blog-indonesia.com

Rabu, 26 Maret 2014

Gas banyak tapi impor BBM

RI Punya Gas Bumi Banyak, Sayang 48% Masih Diekspor

http://images.detik.com/content/2014/03/26/1034/080543_gas.jpegJakarta Gas bumi merupakan bahan bakar paling murah jika dibandingkan dengan minyak, LPG atau batu bara. Namun sayangnya 48% produksi gas bumi di Indonesia masih diekspor ke luar negeri, sementara masyarakat Indonesia lebih banyak menggunakan BBM dan LPG.

Berdasarkan data Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas), produksi gas bumi pada 2013 mencapai 7,03 miliar British Thermal Unit (BBTUD).

Dari 7,03 BBTUD, dialokasikan untuk pasokan domestik baik untuk industri dan rumah tangga mencapai 3,660 BBTU atau 52,1%, sedangkan 47,9% atau 3,370 BBTUD masih diekspor ke luar negeri seperti ke Korea Selatan, Jepang, China dan lainnya.

Padahal, bagi dibeberapa negara yang mengimpor gas bumi dari Indonesia seperti Korea Selatan dan Jepang, justru memanfaatkan gas tersebut untuk transportasi sebagai bahan bakar taksi, bus dan rumah tangga.

Kunjungan detikFinance bersama PT Pertamina (Persero) ke konferensi Gastech 23-27 Maret 2014 di KINTEX, Seoul, berkesempatan menyaksikan langsung kemajuan Korsel dalam hal pemanfaatan gas.

Misalnya taksi, di Korsel semua kendaraan umum khususnya taksi harus memakai LPG. Mesin taksi yang menggunakan bahan bakar LPG memiliki suara lebih senyap daripada bahan bakar gas (BBM). Selain itu, sangat sedikit polusi yang dihasilkan, berjalan kaki di Seoul jauh lebih nyaman daripada di negara-negara yang masih menggunakan BBM untuk kendaraan.

Sepanjang perjalanan di Kota Seoul, pemandangan stasiun pengisian LPG dan CNG merupakan hal biasa. Selain kendaraan taksi dan bus, terlihat kendaraan-kendaraan pribadi pun mengantre mengisi bahan bakar gas (BBG).

Seorang warga Seoul bernama Hyunn-Jin mengatakan, di negaranya hampir seluruh rumah tangga menggunakan gas. Ia beralasan penggunaan gas lebih murah daripada bahan bakar lainnya.

"Pakai gas jauh lebih murah. Semua rumah di sini pakai gas (gas kota)," kata Hyunn-Jin kepada detikFinance, di Seoul, kemarin.

Di Indonesia sendiri, baru pemanfaatan gas bumi baik untuk transportasi dan rumah tangga belum terlalu banyak. Transportasi yang menggunakan gas masih didominasi busway, bajai dan tanksi mewah, sementara untuk rumah tangga masih terpencar-pencar di beberapa daerah. Program konversi BBM ke BBG pun sampai saat ini masih terkesan jalan ditempat.(rrd/dru)


Gas RI Diekspor ke Singapura Hingga China, SKK Migas: Itu Karena Kontrak

http://images.detik.com/content/2014/03/26/1034/gastambaklorok.jpgSebanyak 48% produksi gas Indonesia tahun lalu diekspor ke berbagai negara, mulai dari China, Korea Selatan (Korsel), Singapura, dan lainnya. Semua ini dilakukan karena harus memenuhi kontrak penjualan.

Kepala Bagian Humas Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) Handoyo Budi Santoso mengatakan, ekspor gas Indonesia memang masih sangat besar, tapi semua itu karena hanya untuk memenuhi kewajiban kontrak tahun-tahun sebelumnya.

"Ekspor itu karena harus memenuhi kontrak," kata Handoyo kepada detikFinance, Rabu (26/3/2014).

Seperti diketahui, produksi gas dari Papua yang dioperasikan BP Tangguh 100% diekspor ke Sempra, Amerika Serikat dengan harga US$ 7-US$ 9 per juta british thermal unit (mmbtu). Sebagian pasokan gas ke Amerika tersebut saat ini dialihkan ke Korsel.

Ada pula kontrak jangka panjang penjualan gas LNG Fujian-China. Harga LNG Fujian sampai saat ini masih US$ 3,35 per mmbtu. Saat ini pemerintah sedang mengupayakan renegosiasi harga gas Fujian, pasalnya industri dalam negeri saja berani membeli gas jauh di atas harga Fujian. Selanjutnya, ada ekspor gas ke Singapura hingga 2023 yang berasal dari ConocoPhillips di Sumatera.

Handoyo mengungkapkan, gas Indonesia banyak diekspor juga karena saat diproduksi beberapa puluh tahun lalu belum banyak industri dalam negeri yang menggunakan gas. sementara sebelum sumur gas mengeluarkan gas, harus dipastikan ada pembelinya.

"Sebelum gas keluarkan, harga ada pembelinya, nggak bisa gas sudah keluar baru cari pembeli, sumur gas bisa mati, investasi jutaan dolar yang di keluarkan bisa sia-sia alias rugi. Apalagi pada saat itu seperti gas di Papua, Kalimantan dan lainnya belum bisa diserap dalam negeri. Persoalannya pertama karena infrastruktur pipa gas untuk membawa gas dari Papua, Kalimantan dan daerah lainnya belum tersedia, kedua industri dalam negeri juga belum banyak gunakan gas," ungkapnya.

Handoyo menegaskan, saat ini SKK Migas berkomitmen untuk mendahulukan kebutuhan gas dalam negeri. Lambat laun ekspor gas ke luar negeri akan dikurangi.

"Sekarang kan industri banyak butuh gas, pembangkit listrik juga pakai gas, transportasi juga mulai melirik gas, rumah tangga juga, kami berkomitmen untuk mendahulukan pasokan gas dalam negeri. Apalagi sekarang untuk membawa gas bisa dengan kapal, pipa dan lainnya, gasnya bisa disimpan, ada Floating Storage Regasification Unit (FSRU), kalau dulu belum ada. Jadi jika ke depannya masih ada gas yang diekspor itu semata hanya untuk memenuhi kontrak gas masa lampau," tutupnya.(rrd/dnl) 


Gasnya Diekspor ke Singapura Hingga China, RI Malah Impor BBM

http://images.detik.com/content/2014/03/26/1034/gaspltubunyu.jpg
Sebanyak 7,03 Billion British Thermal Unit per Day (bbtud) gas diproduksi Indonesia tahun lalu, namun 48% produksinya masih diekspor ke luar negeri mulai dari Singapura, Korea Selatan, hingga China.

Padahal negara-negara yang mengimpor gas dari Indonesia justru memanfaatkan gas tersebut sebagai bahan bakar untuk industri, transportasi, hingga rumah tangga.

Seperti di Korea Selatan, yang merupakan pengimpor gas terbesar di dunia, menggunakan gas tersebut sebagai produksi industri manufakturing mereka, bus dan taksi menggunakan gas sampai rumah tangga memanfaatkan gas bumi sebagai bahan bakar untuk memasak.

Hal yang sama juga dilakukan Jepang, apalagi saat ini Jepang membutuhkan gas cukup besar, karena pembangkit nuklirnya dimatikan. Di Jepang gas selain digunakan sebagai bahan bakar pembangkit listrik, juga digunakan untuk bahan bakar bus, taksi, dan rumah tangga, selain itu juga digunakan sebagai bahan bakar pemanas ruangan dikala musim dingin.

Sementara di Indonesia sendiri yang memiliki gas banyak, dan menjadi salah satu eksportir gas, justru menggunakan Liquefied Petroleum Gas (LPG) sebagai bahan bakar memasak rumah tangga. Padahal kebutuhan LPG nasional per tahun mencapai hampir 1 juta metrik ton justri 70% dipasok dari luar negeri.

Tidak hanya itu, sebagian besar transportasi di Indonesia menggunakan bahan bakar minyak (BBM) (premium, solar, pertamax). Di mana kebutuhan BBM mencapai 1,5 juta per hari, sementara produksi minyak mentah nasional hanya mampu mencapai 795.000 barel per hari, itu belum dipotong bagian perusahaan minyak sekitar 15%. Untuk menutupi kekurangan pasokan BBM, Indonesia harus impor BBM dan minyak mentah total hampir mencapai 1 juta barel per hari.

Bahkan, anehnya walau Indonesia memasok gas ke Singapura, industri di Singapura justru menikmati gas dengan harga lebih murah dibandingkan industri di dalam negeri.


Ketua Forum Industri Pengguna Gas Bumi Ahmad Safiun mengatakan, harga gas yang dibeli oleh pelaku industri di Indonesia lebih mahal dibandingkan industri di Singapura dan bahkan Malaysia. Padahal Indonesia mempunyai banyak sumber gas.

"Industri dalam negeri itu dapat gas dengan harga US$ 10,2 per mmbtu, sementara industri-industri di Singapura, Malaysia dan negara tetangga lainnya justru harga gasnya lebih murah, hanya rata-rata US$ 4 per mmbtu. Dari sini saja kita sudah kalah, apalagi dengan harga produk akhirnya pasti kita jauh lebih mahal," kata Safiun ditemui beberapa waktu lalu.

Safiun mengungkapkan, Singapura adalah negara yang tidak memiliki sumber daya gas sendiri dan hanya mengandalkan impor dari negara lain, terutama dari Indonesia. Gas Singapura dipasok dari Sumatera Selatan.

"Singapura itu nggak punya gas, dia impor, impornya dari kita, dia beli memang lebih mahal tapi oleh negaranya disubsidi, sehingga industri di Singapura menikmati gas dengan harga murah, hanya US$ 4 per mmbtu, di Malaysia juga hanya 10-12 ringgit atau sekitar US$ 4 per mmbtu," ungkapnya.

Safiun menambahkan, tahun ini kebutuhan gas bumi industri nasional mencapai 1.200 juta kaki kubik per hari (mmscfd) namun realisasinya masih di bawah 700 mmscfd.

"Kita beli mahal saja pasokan untuk industri saja masih kurang, kita butuhnya tahun ini 1.200 mmscfd realisasinya masih di bawa 700 mmscfd. Banyak industri pengguna gas gulung tikar, ada yang masih bertahan dengan menggunakan energi yang lebih mahal seperti solar dan lainnya, bahkan ada yang harus pakai cangkang sawit yang dibakar untuk menghasilkan energi," kata Safiun.

  detik  

0 komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More