Deru pembangunan di wilayah perbatasan sudah mulai terasa. Meskipun demikian, lajunya masih sangat lambat. Kondisi itu tergambar nyata di Kecamatan Entikong, Kabupaten Sanggau, Provinsi Kalimantan Barat. Padahal, Kecamatan Entikong merupakan wilayah terdepan yang berbatasan langsung dengan Malaysia.
Menjelang akhir September 2012, Koran Jakarta berkesempatan mengunjungi Entikong bersama Badan Nasional Pengelola Perbatasan (BNPP). Badan ini merupakan badan baru yang didapuk untuk mengurus secara khusus wilayah perbatasan. Kepala BNPP, Gamawan Fauzi, sejak badan itu dibentuk, memang langsung bergerak cepat.
Bersinergi dengan berbagai kementerian dan lembaga negara, BNPP terus menguatkan program-program sektoral yang diperuntukkan bagi daerah perbatasan agar saling mendukung. Tekad Gamawan adalah menjadikan perbatasan sebagai beranda depan Indonesia, bukan lagi halaman belakang yang terabaikan.
Setiba di Bandara Supadio, Pontianak, sekitar pukul 19.15 Wita, suasana sudah remang. Bandara Supadio terlihat sederhana, namun tampak tengah dibenahi. Menurut staf BNPP, Amini Maros, Bandara Supadio sedang direnovasi besar-besaran dan direncanakan bakal menjadi bandara internasional.
Maket Bandara Supadio masa depan memang tampak megah. Bila renovasi bandara sudah kelar, sepertinya angan-angan Gamawan menjadikan daerah yang berbatasan langsung dengan negara tetangga sebagai beranda depan sudah mulai bisa dicicil. Amini Maros menambahkan untuk menghubungkan Pontianak dan Kuching, Malaysia, ada jadwal penerbangan dua kali sehari dari Bandara Supadio.
Sementara menuju Entikong, pintu gerbang yang menghubungkan Indonesia dan Malaysia, dari Pontianak bisa ditempuh menggunakan jalur darat.
"Ke Entikong pakai jalan darat. Waktu tempuhnya lima sampai enam jam, pakai bus atau mobil. Sebagian jalan lumayan bagus, tapi ada sebagian yang masih rusak," kata dia.
Perbaikan infrastruktur jalan memang menjadi salah satu prioritas kerja BNPP dalam memoles daerah perbatasan. Di Kalimantan Barat, ada lima kabupaten yang langsung berbatasan dengan Malaysia, yaitu Sambas, Bengkayang, Sintang, Kapuas Hulu, dan Sanggau.
Namun, yang relatif baik infrastrukturnya adalah Entikong yang masuk Kabupaten Sanggau. Menurut warga Pontianak, Hamid, arus pelintas batas dari Pontianak ke Entikong sudah ramai. Jalur menuju Entikong sudah dilayani bus-bus besar yang bolakbalik mengangkut warga Kalimantan Barat yang berniat berniaga ke wilayah Malaysia.
"Jalur Pontianak-Entikong dilayani bus-bus besar, berangkat dari Pontianak jam 9 malam. Mereka mengejar sampai border (pos perbatasan) jam lima pagi, saat pintu mulai dibuka," kata dia. Banyak warga yang berdagang ke Malaysia menjual hasil pertanian dan barang lainnya.
Harga di Malaysia lebih kompetitif karena nilai mata uang ringgit nilainya lebih tinggi dari rupiah.
Minim Perhatian
Aminah mengaku sudah kenyang menerima keluhan dari warga, camat, dan kepala desa tentang minimnya perhatian pusat pada daerah perbatasan.
Kini, dengan hadirnya BNPP, harapan warga di perbatasan muncul kembali dan berharap perbatasan benar-benar diperhatikan. Entikong adalah garis terakhir batas negara di bumi Borneo. Kondisi jalan untuk rute Pontianak-Entikong-Kuching sudah diaspal hotmik. Meski demikian, menurut Amini Maros, daerah perbatasan masih sangat memerlukan infrastruktur jalan.
"Jalan menuju Entikong hanya bagus sebagian saja, sisanya kondisinya rusak. Bila musim hujan, berlubang dan berlumpur. Bila kemarau, selain berlubang juga berdebu," kata Amini yang asli Kalimantan Barat. Selain persoalan infrastruktur, Amini mengatakan banyak warga Entikong yang justru terbiasa dengan barang-barang produk Malaysia, seperti makanan ringan dan biskuit.
"Made in-nya Malaysia. Mau apa lagi? Mereka lebih gampang mendapatkan produk Malaysia," ujar dia. Suasana di Kecamatan Entikong tak terlalu ramai. Memang ada gerak kemajuan, ada beberapa rumah toko yang mulai dibangun. Bank seperti BRI, Mandiri, dan Bank Kalimantan Barat juga sudah mendirikan cabangnya di Entikong.
Anjungan Tunai Mandiri (ATM) dan layanan money changer juga telah tersedia. Kondisi itu wajar karena ketika berniaga di Malaysia, mata uang yang berlaku adalah ringgit.
Kantor Bea Cukai pun sudah dibangun di Entikong dan terlihat cukup megah. Sekretaris Sosial Ekonomi Malaysia-Indonesia (Malindo) dari Badan Pengelola Perbatasan Daerah Provinsi Kalimantan Barat, Manto Saidi, mengatakan meskipun ada beberapa perubahan dalam pembangunan di Entikong, secara keseluruhan kemajuan belum begitu terasa signifikan.
Warga Entikong berharap setelah terbentuknya BNPP, perhatian pemerintah terhadap daerah perbatasan berubah. Sama halnya di Entikong, warga Kota Sanggau, ibu kota Kabupaten Sanggau, juga berharap pemerintah pusat memperhatikan wilayah perbatasan.
Bupati Sanggau, Yansen Akun Eff endi, mengatakan infrastruktur jalan menjadi kebutuhan utama dalam menata perbatasan. Alasannya, kehadiran investor tak akan berarti apa-apa bila infrastruktur jalan tak tersedia. Apalagi, panjang perbatasan di Sanggau mencapai 12.000 kilometer.
"Dan sebagian besar jalan penghubung itu adalah jalan darurat yang sering kali tergenang banjir saat hujan tiba," kata dia. Karena itu, jalan paralel yang menghubungkan garis perbatasan mesti secepatnya dibangun. Sarana jalan menjadi penting bila memang ingin menata perbatasan. Indonesia sudah tertinggal jauh dari Malaysia yang sudah membangun jalan paralelnya.
"Infrastruktur jalan yang sangat kita harapkan," kata dia. Setelah melihat langsung Entikong dan Sanggau, ternyata napas otonomi yang sudah didengungkan sejak tahun 1999 masih terasa terengah-engah. Ironisnya lagi, kondisi itu justru berada di beranda depan negara. agus supriatna.
Menjelang akhir September 2012, Koran Jakarta berkesempatan mengunjungi Entikong bersama Badan Nasional Pengelola Perbatasan (BNPP). Badan ini merupakan badan baru yang didapuk untuk mengurus secara khusus wilayah perbatasan. Kepala BNPP, Gamawan Fauzi, sejak badan itu dibentuk, memang langsung bergerak cepat.
Bersinergi dengan berbagai kementerian dan lembaga negara, BNPP terus menguatkan program-program sektoral yang diperuntukkan bagi daerah perbatasan agar saling mendukung. Tekad Gamawan adalah menjadikan perbatasan sebagai beranda depan Indonesia, bukan lagi halaman belakang yang terabaikan.
Setiba di Bandara Supadio, Pontianak, sekitar pukul 19.15 Wita, suasana sudah remang. Bandara Supadio terlihat sederhana, namun tampak tengah dibenahi. Menurut staf BNPP, Amini Maros, Bandara Supadio sedang direnovasi besar-besaran dan direncanakan bakal menjadi bandara internasional.
Maket Bandara Supadio masa depan memang tampak megah. Bila renovasi bandara sudah kelar, sepertinya angan-angan Gamawan menjadikan daerah yang berbatasan langsung dengan negara tetangga sebagai beranda depan sudah mulai bisa dicicil. Amini Maros menambahkan untuk menghubungkan Pontianak dan Kuching, Malaysia, ada jadwal penerbangan dua kali sehari dari Bandara Supadio.
Sementara menuju Entikong, pintu gerbang yang menghubungkan Indonesia dan Malaysia, dari Pontianak bisa ditempuh menggunakan jalur darat.
"Ke Entikong pakai jalan darat. Waktu tempuhnya lima sampai enam jam, pakai bus atau mobil. Sebagian jalan lumayan bagus, tapi ada sebagian yang masih rusak," kata dia.
Perbaikan infrastruktur jalan memang menjadi salah satu prioritas kerja BNPP dalam memoles daerah perbatasan. Di Kalimantan Barat, ada lima kabupaten yang langsung berbatasan dengan Malaysia, yaitu Sambas, Bengkayang, Sintang, Kapuas Hulu, dan Sanggau.
Namun, yang relatif baik infrastrukturnya adalah Entikong yang masuk Kabupaten Sanggau. Menurut warga Pontianak, Hamid, arus pelintas batas dari Pontianak ke Entikong sudah ramai. Jalur menuju Entikong sudah dilayani bus-bus besar yang bolakbalik mengangkut warga Kalimantan Barat yang berniat berniaga ke wilayah Malaysia.
"Jalur Pontianak-Entikong dilayani bus-bus besar, berangkat dari Pontianak jam 9 malam. Mereka mengejar sampai border (pos perbatasan) jam lima pagi, saat pintu mulai dibuka," kata dia. Banyak warga yang berdagang ke Malaysia menjual hasil pertanian dan barang lainnya.
Harga di Malaysia lebih kompetitif karena nilai mata uang ringgit nilainya lebih tinggi dari rupiah.
Minim Perhatian
Aminah mengaku sudah kenyang menerima keluhan dari warga, camat, dan kepala desa tentang minimnya perhatian pusat pada daerah perbatasan.
Kini, dengan hadirnya BNPP, harapan warga di perbatasan muncul kembali dan berharap perbatasan benar-benar diperhatikan. Entikong adalah garis terakhir batas negara di bumi Borneo. Kondisi jalan untuk rute Pontianak-Entikong-Kuching sudah diaspal hotmik. Meski demikian, menurut Amini Maros, daerah perbatasan masih sangat memerlukan infrastruktur jalan.
"Jalan menuju Entikong hanya bagus sebagian saja, sisanya kondisinya rusak. Bila musim hujan, berlubang dan berlumpur. Bila kemarau, selain berlubang juga berdebu," kata Amini yang asli Kalimantan Barat. Selain persoalan infrastruktur, Amini mengatakan banyak warga Entikong yang justru terbiasa dengan barang-barang produk Malaysia, seperti makanan ringan dan biskuit.
"Made in-nya Malaysia. Mau apa lagi? Mereka lebih gampang mendapatkan produk Malaysia," ujar dia. Suasana di Kecamatan Entikong tak terlalu ramai. Memang ada gerak kemajuan, ada beberapa rumah toko yang mulai dibangun. Bank seperti BRI, Mandiri, dan Bank Kalimantan Barat juga sudah mendirikan cabangnya di Entikong.
Anjungan Tunai Mandiri (ATM) dan layanan money changer juga telah tersedia. Kondisi itu wajar karena ketika berniaga di Malaysia, mata uang yang berlaku adalah ringgit.
Kantor Bea Cukai pun sudah dibangun di Entikong dan terlihat cukup megah. Sekretaris Sosial Ekonomi Malaysia-Indonesia (Malindo) dari Badan Pengelola Perbatasan Daerah Provinsi Kalimantan Barat, Manto Saidi, mengatakan meskipun ada beberapa perubahan dalam pembangunan di Entikong, secara keseluruhan kemajuan belum begitu terasa signifikan.
Warga Entikong berharap setelah terbentuknya BNPP, perhatian pemerintah terhadap daerah perbatasan berubah. Sama halnya di Entikong, warga Kota Sanggau, ibu kota Kabupaten Sanggau, juga berharap pemerintah pusat memperhatikan wilayah perbatasan.
Bupati Sanggau, Yansen Akun Eff endi, mengatakan infrastruktur jalan menjadi kebutuhan utama dalam menata perbatasan. Alasannya, kehadiran investor tak akan berarti apa-apa bila infrastruktur jalan tak tersedia. Apalagi, panjang perbatasan di Sanggau mencapai 12.000 kilometer.
"Dan sebagian besar jalan penghubung itu adalah jalan darurat yang sering kali tergenang banjir saat hujan tiba," kata dia. Karena itu, jalan paralel yang menghubungkan garis perbatasan mesti secepatnya dibangun. Sarana jalan menjadi penting bila memang ingin menata perbatasan. Indonesia sudah tertinggal jauh dari Malaysia yang sudah membangun jalan paralelnya.
"Infrastruktur jalan yang sangat kita harapkan," kata dia. Setelah melihat langsung Entikong dan Sanggau, ternyata napas otonomi yang sudah didengungkan sejak tahun 1999 masih terasa terengah-engah. Ironisnya lagi, kondisi itu justru berada di beranda depan negara. agus supriatna.
0 komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.