Ricky Hendrik Egam, dari Penyuplai Alat Rumah Tangga ke Pemasok Bom untuk Sukhoi Setelah mendapat pesanan ribuan bom untuk Sukhoi, Ricky Hendrik Egam mengembangkan peluru kendali (rudal) berjarak 45 kilometer. Rudal itu diuji coba bulan depan.Rudal Petir Ricky (Tribunnews)
SEBIDANG bangunan di kompleks Bandara Abdulrachman Saleh, Malang, itu tak menyerupai pabrik amunisi. Orang bisa keluar masuk ke gedung tanpa menggunakan kartu pengenal. Dari pos satpam, tiga petugas keamanan hanya melihat dari kejauhan aktivitas para tamu.
Padahal, di balik bangunan tersebut, berjejer ratusan bom yang terlihat siap digunakan. Sebagian bom yang berbentuk fisik mirip tabung elpiji 12 kilogram itu masih diproses. Bahkan, di salah satu sudut bangunan terpajang rudal prototipe yang menyerupai miniatur pesawat tempur.
Ratusan bom siap pakai itu adalah amunisi khusus pesawat tempur Sukhoi Su-27/Su-30. Namanya P-100 (untuk latihan, berwarna biru) dan P-100 L (untuk tempur, hijau). Dua bom tersebut memiliki panjang 1.100 milimeter (mm), diameter 273 mm, berat 100–125 kilogram, dan panjang ekor 550 mm. Sebanyak 1.200 bom sudah dipesan TNI-AU untuk amunisi Sukhoi.
Sebelum dipasang di Sukhoi, P-100 dan P-100 L itu dikirim ke markas PT Dahana di Subang, Jawa Barat. Di sana selongsong bom tersebut diisi bahan peledak sesuai dengan spesifikasi Sukhoi.
Lalu, rudal yang sedang dikembangkan bernama Petir V-101. Teknisi sengaja memasang sirip menyerupai pesawat tempur untuk memudahkan pengendalian kecepatan. ”Kalau engine- nya sudah siap, sirip ini nanti dicopot,” kata Ricky Hendrik Egam, bos PT Sari Bahari, produsen bom dan rudal tersebut.
Selama pengembangan, Petir menggunakan engine standar dengan kecepatan 260 kilometer per jam. Teknisi sedang merancang engine sendiri yang diharapkan mampu mendongkrak kecepatan Petir menjadi 500 km per jam.
Petir V-101 menjadi produk andalan PT Sari Bahari. Rudal yang baru dirilis ke publik Agustus lalu itu merupakan rintisan produksi alutsista (alat utama sistem persenjataan) dari pihak swasta. Di Indonesia, produsen amunisi adalah perusahaan negara PT Pindad. Hanya, BUMN itu selama ini lebih fokus pada pengembangan roket balistik, yakni R-Han, yang berjarak jangkau 15 kilometer.
Sejak 2014, tiga prototipe Petir menjalani serangkaian uji coba. Yang terakhir, pengujian terbang dilakukan di Pameungpeuk, Jawa Barat. Selama percobaan, Petir belum diisi hulu ledak karena hanya menguji aspek aerodinamika. ”Selanjutnya kami menguji sistem otopilotnya. Kalau berhasil, kami akan mengisi hulu ledaknya,” ujar seorang teknisi. Uji coba terakhir bakal dilaksanakan di Pandanwangi, Lumajang, Oktober mendatang.
Ricky menargetkan, setelah uji coba terakhir, Petir tahun depan diharapkan mengikuti uji kelayakan sebelum digunakan untuk memperkuat alutsista TNI. Dia berharap uji coba yang menyedot biaya Rp 5 miliar itu dapat segera menghasilkan rudal andalan.
Dia mengklaim, Petir sangat cocok dengan kebutuhan militer Indonesia. Selama ini rudal dengan jarak jelajah 45–60 km belum terisi. Rudal C-701 dan C-705 buatan Tiongkok –kini dikembangkan dengan PT Dirgantara Indonesia (PT DI)– memiliki jelajah 60–80 km dan 135 km. Sedangkan Exocet MM40 Block 2 yang dimiliki TNI-AL berjarak 120 km.
Padahal, lanjut Ricky, Petir mengadopsi sejumlah teknologi mutakhir untuk pengindraan sasaran. ”Kami sudah pakai multiple 3D point. Ini jelas lebih maju daripada rudal yang menggunakan seeker,” jelasnya. Konsekuensinya, lanjut dia, di Petir nanti dibenamkan prosesor tingkat tinggi untuk memproses data sasaran tembak.
Berbekal melirik langsung memproduksi Produksi bom P100 [migasreview]
Ricky mengakui sudah bertemu dengan perwakilan TNI untuk membicarakan hasil pengembangan rudal dan bomnya. Mereka umumnya tertarik dan diharapkan tiga matra TNI dapat menggunakan produknya.
Menariknya, meski kini menggeluti dunia bom dan rudal, Ricky awalnya tidak memiliki pengetahuan teknis seputar alutsista. Pria yang berdomisili di Malang itu sebelumnya hanya rekanan biasa PT Pindad. Itu terjadi pada 1993. ”Saat itu saya supplier barang umum, kebutuhan rumah tangga. Mulai produk pel-pelan, sapu, dan sejenisnya,” jelasnya.
Ricky juga berwiraswasta dengan memproduksi onderdil kendaraan bermotor berupa knalpot. ”Itu sebenarnya bukan profesi utama. Cuma pernah (bisnis, Red) ini, pernah itu. Orang bisnis itu kan mencari bentuknya dulu,” jelas Ricky.
Nah, keahlian mengolah material baja untuk knalpot tersebut menginspirasi Ricky untuk menekuni bisnis selongsong bom. Maklum, bodi knalpot dan selongsong bom memang mirip dari sisi material, yakni sama-sama berbahan baja.
Suatu saat Ricky bersama sejumlah pejabat PT Pindad berkesempatan terbang ke Rusia untuk memenuhi undangan pameran. Kesempatan itu digunakan Ricky untuk mencari tahu teknologi pembuatan bom.
”Kalau sekadar begini, saya bisa memproduksi,” kata Ricky setelah melihat-lihat pembuatan bom di salah satu pabrik di Rusia.
Selanjutnya, pada 2005, Ricky mulai serius menekuni bisnis alutsista. Ricky bersama tim riset TNI-AU meneliti salah satu bom buatan Rusia. ”Kami akhirnya sukses memproduksi sendiri,” kenang Ricky.
Diujicoba pesawat TNI AU Pemasangan bom P100 pada pesawat Sukhoi (ARC)
Yang menarik, selama penelitian, bom P-100 tidak langsung disematkan pada Sukhoi. Tetapi, diaplikasikan dulu ke F-5 yang merupakan produk Amerika Serikat (AS). P-100 tidak mengalami kendala saat dipasang di F-5.
Nah, uji coba dengan F-5 tersebut ternyata menjadi berkah tersendiri bagi P-100. Sebab, kelayakan amunisi itu diakui sistem persenjataan Pakta Pertahanan Atlantik Utara (North Atlantic Treaty Organization/NATO). ”Sebab itu, kesuksesan di F-5 berarti kita sukses versi NATO dan Rusia. Kita memang desain bom seperti itu,” ungkapnya.
Pada 2007, dengan segala kekurangan, bom P-100 hasil produksi Ricky mulai digunakan untuk latihan Sukhoi. Saat itu Sukhoi yang baru tiba dari Rusia belum dilengkapi senjata.
Kalaupun butuh untuk berlatih, TNI mengimpor bom yang kompatibel dengan Sukhoi. Harga per unit terhitung mahal, yakni USD 4.000. Kala itu, pada 2007, harga tersebut setara dengan Rp 40 juta.
Sebaliknya, harga bom P-100 yang menyamai produk Rusia jelas jauh lebih murah. Berapa harganya? ”Wah, saya nggak bisa jelaskan. Yang pasti, bisa lebih murah 50 persen, bahkan lebih,” jelas Ricky. Harga bisa ditekan karena tingkat kandungan dalam negeri (TKDN) P-100 mencapai 87,87 persen, sedang P-100 L sebesar 88,30 persen.
Setelah dua tahun digunakan Sukhoi untuk berlatih dan pernah dipakai F-5, P-100 kini diakui dunia militer internasional. Yakni, dengan telah mengantonginya NSN (national stock number) dari badan kodifikasi. Dengan NSN, produk tersebut telah diakui sebagai amunisi bom bertaraf internasional, baik NATO maupun Rusia.
Pengembangan P-100 ternyata dimonitor militer negeri tetangga. Terbaru, delegasi pejabat Tentera Udara Diraja Malaysia (TUDM) yang juga mengoperasikan Sukhoi ternyata terpincut dengan P-100. ”Mereka datang ke sini (pabrik PT Sari Bahari, Red), bahkan pejabat setingkat KSAU-nya. Mereka ingin beli P-100,” ungkap Ricky. Namun, karena bom merupakan bagian industri strategis, Ricky harus mendapat persetujuan Kementerian Pertahanan (Kemenhan) untuk menjual P-100. ”Sejauh ini Kemenhan merespons no. Jadi, kami tidak menjualnya,” imbuh Ricky. (*/c10/ttg)
SEBIDANG bangunan di kompleks Bandara Abdulrachman Saleh, Malang, itu tak menyerupai pabrik amunisi. Orang bisa keluar masuk ke gedung tanpa menggunakan kartu pengenal. Dari pos satpam, tiga petugas keamanan hanya melihat dari kejauhan aktivitas para tamu.
Padahal, di balik bangunan tersebut, berjejer ratusan bom yang terlihat siap digunakan. Sebagian bom yang berbentuk fisik mirip tabung elpiji 12 kilogram itu masih diproses. Bahkan, di salah satu sudut bangunan terpajang rudal prototipe yang menyerupai miniatur pesawat tempur.
Ratusan bom siap pakai itu adalah amunisi khusus pesawat tempur Sukhoi Su-27/Su-30. Namanya P-100 (untuk latihan, berwarna biru) dan P-100 L (untuk tempur, hijau). Dua bom tersebut memiliki panjang 1.100 milimeter (mm), diameter 273 mm, berat 100–125 kilogram, dan panjang ekor 550 mm. Sebanyak 1.200 bom sudah dipesan TNI-AU untuk amunisi Sukhoi.
Sebelum dipasang di Sukhoi, P-100 dan P-100 L itu dikirim ke markas PT Dahana di Subang, Jawa Barat. Di sana selongsong bom tersebut diisi bahan peledak sesuai dengan spesifikasi Sukhoi.
Lalu, rudal yang sedang dikembangkan bernama Petir V-101. Teknisi sengaja memasang sirip menyerupai pesawat tempur untuk memudahkan pengendalian kecepatan. ”Kalau engine- nya sudah siap, sirip ini nanti dicopot,” kata Ricky Hendrik Egam, bos PT Sari Bahari, produsen bom dan rudal tersebut.
Selama pengembangan, Petir menggunakan engine standar dengan kecepatan 260 kilometer per jam. Teknisi sedang merancang engine sendiri yang diharapkan mampu mendongkrak kecepatan Petir menjadi 500 km per jam.
Petir V-101 menjadi produk andalan PT Sari Bahari. Rudal yang baru dirilis ke publik Agustus lalu itu merupakan rintisan produksi alutsista (alat utama sistem persenjataan) dari pihak swasta. Di Indonesia, produsen amunisi adalah perusahaan negara PT Pindad. Hanya, BUMN itu selama ini lebih fokus pada pengembangan roket balistik, yakni R-Han, yang berjarak jangkau 15 kilometer.
Sejak 2014, tiga prototipe Petir menjalani serangkaian uji coba. Yang terakhir, pengujian terbang dilakukan di Pameungpeuk, Jawa Barat. Selama percobaan, Petir belum diisi hulu ledak karena hanya menguji aspek aerodinamika. ”Selanjutnya kami menguji sistem otopilotnya. Kalau berhasil, kami akan mengisi hulu ledaknya,” ujar seorang teknisi. Uji coba terakhir bakal dilaksanakan di Pandanwangi, Lumajang, Oktober mendatang.
Ricky menargetkan, setelah uji coba terakhir, Petir tahun depan diharapkan mengikuti uji kelayakan sebelum digunakan untuk memperkuat alutsista TNI. Dia berharap uji coba yang menyedot biaya Rp 5 miliar itu dapat segera menghasilkan rudal andalan.
Dia mengklaim, Petir sangat cocok dengan kebutuhan militer Indonesia. Selama ini rudal dengan jarak jelajah 45–60 km belum terisi. Rudal C-701 dan C-705 buatan Tiongkok –kini dikembangkan dengan PT Dirgantara Indonesia (PT DI)– memiliki jelajah 60–80 km dan 135 km. Sedangkan Exocet MM40 Block 2 yang dimiliki TNI-AL berjarak 120 km.
Padahal, lanjut Ricky, Petir mengadopsi sejumlah teknologi mutakhir untuk pengindraan sasaran. ”Kami sudah pakai multiple 3D point. Ini jelas lebih maju daripada rudal yang menggunakan seeker,” jelasnya. Konsekuensinya, lanjut dia, di Petir nanti dibenamkan prosesor tingkat tinggi untuk memproses data sasaran tembak.
Berbekal melirik langsung memproduksi Produksi bom P100 [migasreview]
Ricky mengakui sudah bertemu dengan perwakilan TNI untuk membicarakan hasil pengembangan rudal dan bomnya. Mereka umumnya tertarik dan diharapkan tiga matra TNI dapat menggunakan produknya.
Menariknya, meski kini menggeluti dunia bom dan rudal, Ricky awalnya tidak memiliki pengetahuan teknis seputar alutsista. Pria yang berdomisili di Malang itu sebelumnya hanya rekanan biasa PT Pindad. Itu terjadi pada 1993. ”Saat itu saya supplier barang umum, kebutuhan rumah tangga. Mulai produk pel-pelan, sapu, dan sejenisnya,” jelasnya.
Ricky juga berwiraswasta dengan memproduksi onderdil kendaraan bermotor berupa knalpot. ”Itu sebenarnya bukan profesi utama. Cuma pernah (bisnis, Red) ini, pernah itu. Orang bisnis itu kan mencari bentuknya dulu,” jelas Ricky.
Nah, keahlian mengolah material baja untuk knalpot tersebut menginspirasi Ricky untuk menekuni bisnis selongsong bom. Maklum, bodi knalpot dan selongsong bom memang mirip dari sisi material, yakni sama-sama berbahan baja.
Suatu saat Ricky bersama sejumlah pejabat PT Pindad berkesempatan terbang ke Rusia untuk memenuhi undangan pameran. Kesempatan itu digunakan Ricky untuk mencari tahu teknologi pembuatan bom.
”Kalau sekadar begini, saya bisa memproduksi,” kata Ricky setelah melihat-lihat pembuatan bom di salah satu pabrik di Rusia.
Selanjutnya, pada 2005, Ricky mulai serius menekuni bisnis alutsista. Ricky bersama tim riset TNI-AU meneliti salah satu bom buatan Rusia. ”Kami akhirnya sukses memproduksi sendiri,” kenang Ricky.
Diujicoba pesawat TNI AU Pemasangan bom P100 pada pesawat Sukhoi (ARC)
Yang menarik, selama penelitian, bom P-100 tidak langsung disematkan pada Sukhoi. Tetapi, diaplikasikan dulu ke F-5 yang merupakan produk Amerika Serikat (AS). P-100 tidak mengalami kendala saat dipasang di F-5.
Nah, uji coba dengan F-5 tersebut ternyata menjadi berkah tersendiri bagi P-100. Sebab, kelayakan amunisi itu diakui sistem persenjataan Pakta Pertahanan Atlantik Utara (North Atlantic Treaty Organization/NATO). ”Sebab itu, kesuksesan di F-5 berarti kita sukses versi NATO dan Rusia. Kita memang desain bom seperti itu,” ungkapnya.
Pada 2007, dengan segala kekurangan, bom P-100 hasil produksi Ricky mulai digunakan untuk latihan Sukhoi. Saat itu Sukhoi yang baru tiba dari Rusia belum dilengkapi senjata.
Kalaupun butuh untuk berlatih, TNI mengimpor bom yang kompatibel dengan Sukhoi. Harga per unit terhitung mahal, yakni USD 4.000. Kala itu, pada 2007, harga tersebut setara dengan Rp 40 juta.
Sebaliknya, harga bom P-100 yang menyamai produk Rusia jelas jauh lebih murah. Berapa harganya? ”Wah, saya nggak bisa jelaskan. Yang pasti, bisa lebih murah 50 persen, bahkan lebih,” jelas Ricky. Harga bisa ditekan karena tingkat kandungan dalam negeri (TKDN) P-100 mencapai 87,87 persen, sedang P-100 L sebesar 88,30 persen.
Setelah dua tahun digunakan Sukhoi untuk berlatih dan pernah dipakai F-5, P-100 kini diakui dunia militer internasional. Yakni, dengan telah mengantonginya NSN (national stock number) dari badan kodifikasi. Dengan NSN, produk tersebut telah diakui sebagai amunisi bom bertaraf internasional, baik NATO maupun Rusia.
Pengembangan P-100 ternyata dimonitor militer negeri tetangga. Terbaru, delegasi pejabat Tentera Udara Diraja Malaysia (TUDM) yang juga mengoperasikan Sukhoi ternyata terpincut dengan P-100. ”Mereka datang ke sini (pabrik PT Sari Bahari, Red), bahkan pejabat setingkat KSAU-nya. Mereka ingin beli P-100,” ungkap Ricky. Namun, karena bom merupakan bagian industri strategis, Ricky harus mendapat persetujuan Kementerian Pertahanan (Kemenhan) untuk menjual P-100. ”Sejauh ini Kemenhan merespons no. Jadi, kami tidak menjualnya,” imbuh Ricky. (*/c10/ttg)
♖ jawapos
0 komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.