oleh: Retty N. Hakim
Entah berapa persen dari orang-orang yang melalui jalan tol Pr. Dr. Ir. Sedyatmo untuk menuju ke Bandara Soekarno Hatta, yang mengetahui riwayat putra Indonesia yang namanya diabadikan sebagai nama jalan tol itu. Nama beliau mendapat kehormatan tersebut adalah karena jasanya menciptakan sistem pondasi cakar ayam yang digunakan untuk pembangunan jalan tol dan Bandara di daerah Cengkareng yang berawa-rawa itu. Walaupun mungkin temuan-temuan baru yang lebih canggih sudah hadir, tetap saja nama Sedyatmo sebagai seorang penemu pada zamannya sudah tercatat oleh sejarah.
Dalam sebuah buku yang berisi riwayat kehidupan pencipta pondasi cakar ayam ini, "Prof.Dr. Ir. Sedyatmo, Intuisi Mencetus Daya Cipta" terdapat banyak nasihat kehidupan yang patut dibaca para guru dan pelajar atau mahasiswa, bahkan juga oleh orang-orang yang duduk di kursi pemerintahan. Seorang inovator, yang artinya adalah seorang yang memperkenalkan sebuah gagasan atau metode yang baru, ternyata tidak selalu harus lahir dari anak-anak dengan pencapaian akademis tinggi. Yang penting adalah kemampuan sang pendidik untuk mengenali kemampuan anak didiknya dan memberinya kesempatan. Seorang anak bangsa juga bisa mengharumkan nama bangsa di bidang teknologi bila didukung oleh negaranya. Sedyatmo kecil adalah anak kreatif yang sejak kecil sudah menciptakan penemuan-penemuan kecilnya, baik itu dalam menciptakan kualitas benang gelasan yang berbobot, maupun dalam menciptakan "pabrik" dari kotoran kerbau yang menjadi bahan permainannya bersama anak-anak desa selama berhari-hari.
Awalnya dia diberi nama R.M. Sarwanto, tetapi karena dia menderita sakit yang tidak kunjung sembuh, maka sebagaimana biasanya kebiasaan masyarakat Jawa, orang tuanya memberinya nama baru yang lebih sesuai yaitu Sedyatmo. Nama ini memiliki arti sebagai anak yang kelak akan menadi anak yang baik dan berguna baik masyarakat, bangsa, dan negaranya. Buku ini juga menarik untuk dibaca oleh para pendidik zaman sekarang yang seringkali masih memaksakan suatu pendapat tanpa memberikan kesempatan kepada anak didik untuk mengembangkan proses berpikirnya. Pada halaman 53 dari buku ini diceritakan bagaimana sebagai murid AMS Sedyatmo menentang pendapat gurunya yang menyatakan bahwa bumi itu bulat seperti bola. Alih-alih marah, sang guru mencoba menjelaskan sejelas-jelasnya sehingga akhirnya Sedyatmo mengakui kesalahan pemikirannya. Guru ini pula yang kemudian memberikan jaminan kepada rektor THS (sekarang ITB) bahwa Sedyatmo pasti bisa mengikuti perkuliahan di sana walaupun saat itu nilai rata-rata tes yang dikantonginya tidak tinggi. Berkat dukungan guru yang pernah ditentangnya di kelas itu Sedyatmo akhirnya bisa memperoleh beasiswa untuk melanjutkan kuliah ke THS.
Keterbukaan seorang pendidik terhadap anak didiknya sangat penting untuk mengembangkan kreativitas anak didik tersebut. Pengalaman Sedyatmo ketika mempertanyakan fungsi teori bilangan khayal kepada professor yang mangajarnya di THS yang juga dituangkan dalam buku biografi ini memperlihatkan keterbukaan sang pendidik. Dengan jujur sang professor menjawab: "Saya tidak dapat menjawab pertanyaanmu, Tuan Sedyatmo, tetapi saya hanya memberitahukan bahwa kalau Tuan tidak memahami benar teori bilangan khayal, maka Tuan tidak akan menjadi insinyur yang baik." Jawaban ini membuat Sedyatmo justru lebih dalam berpikir dan akhirnya mengakui kekuatan imajinasi sebagai salah satu pilar kesuksesan dalam penemuan baru.
Pengagum tokoh perwayangan Bima dan Gatotkaca ini sangat mempercayai penyelenggaraan kuasa Tuhan dalam hidup manusia. Oleh sebab itu dalam acara penganugerahan gelar doktor kehormatan dari ITB, Sedyatmo berpesan kepada para mahasiswa sebagai calon inovator di masa depan untuk selalu memanfaatkan "aji-aji pancasona" atau senjata lima serangkai yang sudah diberikan Tuhan kepada manusia yaitu imajinasi, intelektual, intuisi, inspirasi, serta insting yang bekerja di luar kesadaran manusia.
Dalam buku ini juga digambarkan Sedyatmo sebagai putra Mangkunegaran yang besar dalam lingkungan aristodemokrasi, artinya keluarga aristokrat yang menganut paham demokrasi dalam kehidupan harian mereka. Dalam lingkungan seperti ini ia bertumbuh dan belajar untuk menciptakan peluang. Karya pertama yang melecut kepercayaan dirinya sebagai seorang insinyur adalah jembatan air Wiroko yang selesai dibangun pada tahun 1937. Berkat dukungan penuh dari Mangkunegoro VII, maka tentangan dari pemerintah Belanda, bahkan dari almamater Sedyatmo sendiri (THS) tidak menjadi batu sandungan yang berarti baginya. Karya pertamanya itu menjadi pembuka jalan bagi karya-karya selanjutnya.
Sedyatmo memandang kehidupan sebagai peluang dari Tuhan, sehingga ketika harus melepaskan kedudukan dan kekuasaan karena harus pensiun pada usia 55 tahun di tahun 1964 ia tidak memandangnya sebagai kerugian, melainkan justru sebagai kesempatan untuk semakin memperjuangkan temuan pondasi cakar ayamnya. Ia kemudian masih mengabdi di lingkungan Departemen Pekerjaan Umum dan Tenaga Listrik hingga tahun 1976. Perjuangan untuk menggunakan pondasi cakar ayam di Cengkareng, yang membawa pengakuan dunia terhadap rancangannya, ternyata bukan perjuangan yang singkat. Inspirasi akan pondasi cakar ayam mucul di tahun 1962 di Pantai Cilincing ketika ia menemani anak-anaknya berlibur di sana. Memang buku ini juga membuka sedikit celah kehidupan pribadi Sedyatmo yang selama 14 tahun, selain bergelut dengan pekerjaannya, juga tetap berusaha memenuhi kewajibannya sebagai orang tua tunggal dari lima orang putrinya. Setelah 14 tahun menduda hadirlah Hj. R. Ay. Sumarpeni Sedyatmo, SH yang kemudian mendampinginya selama 14 tahun terakhir kehidupannya sebagai penyemangat perjuangannya. Buku ini hadir terutama karena kesetiaan sang istri dalam menunaikan amanah untuk menuliskan perjalanan hidup sang suami.
Mungkin tidak banyak orang yang tahu bahwa pondasi cakar ayam memiliki hak paten dari 10 negara. Sementara itu Prof. Dr. Ir. Sedyatmo juga memiliki hak paten atas pipa pesat sistem Indonesia yang dipatenkan di lima negara asing. Kisah dalam buku ini berguna bagi orang-orang muda Indonesia untuk melihat bagaimana proses sebuah penemuan diterima di dunia internasional. Bagaimana ia memanfaatkan jurnal internasional untuk memperkenalkan temuan-temuannya. Bukan semata untuk dirinya sendiri, melainkan untuk memperlihatkan pula kemampuan seorang putra Indonesia. Rintangan-rintangan yang datang dari luar maupun dari dalam negeri sendiri menunjukkan betapa pentingnya dukungan Negara kepada para penemu putra bangsa.
Selain itu Sedyatmo menunjukkan pula bagaimana menjadi seorang nasionalis. Ketika orang asing datang melamar hasil temuan cakar ayamnya, di saat dukungan dari bangsa sendiri belum sepenuhnya diperoleh, ia tetap bertahan pada idealismenya untuk mempersembahkan penemuannya bagi bangsa Indonesia. Memang pantas ia memperoleh Bintang Mahaputra Indonesia kelas I serta Lencana Pengabdian kepada Pendidikan dan Kebudayaan. Bukan hanya pemerintah Indonesia yang memberinya penghargaan, bahkan pemerintah Perancis juga memberinya penghargaan Chevalier de la Legion d'Honneur karena keberhasilannya memimpin pelaksanaan pembangunan bendungan Jatiluhur.
Dari buku ini juga terungkap bahwa ide awal dari jembatan penghubung Suramadu merupakan hasil mimpi Sedyatmo akan jembatan bahari Ontoseno. Kesan-kesan dari orang-orang yang mengenalnya serta artikel-artikel yang pernah ditulis mengenai dirinya membantu pembaca untuk lebih mengenal pribadi beliau dari sisi-sisi yang berbeda. Satu hal yang sangat menonjol dari karakter Sedyatmo adalah kesabarannya dan kepasrahannya kepada kehendak Yang Kuasa. Kepasrahan itu tidak bersifat pasif, melainkan dengan aktif dia mencari peluang, walaupun tetap bersabar untuk menuai hasil sesuai yang diharapkannya dalam waktu yang diberikan Tuhan. Teknologi bagi Sedyatmo adalah alat untuk mempermudah manusia dan untuk membantu manusia menikmati anugerah alam yang diberikan Yang Maha Kuasa. Walaupun mencari jalan keluar teknologi yang lebih hemat biaya dan hemat waktu, sebenarnya Sedyatmo juga menginginkan karyanya bisa memberi pekerjaan bagi rakyat banyak. Walaupun tidak mengikuti ajakan Bung Karno untuk masuk partai politik, rupanya nasionalisme juga berakar di dadanya. Tidak heran bila dari buku ini kita bisa memperoleh pesan terselubung dari sang inovator agar bangsa Indonesia bisa menghasilkan lebih banyak lagi pembaharu dan pencipta yang mampu berdiri tegak sejajar dengan penemu lain di hadapan semua bangsa di muka bumi.
Judul Buku: Prof.Dr. Ir. Sedyatmo, Intuisi Mencetus Daya Cipta
Penulis: Drs. Ahmad Effendi dan Hermawan Aksan
Penerbit Teraju (PT Mizan Publika)
Tebal buku: 363
Cetakan: I, Oktober 2009
Dalam sebuah buku yang berisi riwayat kehidupan pencipta pondasi cakar ayam ini, "Prof.Dr. Ir. Sedyatmo, Intuisi Mencetus Daya Cipta" terdapat banyak nasihat kehidupan yang patut dibaca para guru dan pelajar atau mahasiswa, bahkan juga oleh orang-orang yang duduk di kursi pemerintahan. Seorang inovator, yang artinya adalah seorang yang memperkenalkan sebuah gagasan atau metode yang baru, ternyata tidak selalu harus lahir dari anak-anak dengan pencapaian akademis tinggi. Yang penting adalah kemampuan sang pendidik untuk mengenali kemampuan anak didiknya dan memberinya kesempatan. Seorang anak bangsa juga bisa mengharumkan nama bangsa di bidang teknologi bila didukung oleh negaranya. Sedyatmo kecil adalah anak kreatif yang sejak kecil sudah menciptakan penemuan-penemuan kecilnya, baik itu dalam menciptakan kualitas benang gelasan yang berbobot, maupun dalam menciptakan "pabrik" dari kotoran kerbau yang menjadi bahan permainannya bersama anak-anak desa selama berhari-hari.
Awalnya dia diberi nama R.M. Sarwanto, tetapi karena dia menderita sakit yang tidak kunjung sembuh, maka sebagaimana biasanya kebiasaan masyarakat Jawa, orang tuanya memberinya nama baru yang lebih sesuai yaitu Sedyatmo. Nama ini memiliki arti sebagai anak yang kelak akan menadi anak yang baik dan berguna baik masyarakat, bangsa, dan negaranya. Buku ini juga menarik untuk dibaca oleh para pendidik zaman sekarang yang seringkali masih memaksakan suatu pendapat tanpa memberikan kesempatan kepada anak didik untuk mengembangkan proses berpikirnya. Pada halaman 53 dari buku ini diceritakan bagaimana sebagai murid AMS Sedyatmo menentang pendapat gurunya yang menyatakan bahwa bumi itu bulat seperti bola. Alih-alih marah, sang guru mencoba menjelaskan sejelas-jelasnya sehingga akhirnya Sedyatmo mengakui kesalahan pemikirannya. Guru ini pula yang kemudian memberikan jaminan kepada rektor THS (sekarang ITB) bahwa Sedyatmo pasti bisa mengikuti perkuliahan di sana walaupun saat itu nilai rata-rata tes yang dikantonginya tidak tinggi. Berkat dukungan guru yang pernah ditentangnya di kelas itu Sedyatmo akhirnya bisa memperoleh beasiswa untuk melanjutkan kuliah ke THS.
Keterbukaan seorang pendidik terhadap anak didiknya sangat penting untuk mengembangkan kreativitas anak didik tersebut. Pengalaman Sedyatmo ketika mempertanyakan fungsi teori bilangan khayal kepada professor yang mangajarnya di THS yang juga dituangkan dalam buku biografi ini memperlihatkan keterbukaan sang pendidik. Dengan jujur sang professor menjawab: "Saya tidak dapat menjawab pertanyaanmu, Tuan Sedyatmo, tetapi saya hanya memberitahukan bahwa kalau Tuan tidak memahami benar teori bilangan khayal, maka Tuan tidak akan menjadi insinyur yang baik." Jawaban ini membuat Sedyatmo justru lebih dalam berpikir dan akhirnya mengakui kekuatan imajinasi sebagai salah satu pilar kesuksesan dalam penemuan baru.
Pengagum tokoh perwayangan Bima dan Gatotkaca ini sangat mempercayai penyelenggaraan kuasa Tuhan dalam hidup manusia. Oleh sebab itu dalam acara penganugerahan gelar doktor kehormatan dari ITB, Sedyatmo berpesan kepada para mahasiswa sebagai calon inovator di masa depan untuk selalu memanfaatkan "aji-aji pancasona" atau senjata lima serangkai yang sudah diberikan Tuhan kepada manusia yaitu imajinasi, intelektual, intuisi, inspirasi, serta insting yang bekerja di luar kesadaran manusia.
Dalam buku ini juga digambarkan Sedyatmo sebagai putra Mangkunegaran yang besar dalam lingkungan aristodemokrasi, artinya keluarga aristokrat yang menganut paham demokrasi dalam kehidupan harian mereka. Dalam lingkungan seperti ini ia bertumbuh dan belajar untuk menciptakan peluang. Karya pertama yang melecut kepercayaan dirinya sebagai seorang insinyur adalah jembatan air Wiroko yang selesai dibangun pada tahun 1937. Berkat dukungan penuh dari Mangkunegoro VII, maka tentangan dari pemerintah Belanda, bahkan dari almamater Sedyatmo sendiri (THS) tidak menjadi batu sandungan yang berarti baginya. Karya pertamanya itu menjadi pembuka jalan bagi karya-karya selanjutnya.
Sedyatmo memandang kehidupan sebagai peluang dari Tuhan, sehingga ketika harus melepaskan kedudukan dan kekuasaan karena harus pensiun pada usia 55 tahun di tahun 1964 ia tidak memandangnya sebagai kerugian, melainkan justru sebagai kesempatan untuk semakin memperjuangkan temuan pondasi cakar ayamnya. Ia kemudian masih mengabdi di lingkungan Departemen Pekerjaan Umum dan Tenaga Listrik hingga tahun 1976. Perjuangan untuk menggunakan pondasi cakar ayam di Cengkareng, yang membawa pengakuan dunia terhadap rancangannya, ternyata bukan perjuangan yang singkat. Inspirasi akan pondasi cakar ayam mucul di tahun 1962 di Pantai Cilincing ketika ia menemani anak-anaknya berlibur di sana. Memang buku ini juga membuka sedikit celah kehidupan pribadi Sedyatmo yang selama 14 tahun, selain bergelut dengan pekerjaannya, juga tetap berusaha memenuhi kewajibannya sebagai orang tua tunggal dari lima orang putrinya. Setelah 14 tahun menduda hadirlah Hj. R. Ay. Sumarpeni Sedyatmo, SH yang kemudian mendampinginya selama 14 tahun terakhir kehidupannya sebagai penyemangat perjuangannya. Buku ini hadir terutama karena kesetiaan sang istri dalam menunaikan amanah untuk menuliskan perjalanan hidup sang suami.
Mungkin tidak banyak orang yang tahu bahwa pondasi cakar ayam memiliki hak paten dari 10 negara. Sementara itu Prof. Dr. Ir. Sedyatmo juga memiliki hak paten atas pipa pesat sistem Indonesia yang dipatenkan di lima negara asing. Kisah dalam buku ini berguna bagi orang-orang muda Indonesia untuk melihat bagaimana proses sebuah penemuan diterima di dunia internasional. Bagaimana ia memanfaatkan jurnal internasional untuk memperkenalkan temuan-temuannya. Bukan semata untuk dirinya sendiri, melainkan untuk memperlihatkan pula kemampuan seorang putra Indonesia. Rintangan-rintangan yang datang dari luar maupun dari dalam negeri sendiri menunjukkan betapa pentingnya dukungan Negara kepada para penemu putra bangsa.
Selain itu Sedyatmo menunjukkan pula bagaimana menjadi seorang nasionalis. Ketika orang asing datang melamar hasil temuan cakar ayamnya, di saat dukungan dari bangsa sendiri belum sepenuhnya diperoleh, ia tetap bertahan pada idealismenya untuk mempersembahkan penemuannya bagi bangsa Indonesia. Memang pantas ia memperoleh Bintang Mahaputra Indonesia kelas I serta Lencana Pengabdian kepada Pendidikan dan Kebudayaan. Bukan hanya pemerintah Indonesia yang memberinya penghargaan, bahkan pemerintah Perancis juga memberinya penghargaan Chevalier de la Legion d'Honneur karena keberhasilannya memimpin pelaksanaan pembangunan bendungan Jatiluhur.
Dari buku ini juga terungkap bahwa ide awal dari jembatan penghubung Suramadu merupakan hasil mimpi Sedyatmo akan jembatan bahari Ontoseno. Kesan-kesan dari orang-orang yang mengenalnya serta artikel-artikel yang pernah ditulis mengenai dirinya membantu pembaca untuk lebih mengenal pribadi beliau dari sisi-sisi yang berbeda. Satu hal yang sangat menonjol dari karakter Sedyatmo adalah kesabarannya dan kepasrahannya kepada kehendak Yang Kuasa. Kepasrahan itu tidak bersifat pasif, melainkan dengan aktif dia mencari peluang, walaupun tetap bersabar untuk menuai hasil sesuai yang diharapkannya dalam waktu yang diberikan Tuhan. Teknologi bagi Sedyatmo adalah alat untuk mempermudah manusia dan untuk membantu manusia menikmati anugerah alam yang diberikan Yang Maha Kuasa. Walaupun mencari jalan keluar teknologi yang lebih hemat biaya dan hemat waktu, sebenarnya Sedyatmo juga menginginkan karyanya bisa memberi pekerjaan bagi rakyat banyak. Walaupun tidak mengikuti ajakan Bung Karno untuk masuk partai politik, rupanya nasionalisme juga berakar di dadanya. Tidak heran bila dari buku ini kita bisa memperoleh pesan terselubung dari sang inovator agar bangsa Indonesia bisa menghasilkan lebih banyak lagi pembaharu dan pencipta yang mampu berdiri tegak sejajar dengan penemu lain di hadapan semua bangsa di muka bumi.
Judul Buku: Prof.Dr. Ir. Sedyatmo, Intuisi Mencetus Daya Cipta
Penulis: Drs. Ahmad Effendi dan Hermawan Aksan
Penerbit Teraju (PT Mizan Publika)
Tebal buku: 363
Cetakan: I, Oktober 2009
1 komentar:
Profesor Sedyatmo, ahlinya membangun Indonesia dengan keahlian bidang konstruksi, mampir juga dong ke blog saya myfamilylifestyle.blogspot.com
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.