nyoman Dhamantara juga menyatakan hal serupa.
"Kekhawatiran saya luar biasa saat Pak Dirut membela diri. Ada operasional cost tapi tidak dibenarkan. Ini negara bisa bubar, makanya hati-hati Pak Dirut, kita minta Kementerian BUMN untuk investigasi," ungkap Nyoman. (ang/ang)
Bikin Pesawat Perintis Tanpa Bantuan Tenaga Asing
N219 karya PT DI
PT Dirgantara Indonesia (PTDI) tengah mengembangkan pesawat produksi terbarunya N219, pesawat perintis perdana yang menghubungkan wilayah pedalaman dan kepulauan Indonesia.
Direktur Utama PTDI, Budi Santoso mengatakan, pengerjaan N219 menjadi langkah PTDI dalam melakukan regenerasi kepercayaan kepada para penerus, untuk bisa diberi kepercayaan dalam pengambilan keputusan.
Selama ini, PTDI mengandalkan tenaga kerja asing untuk mengambil keputusan dalam membuat sebuah pesawat, seperti pembuatan pesawat N250.
"N219 adalah suatu yang kita inginkan, kita tidak ingin tergantung tenaga asing. Kalau saya ambil lagi tenaga asing di sini, adik-adik saya ini akan tergantung kalau mendesain pesawat," katanya kepada detikFinance, saat ditemui di Gedung DPR, Jakarta, Kamis malam (28/10/2016).
"Yang ada di tempat kami adalah mantan-mantan orang yang mendesain N250. Meskipun situasi dulu berbeda. Waktu kami mendesain N250, ada 300 lebih tenaga asing yang mensupervisi kita. Jadi kalau ada mentor, harus memutuskan sesuatu nggak ada yang memutuskan, harus ada mentor. Bahkan Pak Habibie punya asisten khusus, satu dari Wiena, satu dari Jerman," tambahnya.
Pesawat ini dijadwalkan terbang perdana pada akhir tahun ini. Jadwal ini terbilang molor, lantaran proses desain pesawat terbang jenis fixed wing ini sepenuhnya dikerjakan oleh para ahli Indonesia, dan juga memakan sertifikasi yang lumayan lama.
Dengan mendesain pesawat sederhana N219 ini, diharapkan para karyawan PTDI tidak hanya mempunyai kemampuan untuk mendesain pesawat, tetapi juga keputusan. Kemampuan mengambil keputusan inilah yang paling berat untuk ditimbulkan.
"Karena ini pengalamannya setengah-setengah, mereka butuh waktu lebih lama. Itu makanya saya juga tidak ingin keluar dari keinginan awal, yaitu regenerasi di PTDI," katanya.
Semua komponen yang akan dipasang di pesawat harus ada sertifikasinya yang akan disetujui oleh Kementerian Perhubungan. Namun, badan sertifikasi Kemenhub juga belum punya pengalaman yang sama untuk melakukan ini.
Proses administrasi kemudian menjadi panjang, karena harus memvalidasi teori penerbangan pesawat terbukti menghasilkan yang sesuai dengan teori.
"Waktu membuat N250 dulu, mereka juga mempunyai technical assistant dari FAA dari Amerika. Sekarang mereka nggak punya itu, jadi kita harus sama-sama belajar. Text book berbeda dengan realitas. Jadi ini yang membuat kita agak perlu waktu untuk meyakinkan," ungkapnya.
Saat ini, proses pengerjaan pesawat N219 sendiri telah memasuki tahap akhir, yakni uji statik sayap pesawat.
"Sekarang wings sudah mulai kita tes. Kita statik. Nanti setelah operasional, kita ada dynamic test-nya. Naik turun berapa cycle. Sekarang kita tes berapa kekuatan sayapnya," jelas dia.
Pesawat N219 menjadi pesawat perintis pertama yang memiliki bobot ringan dengan teknologi avionik modern dan berfungsi menghubungkan daerah-daerah terpencil seperti di Papua dan Sulawesi. sendiri
Pesawat ini diproyeksikan untuk penerbangan ke wilayah-wilayah pedalaman pegunungan di timur Indonesia, yang memiliki medan sulit jika ditempuh melalui jalur darat.
"Jarak yang tadinya ditempuh pakai mobil dengan waktu 8 jam, dengan pesawat terbang ini mungkin 1,5 jam. Khususnya daerah timur Indonesia. Akhir tahun kita harapkan bisa melakukan penerbangan perdana," pungkasnya. (drk/wdl)
Direktur Utama PT Dirgantara Indonesia (PTDI) Budi Santoso, telah mengalami masa-masa sulit. Perusahaan pelat merah yang ia pimpin sempat dicap pailit hingga sulit berkembang.
Namun PTDI bisa bertahan dan terus beroperasi. Terutama setelah diberikan suntikan dana lewat Penyertaan Modal Negara (PMN).
Budi menjelaskan hal ini setelah dicecar oleh DPR mengenai dugaan denda keterlambatan salah satu proyek pemerintah. Budi dituduh bermasalah dalam mengelola kinerja keuangan PTDI oleh DPR.
"Kalau mau dicari apa yang salah di kami memang banyak. Kami dipailitkan tahun 2007. Kami perusahaan yang tidak mempunyai modal saat itu. Kami tidak bisa meminjam uang modal kerja. Kalau dilihat saat kami diberikan PMN, kondisi jauh berubah," tutur dia saat rapat kerja dengan komisi VI DPR RI hari ini di Jakarta, Kamis (27/10/2016).
Ia bercerita bagaimana perusahaan sempat bangkrut di tahun 2012 karena sulit berkembang akibat banyaknya utang. Bahkan jajaran direksi sempat tidak digaji pada tahun tersebut.
"Tahun 2011 adalah saat yang paling berat bagi kami. 2012 bahkan direksi tidak digaji. Sebagai direksi, kami tidak punya keinginan apa-apa. Saya sudah di PTDI selama 9 tahun dan saya tetap harus bekerja untuk pengembangan perusahaan ini," katanya.
Sebagai informasi, PT DI telah menerima Penyertaan Modal Negara (PMN) sebanyak tiga kali sejak 2011. Yaitu Rp 1,18 triliun pada tahun 2011; Rp 1,4 triliun pada tahun 2012; dan Rp 400 miliar pada tahun 2015.
Meski PTDI telah berhasil melewati masa-masa sulit, Komisi VI DPR RI masih mempertanyakan kinerja direksi PTDI yang ditenggarai membawa perusahaan ke ambang kebangkrutan.
Hal ini terjadi lantaran Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) merilis hasil audit tahun 2015. Dalam audit itu ditemukan adanya denda keterlambatan pekerjaan pengadaan helikopter di TNI AL sebesar Rp 3,35 miliar.
Ilustrasi helikopter TNI AL produksi PT DI [TNI AL]
Budi menjelaskan, PTDI telah melakukan pengiriman helikopter kepada TNI AL dalam waktu yang tepat. Hal ini kemudian menimbulkan tanda tanya oleh sejumlah anggota komisi VI DPR yang hadir dalam rapat kerja hari ini.
"Saya menilai direksi PTDI melakukan sesuatu yang salah dalam penjelasan. Pengiriman helikopter dikatakan tepat tapi audit BPK tahun 2015 ada denda keterlambatan," ujar anggota komisi VI DPR Iskandar dalam kesempatan yang sama.
Anggota komisi VI DPR Iskandar kemudian meminta keterbukaan kepada direksi PTDI mengenai hal ini.
"Kalau melihat kinerja keuangannya, saya pesimis untuk bisa hidup kembali. Kalau dilihat dari penggambaran, direksi ini sudah tidak layak lagi," tutur dia.
Anggota komisi VI DPR lainnya Nyoman Dhamantara juga menyatakan hal serupa.
"Kekhawatiran saya luar biasa saat Pak Dirut membela diri. Ada operasional cost tapi tidak dibenarkan. Ini negara bisa bubar, makanya hati-hati Pak Dirut, kita minta Kementerian BUMN untuk investigasi," ungkap Nyoman. (ang/ang)
Bikin Pesawat Perintis Tanpa Bantuan Tenaga Asing
N219 karya PT DI
PT Dirgantara Indonesia (PTDI) tengah mengembangkan pesawat produksi terbarunya N219, pesawat perintis perdana yang menghubungkan wilayah pedalaman dan kepulauan Indonesia.
Direktur Utama PTDI, Budi Santoso mengatakan, pengerjaan N219 menjadi langkah PTDI dalam melakukan regenerasi kepercayaan kepada para penerus, untuk bisa diberi kepercayaan dalam pengambilan keputusan.
Selama ini, PTDI mengandalkan tenaga kerja asing untuk mengambil keputusan dalam membuat sebuah pesawat, seperti pembuatan pesawat N250.
"N219 adalah suatu yang kita inginkan, kita tidak ingin tergantung tenaga asing. Kalau saya ambil lagi tenaga asing di sini, adik-adik saya ini akan tergantung kalau mendesain pesawat," katanya kepada detikFinance, saat ditemui di Gedung DPR, Jakarta, Kamis malam (28/10/2016).
"Yang ada di tempat kami adalah mantan-mantan orang yang mendesain N250. Meskipun situasi dulu berbeda. Waktu kami mendesain N250, ada 300 lebih tenaga asing yang mensupervisi kita. Jadi kalau ada mentor, harus memutuskan sesuatu nggak ada yang memutuskan, harus ada mentor. Bahkan Pak Habibie punya asisten khusus, satu dari Wiena, satu dari Jerman," tambahnya.
Pesawat ini dijadwalkan terbang perdana pada akhir tahun ini. Jadwal ini terbilang molor, lantaran proses desain pesawat terbang jenis fixed wing ini sepenuhnya dikerjakan oleh para ahli Indonesia, dan juga memakan sertifikasi yang lumayan lama.
Dengan mendesain pesawat sederhana N219 ini, diharapkan para karyawan PTDI tidak hanya mempunyai kemampuan untuk mendesain pesawat, tetapi juga keputusan. Kemampuan mengambil keputusan inilah yang paling berat untuk ditimbulkan.
"Karena ini pengalamannya setengah-setengah, mereka butuh waktu lebih lama. Itu makanya saya juga tidak ingin keluar dari keinginan awal, yaitu regenerasi di PTDI," katanya.
Semua komponen yang akan dipasang di pesawat harus ada sertifikasinya yang akan disetujui oleh Kementerian Perhubungan. Namun, badan sertifikasi Kemenhub juga belum punya pengalaman yang sama untuk melakukan ini.
Proses administrasi kemudian menjadi panjang, karena harus memvalidasi teori penerbangan pesawat terbukti menghasilkan yang sesuai dengan teori.
"Waktu membuat N250 dulu, mereka juga mempunyai technical assistant dari FAA dari Amerika. Sekarang mereka nggak punya itu, jadi kita harus sama-sama belajar. Text book berbeda dengan realitas. Jadi ini yang membuat kita agak perlu waktu untuk meyakinkan," ungkapnya.
Saat ini, proses pengerjaan pesawat N219 sendiri telah memasuki tahap akhir, yakni uji statik sayap pesawat.
"Sekarang wings sudah mulai kita tes. Kita statik. Nanti setelah operasional, kita ada dynamic test-nya. Naik turun berapa cycle. Sekarang kita tes berapa kekuatan sayapnya," jelas dia.
Pesawat N219 menjadi pesawat perintis pertama yang memiliki bobot ringan dengan teknologi avionik modern dan berfungsi menghubungkan daerah-daerah terpencil seperti di Papua dan Sulawesi. sendiri
Pesawat ini diproyeksikan untuk penerbangan ke wilayah-wilayah pedalaman pegunungan di timur Indonesia, yang memiliki medan sulit jika ditempuh melalui jalur darat.
"Jarak yang tadinya ditempuh pakai mobil dengan waktu 8 jam, dengan pesawat terbang ini mungkin 1,5 jam. Khususnya daerah timur Indonesia. Akhir tahun kita harapkan bisa melakukan penerbangan perdana," pungkasnya. (drk/wdl)
0 komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.