Jakarta ☆ Tingginya subsidi yang dialokasikan pemerintah, terutama subsidi bahan bakar minyak (BBM) dan listrik tahun 2014 ini dianggap terus menekan pertumbuhan ekonomi Indonesia.
Kepala Perwakilan Bank Dunia Rodrigo Chaves mengatakan, seharusnya kebijakan pemerintah Indonesia sejalan untuk memperkuat ekonomi Indonesia. Termasuk kebijakan subsidi yang dikeluarkan seharusnya ditujukan untuk kepentingan yang mendesak.
"Harus ada penyesuaian kebijakan-kebijakan yang mencakup pengalihan belanja subsidi yang signifikan, seharusnya subsidi dialokasikan untuk kebutuhan-kebutuhan yang lebih mendesak, seperti subsidi untuk investasi dalam bidang infrastruktur, perbaikan iklum investasi, dan perbaikan pelayanan masyarakat," ujar Rodrigo di acara Indonesia Ecconomic Quarterly, di Midplaza, Jalan Jend.Sudirman, Jakarta, Selasa (18/3/2014).
Seperti diketahui, dalam APBN 2014 pemerintah mengalokasikan subsidi energi sebesar Rp 333,7 triliun, alokasi subsidi paling besar didominasi subsidi BBM dan listrik. Hingga 28 Februari anggaran subsidi yang sudah habis digunakan mencapai Rp 19,6 triliun.
"Pada 2014, belanja subsidi diperkirakan akan meningkat 2,6% dari PDB, naik dibandingkan dengan 2,2% dari PDB pada 2013. Kami perkirakan subsidi tahun ini akan melebihi dari yang dialokasikan dalam APBN," ucap Rodrigo.
"Jika tidak ada perubahan kebijakan khususnya alokasi subsidi, maka akan menekan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun ini yang kami perkirakan hanya 5,3% turun dibandingkan tahun sebelumnya pada 2013 yang mencapai 5,8% dan 6,2% pada 2012," katanya.(rrd/dnl)
Terus menerus, Bank Dunia menekan pemerintah Indonesia agar bisa mengurangi subsidi energi, khususnya subsidi BBM. Bank Dunia meminta presiden baru nanti bisa menaikkan harga BBM subsidi menjadi Rp 8.500/liter.
Ekonom Utama Perwakilan Bank Dunia di Jakarta yaitu Jim Brumby mengatakan, presiden baru Indonesia nanti akan menghadapi masalah tingginya subsidi BBM dan listrik, yang menekan keuangan negara.
Jim memberikan saran, agar pemerintahan selanjutnya untuk mengeluarkan kebijakan mengurangi subsidi dengan menaikkan harga BBM. "Menaikkan ada dua, bisa Rp 8.500 per liter, atau menaikkan harga sebesar 50%," katanya di Hotel Intercontinental, Midplaza, Jakarta, Selasa (18/3/2014).
Di tempat yang sama, Kepala Ekonom Bank Danamon Anton Gunawan menambahkan, pelaku pasar memang bereaksi positif dengan pencapresan Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo (Jokowi) oleh PDIP akhir pekan lalu. Ini terlihat dari penguatan indeks harga saham gabungan (IHSG) dan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS.
"Namun, sebelum menyimpulkan penguatan rupiah karena euforia tersebut, dua bulan sebelumnya angka-angka ekonomi Indonesia sudah menunjukkan perbaikkan, mulai dari current account deficit yang membaik, inflasi tidak seperti yang dikhawatirkan, dan angka ekonomi lainnya, membuat rupiah terus menguat," kata Anton.
Anton mengatakan, bahkan penguatan rupiah akan terus terjadi sepanjang tahun ini, dan indikator yang membalikkan rupiah ke angka Rp 12.000 per dolar AS masih belum terlalu kuat.
"Kami perkirakan hingga akhir tahun rupiah berada di angka Rp 11.060 per dolar," ucapnya.
"Namun siapapun presidennya nanti, akan menghadapi persoalan besarnya subsidi BBM, suka tidak suka tiap tahun akan dipusingkan sama BBM. Presiden yang baru harus mempunyai program berpindah dari BBM ke gas, dan mungkin harus menaikkan harga BBM subsidi," tutupnya.(rrd/dnl)
♞ detik
0 komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.