YOGYAKARTA -- Badan Teknologi Nuklir (BATAN) merancang fasilitas sikotron penghasil radio isotop sebagai alat penunjang kesehatan untuk mengatasi penyakit kanker.
"Dunia kedokteran biasa menggunakan alat tersebut untuk menembak sel yang terserang kanker. Di Indonesia baru ada tiga rumah sakit (RS) yang mengoperasikan sikotron seperti RS Dharmais, RS Gading Pluit dan RS MIRCC Siloam," kata Kepala Bidang Teknologi Akselerator dan Fisika Nuklir di Pusat Teknologi Akselerator dan Proses Bahan (PTAPB) BATAN Slamet Santosa di Yogyakarta, Kamis.
Menurut Slamet, dana yang dibutuhkan untuk mengembangkan satu fasilitas sikotron berkisar RP10 miliar-Rp12 miliar.
Namun, kata Slamet, jika suatu rumah sakit membeli teknologi nuklir tersebut dari negara lain maka dana yang dikeluarkan bisa mencapai sekitar RP60 miliar.
"Harga tersebut belum termasuk biaya perawatan fasilitas Sikotron. Ada berbagai tingkat perawatan yang harganya juga berbeda," kata Slamet.
Sejumlah fasilitas sikotron yang dimiliki oleh ketiga rumah sakit tersebut berasal dari negara Belgia, Korea Selatan dan Amerika Serikat.
Slamet mengatakan BATAN menargetkan sikotron buatan dalam negeri akan mendapat sertifikasi ISO serta IAEA pada 2019.
Lembaga PTAPB sedang mengembangkan sikotron dengan energi sebesar 13 Mega electron volt (Mev) untuk memproduksi radioisotop, jelas Slamet.
Sementara itu, nilai energi sikotron di tiga sikotron di sejumlah rumah sakit pun berbeda seperti 9,8 Mev, 18 Mev serta 12,6 Mev.
"Jika nilai Mev lebih besar maka akan lebih mudah menembus target. Hal itu disesuaikan dengan tujuan penggunaan," kata Slamet.
Untuk penyembuhan kanker, pengendali sikotron akan menyuntikkan radio isotop yang telah diproduksi kepada sel di tubuh yang terjangkit kanker.
"Kami mengacu fasilitas teknologi sikotron dari Korea Selatan. Penghasil radio isotop ini menjadi bukti keamanan dan kegunaan tenaga nuklir bagi kehidupan manusia dalam bidang kesehatan," tambah Slamet.
0 komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.