Deputi bidang Perniagaan dan Industri Kemenko Perekonomian, Edy Putra Irawadi di Jakarta, Selasa (22/7). (CNN Indonesia/Galih Gumelar) ★
Rencana pemerintah membangun Pusat logistik Berikat (PLB) khusus minyak dan gas di Kalimantan Timur mulai mendapat tentangan, baik dari negara tetangga penimbun logistik maupun dari pengusaha lokal yang biasa mengambil untung dari panjangnya rantai produksi.
Upaya jegal PLB tersebut diungkapkan langsung oleh Edy Putra Irawady, Deputi Bidang Koordinasi Perniagaan dan Industri Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian kepada CNN Indonesia di kantornya, Senin (21/9).
“(Tentangan) bukan saja dari Singapura, orang-orang di sini yang sudah comfort dengan sistem begini pasti akan protes,” kata Edy.
Edy menyadari keberadaan PLB migas di Tanah Air pasti akan mengurangi pendapatan negara penimbun minyak lain di kawasan Asia Tenggara.
Sebagai contoh, lanjutnya, rencana pembangunan PLB migas di Tanjung Batu, Balikpapan, Kalimantan Timur dan PLB tangki timbun BBM di Merak, Banten yang akan mengancam penerimaan negara tetangga, Singapura, yang selama ini menjadi tempat penimbunan minyak produksi Indonesia.
Berdasarkan pengalamannya, Edy mengaku pernah mendapatkan ancaman fisik waktu pemerintah ingin menjadikan Pelabuhan Batu Ampar di Batam sebagai hub utama perdagangan internasional Indonesia. Menurutnya, keberadaan pelabuhan itu kemudian mengancam Singapura yang selama ini sudah menjadi hub perdagangan di Selat Malaka.
“Iya saya dulu pernah dapat ancaman fisik kan. Seru. Ya sama, mereka (Singapura) dulu mau ikut tender tetapi untuk mengkerdilkan (Pelabuhan Batu Ampar) untuk diambil sebagai anak dari pelabuhan Singapura. Saya tidak mau, karena saya mau itu pelabuhan (Batu Ampar) independen,” ujarnya.
Selain itu, Edy juga pernah berhadapan dengan Singapura ketika ingin memotong rantai distribusi minuman beralkohol.
“Saya kan dulu pernah exercise sekali bagaimana memotong Singapura ketika minuman keras. Dulu kan semua minuman keras harus lewat Singapura karena agennya. Kita bilang oke siapapun boleh menjadi importir minuman keras, tetapi kamu mendapatkan penunjukan langsung agen dari perusahaan pabriknya sehingga mereka (importir) langsung ke Indonesia tidak lagi lewat Singapura,” ujarnya.
Saat ini, Edy mulai mendengar suara-suara sumbang yang menentang rencana pembangunan PLB di Indonesia. Upaya-upaya untuk mengakali PLB juga sudah mulai tampak di mata Edy, di mana sejumlah spekulan mulai melakukan praktik ijon untuk mencari keuntungan.
"Suara (negatif) sih banyak banget. Misalnya sekarang (spekulan lokal) mulai mengijon kapas. Artinya sudah mulai mengambil kontrak jangka panjang dan jangka menengah untuk (memasok) minyak ke Singapura, sudah mulai," ujar Edy.
Pada dasarnya, lanjut Edy, keberadaan PLB domestik untuk mendekatkan bahan baku ke industri domestik, memotong biaya transaksi, serta biaya transportasi logistik. Edy menilai dengan sistem logistik yang ada sekarang masyarakat harus menanggung distorsi dari biaya transaksi yang tidak relevan terhadap harga.
“Artinya ketika kita mengimpor kapas, mengimpor minyak yang lain-lain itu banyak beban itu yang tidak relevan terhadap harga. Distorsi ini yang diperoleh, yang dialami oleh konsumen sehingga daya belinya semakin lemah karena kan di bypass saja oleh industri ke konsumen," ujarnya. (ags/gen)
Rencana pemerintah membangun Pusat logistik Berikat (PLB) khusus minyak dan gas di Kalimantan Timur mulai mendapat tentangan, baik dari negara tetangga penimbun logistik maupun dari pengusaha lokal yang biasa mengambil untung dari panjangnya rantai produksi.
Upaya jegal PLB tersebut diungkapkan langsung oleh Edy Putra Irawady, Deputi Bidang Koordinasi Perniagaan dan Industri Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian kepada CNN Indonesia di kantornya, Senin (21/9).
“(Tentangan) bukan saja dari Singapura, orang-orang di sini yang sudah comfort dengan sistem begini pasti akan protes,” kata Edy.
Edy menyadari keberadaan PLB migas di Tanah Air pasti akan mengurangi pendapatan negara penimbun minyak lain di kawasan Asia Tenggara.
Sebagai contoh, lanjutnya, rencana pembangunan PLB migas di Tanjung Batu, Balikpapan, Kalimantan Timur dan PLB tangki timbun BBM di Merak, Banten yang akan mengancam penerimaan negara tetangga, Singapura, yang selama ini menjadi tempat penimbunan minyak produksi Indonesia.
Berdasarkan pengalamannya, Edy mengaku pernah mendapatkan ancaman fisik waktu pemerintah ingin menjadikan Pelabuhan Batu Ampar di Batam sebagai hub utama perdagangan internasional Indonesia. Menurutnya, keberadaan pelabuhan itu kemudian mengancam Singapura yang selama ini sudah menjadi hub perdagangan di Selat Malaka.
“Iya saya dulu pernah dapat ancaman fisik kan. Seru. Ya sama, mereka (Singapura) dulu mau ikut tender tetapi untuk mengkerdilkan (Pelabuhan Batu Ampar) untuk diambil sebagai anak dari pelabuhan Singapura. Saya tidak mau, karena saya mau itu pelabuhan (Batu Ampar) independen,” ujarnya.
Selain itu, Edy juga pernah berhadapan dengan Singapura ketika ingin memotong rantai distribusi minuman beralkohol.
“Saya kan dulu pernah exercise sekali bagaimana memotong Singapura ketika minuman keras. Dulu kan semua minuman keras harus lewat Singapura karena agennya. Kita bilang oke siapapun boleh menjadi importir minuman keras, tetapi kamu mendapatkan penunjukan langsung agen dari perusahaan pabriknya sehingga mereka (importir) langsung ke Indonesia tidak lagi lewat Singapura,” ujarnya.
Saat ini, Edy mulai mendengar suara-suara sumbang yang menentang rencana pembangunan PLB di Indonesia. Upaya-upaya untuk mengakali PLB juga sudah mulai tampak di mata Edy, di mana sejumlah spekulan mulai melakukan praktik ijon untuk mencari keuntungan.
"Suara (negatif) sih banyak banget. Misalnya sekarang (spekulan lokal) mulai mengijon kapas. Artinya sudah mulai mengambil kontrak jangka panjang dan jangka menengah untuk (memasok) minyak ke Singapura, sudah mulai," ujar Edy.
Pada dasarnya, lanjut Edy, keberadaan PLB domestik untuk mendekatkan bahan baku ke industri domestik, memotong biaya transaksi, serta biaya transportasi logistik. Edy menilai dengan sistem logistik yang ada sekarang masyarakat harus menanggung distorsi dari biaya transaksi yang tidak relevan terhadap harga.
“Artinya ketika kita mengimpor kapas, mengimpor minyak yang lain-lain itu banyak beban itu yang tidak relevan terhadap harga. Distorsi ini yang diperoleh, yang dialami oleh konsumen sehingga daya belinya semakin lemah karena kan di bypass saja oleh industri ke konsumen," ujarnya. (ags/gen)
♞ CNN
0 komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.