Warung makan itu berukuran tiga kali empat meter. Berdinding bata. Cukup strategis. Jaraknya 30 meter dari Stasiun Gondangdia, Jakarta.
Siang itu, Jumat di awal Januari, warung tampak sepi. Lauk pauk dan sayur yang tersaji masih cukup lengkap. Pemilik warung itu, Nur Sidiq, tak tampak sibuk.
Saat itu adalah hari ketiga setelah PT Pertamina menaikkan harga elpiji ukuran 12 kilogram. Rata-rata kenaikan yang berlaku per 1 Januari 2014 itu Rp 3.959 per kilogram.
Meski sudah tahu soal adanya kenaikan harga itu, tapi Nur terkejut saat hendak membeli tabung elpiji 12 kg. Harganya kini melonjak drastis. "Tadinya harga elpiji 12 kg itu Rp 81 ribu. Tapi, waktu mau beli, kok harganya jadi Rp 133 ribu," kata dia kepada VIVAnews. Ia bicara dengan nada sedikit murka.
Elpiji 12 kg bukan barang baru bagi Nur. Tabung biru itu telah “menghidupi” keluarganya selama bertahun-tahun. Elpiji dimanfaatkan sebagai bahan bakar untuk memasak di warungnya.
Namun, harga elpiji yang melonjak, bakal memangkas keuntungan usahanya. Awalnya, kenaikan harga tak tanggung-tanggung, lebih dari 60 persen. Sebelum akhirnya direvisi hanya naik Rp 1.000 per kg, atau sekitar 17,3 persen.
Keputusan kenaikan harga elpiji itu bukan tanpa dasar. Pertamina memakai patokan laporan hasil pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) atas implementasi kebijakan energi nasional sektor gas.
Pemeriksaan dilakukan pada area pendistribusian elpiji pada 2011 dan 2012. Tujuan pemeriksaan adalah menilai efisiensi dan efektivitas pendistribusian elpiji dan tabung elpiji Pertamina.
Sub sasarannya di antaranya adalah menilai apakah perencanaan kegiatan pendistribusian dan penentuan harga elpiji telah dilakukan secara memadai, memiliki justifikasi, dan memenuhi kriteria penetapan perencanaan yang baik.
Hasil pemeriksaan BPK
Kesimpulan BPK menunjukkan kegiatan pendistribusian elpiji oleh Pertamina secara nasional sudah efektif. Efektivitas itu tercermin dari pasokan elpiji dari Pertamina yang telah menjangkau daerah-daerah terkonversi secara cukup. Baik dari sisi volume maupun ketepatan waktu.
Penyaluran elpiji itu dikategorikan dalam dua kelompok besar, yaitu distribusi elpiji public service obligation (PSO) ke daerah terkonversi dan distribusi elpiji non PSO ke seluruh Indonesia.
Walaupun pendistribusian elpiji secara umum telah efektif, Pertamina menghadapi kendala besar. “Terutama terkait dengan kontinuitas pendistribusian dalam jangka panjang,” tulis laporan BPK itu.
Kendala itu terkait kerugian Pertamina dalam bisnis elpiji non PSO. Karena harga jual yang ditetapkan lebih rendah dari harga penyediaannya. Kondisi itu dapat mengganggu kontinuitas pendistribusian elpiji jangka panjang.
Menurut hasil pemeriksaan BPK itu, kemampuan finansial Pertamina dalam jangka panjang akan menurun, karena menanggung kerugian atas pendistribusian elpiji 12 kg dan 50 kg selama 2011 hingga Oktober 2012. Nilai kerugian itu sebesar Rp 7,73 triliun.
Kerugian itu berdampak pada ketidakmampuan Pertamina melakukan kegiatan perawatan atas sarana dan fasilitas pendistribusian elpijinya. Dalam jangka panjang, kondisi itu dapat membuat kualitas elpiji maupun sarana pendukungnya berpotensi tidak dapat dipertahankan.
Saat pemeriksaan dilakukan, Pertamina belum memiliki fasilitas storage yang memadai, maupun lainnya yang menunjang bongkar muat memadai. “Dengan luasan area pendistribusian yang terdiri atas daerah kepulauan, ikut menyebabkan biaya distribusi menjadi mahal,” tulis laporan itu.
Situasi itu mengakibatkan kontinuitas pendistribusian elpiji jangka panjang akan terganggu. Kemampuan finansial Pertamina dalam jangka panjang pun akan menurun.
Pemerintah pun berpotensi kehilangan kesempatan memperoleh pendapatan dividen dari Pertamina yang lebih besar, akibat kerugian dari bisnis elpiji non PSO. Karena, penetapan harga jual elpiji non PSO, khususnya 12 kg, lebih rendah dari harga penyediaannya.
Pertamina sebelumnya tidak menaikkan harga jual elpiji tabung 12 kg karena masih mempertimbangkan kata “dilaporkan kepada Menteri” dalam pasal 25 Permen ESDM No. 26 Tahun 2009, sebagai sesuatu yang mengikat dan harus mendapatkan persetujuan pemerintah.
Tak hanya itu, Pertamina belum memanfaatkan secara optimal sumber dalam negeri untuk memenuhi kebutuhan elpiji. Untuk pemenuhan kebutuhan elpiji dalam negeri, Pertamina memiliki ketergantungan sangat tinggi terhadap elpiji impor.
Data terakhir pada 2012 menunjukkan impor elpiji telah melebihi produksi dalam negeri. Padahal, Pertamina sebenarnya telah memiliki strategi pengadaan dalam Rencana Jangka Panjang Perusahaan (RJPP).
Namun, strategi itu belum diterjemahkan dalam workplan yang komprehensif untuk memenuhi kebutuhan elpiji, dengan memaksimalkan sumber dari dalam negeri.
Akibatnya, terjadi peningkatan volume elpiji impor yang berdampak pada peningkatan biaya pengadaan dan transportasi sebesar US$ 48 per metrik ton pada 2011. Sementara itu, untuk 2012 sebesar US$ 116 per metrik ton.
“Hal itu juga meningkatkan risiko jangka panjang ketersediaan elpiji dalam negeri, karena ketergantungan pasokan dari impor,” tulis laporan itu.
Dari hasil pemeriksaan tersebut, BPK di antaranya merekomendasikan Pertamina agar menaikkan harga elpiji tabung 12 kg. Kenaikan itu sesuai harga perolehan untuk mengurangi kerugian Pertamina.
Upaya itu dengan mempertimbangkan harga patokan elpiji, kemampuan daya beli konsumen dalam negeri, dan kesinambungan penyediaan dan pendistribusian. Sesuai Permen ESDM No. 26 Tahun 2009, Pertamina selanjutnya melaporkan kenaikan harga elpiji 12 kg tersebut kepada Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral.
Polemik kenaikan harga
Keputusan Pertamina menaikkan harga elpiji non subsidi kemasan 12 kg, sesuai rekomendasi BPK itu, ternyata tak semulus dibayangkan. Reaksi keras muncul dari konsumen rumah tangga hingga pelaku usaha.
Pertamina berdalih, dengan konsumsi elpiji non subsidi 12 kg tahun 2013 yang mencapai 977.000 ton, harga pokok perolehan elpiji rata-rata meningkat menjadi US$873 per metrik ton.
Sementara itu, nilai tukar rupiah yang melemah terhadap dolar, memicu kerugian Pertamina sepanjang 2013 diperkirakan mencapai lebih dari Rp 5,7 triliun. Kerugian itu timbul akibat dari harga jual Elpiji non subsidi 12 kg yang masih jauh di bawah harga pokok perolehan.
Harga sebelum kenaikan adalah harga yang ditetapkan pada Oktober 2009, yaitu Rp 5.850 per kg. Sementara itu, harga pokok perolehan kini telah mencapai Rp 10.785 per kg.
Dengan kondisi ini, Pertamina selama ini telah "jual rugi" dan menanggung selisihnya, sehingga akumulasi nilai kerugian mencapai Rp 22 triliun dalam 6 tahun terakhir.
“Kondisi ini tentunya tidak sehat secara korporasi, karena tidak mendukung Pertamina dalam menjamin keberlangsungan pasokan elpiji kepada masyarakat," kata Vice President Corporate Communication Pertamina, Ali Mundakir.
Awalnya, mulai 1 Januari 2014 pukul 00.00 WIB, Pertamina memberlakukan harga baru elpiji non subsidi kemasan 12 kg secara serentak di seluruh Indonesia dengan rata-rata kenaikan di tingkat konsumen Rp 3.959 per kg. Besaran kenaikan di tingkat konsumen akan bervariasi berdasarkan jarak stasiun pengisian bahan bakar elpiji (SPBBE) ke titik serah (supply point).
Dengan kenaikan ini pun, Pertamina mengklaim masih "jual rugi" kepada konsumen elpiji non subsidi kemasan 12 kg sebesar Rp 2.100 per kg. Kenaikan harga tersebut akan berdampak pada tambahan pengeluaran hingga Rp 47.000 per bulan, atau Rp 1.566 per hari.
Klaim Pertamina bahwa kenaikan harga tidak banyak berpengaruh pada daya beli masyarakat, pun tak terbukti. Banyak pelaku usaha kecil menjerit. Di sejumlah daerah, kenaikan harga elpiji itu sempat liar.
Seolah tak ingin berlama-lama merespons lonjakan harga elpiji itu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono langsung menggelar rapat kabinet terbatas Minggu, 5 Januari lalu. Presiden meminta Pertamina meninjau ulang kebijakan korporasi itu.
Rapat konsultasi pemerintah dan Badan Pemeriksa Keuangan pun digelar keesokan harinya. Selanjutnya, setelah menggelar rapat umum pemegang saham, Pertamina akhirnya merevisi kenaikan harga elpiji 12 kg menjadi Rp 1.000 per kg.
Dengan revisi ini, kenaikan harga per tabung elpiji non subsidi 12 kg rata-rata Rp 14.200 per tabung. Harga per tabung elpiji non subsidi 12 kg di tingkat agen menjadi Rp 89.000 hingga Rp 120.100 terhitung mulai 7 Januari 2014, pukul 00.00 WIB.
Pertamina sendiri telah mengajukan revisi Rencana Kerja dan Anggaran Perusahaan (RKAP) 2014 yang menyangkut proyeksi kerugian bisnis elpiji 12 kg. Kerugian Pertamina akan menjadi US$ 0,51 miliar atau sekitar Rp 5,4 triliun, dengan asumsi kurs Rp 10.500 per dolar.
“Dengan kondisi tersebut, proyeksi pertumbuhan profit turun dari 13,17 persen menjadi 5,65 persen,” ujar Ali.
Meski telah dinaikkan, Pertamina mengklaim, harga yang berlaku saat ini masih lebih rendah di kawasan Asia, bahkan dunia.
Sebelum kenaikan, harga jual elpiji biru ini Rp 5.850 per kg. Pada 1 Januari 2014, Pertamina menaikkan harga jual menjadi Rp 9.809 per kg. Namun, setelah direvisi, harga jual elpiji menjadi sekitar Rp 6.850 per kg.
Dengan harga jual itu, berdasarkan data yang diperoleh VIVAnews dari Pertamina, harga elpiji non subsidi rumah tangga di Indonesia masih cukup murah. Di India, harga jual elpiji dipatok Rp 12.600 per kg.
Negara tetangga Indonesia, seperti Filipina, bahkan menjualnya di atas Rp 20.000 per kg, yaitu mencapai Rp 24.000 per kg. China, Korea Selatan, dan Jepang juga menjual elpiji di atas harga jual India, tapi masih di bawah Filipina.
Bisnis elpiji 12 kg selama ini selalu merugi, karena Pertamina harus menjual di bawah harga produksi. Harga jual rata-rata Rp 4.944 per kg, sedangkan biaya produksi Rp 10.785 per kg, sehingga terjadi selisih Rp 5.841 per kg, yang dicatat sebagai kerugian.
Pertamina mencatat bahwa harga elpiji 12 kg tidak pernah dinaikkan sejak Oktober 2009. Pada bulan itu, Pertamina menaikkan harga jual elpiji Rp 5.850 per kg dari sebelumnya Rp 5.750 per kg pada Agustus 2008. Saat itu, biaya produksi Rp 7.174 per kg.
Kenaikan harga belum dilakukan hingga akhir 2013, meski biaya produksi meningkat menjadi Rp 10.165 per kg. "Sejak 2009, harga CP (contract price) Aramco telah meningkat Rp 3.790 per kg, sedangkan harga jual elpiji 12 kg tidak meningkat," kata manajemen perusahaan pelat merah itu.
Pada Oktober 2009, harga Aramco sebesar US$ 513 per metrik ton. Pada 2013, harganya meningkat menjadi US$ 873 per metrik ton.
Harga keekonomian
Lantas, berapa sebenarnya harga keekonomian elpiji itu? Beberapa kalangan memperkirakan harga keekonomian elpiji sekitar Rp 16.000 per kg.
Direktur Pemasaran dan Niaga Pertamina, Hanung Budya, mengatakan, pemain lain tidak mau masuk, karena harganya masih di bawah harga keekonomian. Sebenarnya, Pertamina berharap, suatu saat bisa mencapai harga keekonomian.
Namun, pengurus Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Tulus Abadi, mengatakan, konsumen elpiji 12 kg yang umumnya kalangan menengah ke atas, sebenarnya lebih mengutamakan keberlanjutan pasokan dan kualitas produk, dibandingkan harga.
"Kelas menengah umumnya tidak terlalu sensitif dengan harga," ujar Tulus dalam keterangan tertulisnya.
Ia melanjutkan, secara alamiah, harga memang menjadi pertimbangan bagi semua konsumen, namun bagi kalangan menengah, hal itu bukanlah yang utama.
Hal senada dikemukakan pengamat energi Komaidi Notonegoro. "Paling utama ketersediaan pasokan, lalu kualitas produk, dan baru harga. Artinya, selama pasokan dan kualitas terjamin, harga menjadi tidak masalah," katanya.
Untuk itu, Tulus mengatakan, jaminan ketersediaan elpiji menjadi penting. Sebab, sering kali pasokan tersendat, sehingga harga mengalami kenaikan di luar ketentuan.
Saat ini, komposisi impor elpiji mencapai 59 persen dan sisanya domestik. Dari proporsi domestik tersebut, sebanyak 30,7 persen berasal dari produksi kontraktor kontrak kerja sama (KKKS) dan 10,1 persen eks kilang Pertamina.
Total kebutuhan elpiji, sesuai realisasi 2013 mencapai 5,6 juta metrik ton per tahun. Sebanyak 4,4 juta ton adalah elpiji PSO atau kemasan 3 kg, dan elpiji 12 kg sebanyak 970 ribu metrik ton. “Jadi, elpiji 12 kg hanya sekitar 17 persen dari kebutuhan nasional,” tutur Hanung.
Pada 2014, total produksi dalam negeri mencapai 6,1-6,2 juta ton. Semua produksi elpiji domestik saat ini sudah dibeli Pertamina. Meskipun untuk menjaga keseimbangan kebutuhan, terpaksa harus impor.
“Untuk itu, diharapkan dalam waktu dekat ada peningkatan produksi domestik, sehingga impor bisa dikurangi,” ujarnya.
Menteri Keuangan, Chatib Basri, menambahkan, porsi elpiji 12 kg yang hanya 17 persen dari kebutuhan nasional, tidak akan berpengaruh besar, kalaupun terjadi migrasi ke tabung 3 kg. “Jadi, kalau elpiji 12 kg tidak dipakai lagi, dan pindah ke 3 kg, dampaknya tidak terlalu besar,” ujar Chatib kepada VIVAnews.
Chatib menambahkan, konsumen akan beralih ke elpiji 3 kg jika selisih harganya cukup besar. Restoran besar, misalnya, tidak akan pindah ke tabung 3 kg.
Dari sisi itu, dia menambahkan, semestinya subsidi sebesar Rp 40 triliun masih cukup. Direktur Jenderal Anggaran Kementerian Keuangan, Askolani, mengungkapkan, pemerintah sebelumnya mengalokasikan subsidi gas Rp 30 triliun pada 2013.
Namun, tahun ini, subsidi bakal jebol Rp 10 triliun, bila merujuk pada hasil audit realisasi anggaran oleh BPK. "Itu karena impor elpiji terdampak kurs rupiah," ungkapnya. Dia mengakui, kenaikan konsumsi elpiji juga menjadi salah satu penyebab jebolnya anggaran tersebut.
Potensi gas domestik
Melihat strategisnya gas bagi kebutuhan masyarakat, pengamat energi, Kurtubi, mengatakan, potensi gas Indonesia sangat besar. Bisa mencapai ratusan triliun kaki kubik (TCF).
"Jumlah cadangan terbukti itu ada 150 TCF dan yang belum ditemukan itu ada sekitar 350 TCF. Kemudian, ada shale gas yang potensinya sebesar 450 TCF," kata Kurtubi ketika dihubungi VIVAnews.
Dia menjelaskan, Indonesia adalah negara yang potensi gasnya besar, tapi terlihat seakan-akan kekurangan gas. Kondisi ini disebabkan oleh salahnya pengelolaan gas oleh pemerintah.
Menurut dia, penerapan UU Migas No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi menghambat lifting minyak dan gas.
"Gas kita justru dijual murah ke China. Ini membuat rugi Rp 30 triliun per tahun,” tuturnya.
Kondisi ini dinilai merugikan Indonesia. Sebab, Kurtubi melihat ada beberapa sektor yang seharusnya mendapatkan pasokan gas dalam negeri. "Coba lihat ada pembangkit listrik yang kekurangan gas. Bahan bakar gas kita juga kurang," kata dia.
Selain itu, Kurtubi mengatakan, harga gas alam cair tidak ditentukan oleh harga dunia, tapi ditentukan oleh kedua perusahaan migas yang melakukan kontrak pembelian gas.
Lalu, bagaimana dengan elpiji? Dia menilai, produksi elpiji yang dihasilkan Indonesia lebih kecil dibanding kebutuhan nasional. "Kebutuhan elpiji 6 juta metrik ton per tahun, sedangkan produksinya hanya 2,5 juta metrik ton. Ini yang menyebabkan Indonesia mengimpor elpiji," kata dia.(np)
Nyaris Mencekik Usaha Rohali
Harga naik. Pelanggan hanya melirik lauk.
Demi mendengar pengumuman itu, Rohali terkejut alang kepalang. Hari baru 2014 itu, Ibu lulusan SMA ini mematut mata ke layar televisi. Tabung gas elpiji 12 kg dibanderol Rp 120 ribu. Astaga! Harga itu terlampau melambung di atas pendapatan usaha Wartegnya di Jakarta Pusat itu. Jika dihitung-hitung, dagangan yang sudah lama dirintis itu bisa habis nafas.
Kalkulator dagangnya langsung menyala. Harga semula sekitar Rp 80 ribu. Naik jadi Rp 120 ribu. Selisihnya Rp 60 ribu. “Ini mah bukan naik lagi tapi ganti harga. Kalau naik mah, seribu dua ribu,” keluhnya kepada VIVAnews.com.
Dicekik harga setinggi itu dia hanya bisa pasrah. Suara orang seperti Rohali memang kerap kali tenggelam dalam perkara seperti ini. Terbenam di keriuhan nyanyian para politisi yang sahut menyahut di media massa.
Dan meski ngeri dengan harga baru itu, Rohali mengaku tetap membeli tabung gas. Kalau tidak, lanjutnya, “Bagaimana kami memasak.” Tanggal 3 Januari 2014, sebelum persediaan di warung itu tandas, Rohali membeli si biru itu. Dan benar saja. Harga baru sudah berlaku.
Harga setinggi itu diputuskan Pertamina tanggal 1 Januari 2014. Alasannya, dengan harga yang lama perusahaan negara itu rugi triliunan. Jumlah kerugian super raksasa itu ditemukan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Badan itu lalu menyarankan harga harus dikerek. Diprotes keras sejumlah kalangan, termasuk si Rohali tadi itu. “ Mau masak pakai apa? Pakai kayu? Saya ngak punya pohon,” protesnya sembari tertawa getir.
Banderol harga baru itu memang bisa membuat Wartegnya bernafas “Senin Kemis”. Mari melihat hitung-hitungan keuangan versi Rohali ini. Di Warung itu, dia menyalakan empat tabung. Semuanya 12 kg. Akan habis dalam tiga empat hari. Dengan harga baru itu, warung itu akan ketimpuk pengeluaran baru 60x4=Rp 240 ribu selama empat hari. Hitung saja berapa tambahan pengeluaran sebulan.
Dengan tambahan pos pengeluaran sebesar itu, katanya, keuntungan yang mestinya bisa ditabung, malah habis-habisan untuk membeli gas. Lalu apa gunanya berjualan. Repot memang.
Kian repotlah Rohali sebab gara-gara kenaikan elpiji itu harga belanjaan di pasar juga melonjak. Padahal Rohali harus saban hari ke pasar. Membeli beras, lauk pauk, sayur dan buah pisang. Dipukul dari dua arah seperti itu, mau tak mau dia mendongkrak harga makanan. Bagi beban dengan pelanggan.
Celakanya para pelanggan itu bukan kelas atas. Kantong mereka pas-pasan. Lantaran harga naik, banyak yang justru menekan selera. “Yang biasanya beli nasi pakai ayam, ganti jadi pakai telur. Ada yang beli nasi pakai ikan, ganti jadi pakai tempe,” kisah Rohali. Jadilah banyak lauk cuma dilirik.
Untung saja harga yang mencekik itu diturunkan. Pada Senin, 6 Januari 2014, Pertamina mengumumkan harga turun menjadi Rp 89 ribu. Berlaku 7 Januari pukul 00.00. Banyak orang setuju dengan harga baru itu. Juga Rohali. Hitung-hitungan keuangannya masih masuk akal.
Rohali sempat berencana berpindah ke elpiji melon 3 kg. Tapi niat itu diurungkan lantaran faktor keselamatan. “Takut lihat berita di televisi, tabungnya meledak. Pokoknya elpiji 12 kg tetap aman buat pedagang,"katanya.
Rohali berharap agar pemerintah peka dengan nasib usaha kecil seperti miliknya itu. Dia berharap agar disesuaikan untuk pedagang seperti dia. Dia mengaku punya enam karyawan. Sewa tempat mahal. “Biaya keamanan Rp 610.000 per bulan. Biaya listrik Rp 800.000 per bulan," katanya.
Harga yang sempat melonjak itu memang mengejutkan banyak orang. Bukan hanya pedagang seperti Rohali, tapi pengusaha seperti Ning Sudjito. Presiden Asosiasi Perusahaan Jasaboga Indonesia itu mengaku kaget dengan kenaikan elpiji 12 kg itu. Apalagi berlaku mendadak. Sonder sosialisasi kepada masyarakat.
Padahal, katanya, sebagai pengusaha catering sudah menerima banyak sekali pukulan. Dipukul harga cabai yang naik. Harga daging. Tahu dan tempe. “Yang paling parah adalah kenaikan harga cabai yang sudah hampir seperti harga emas," keluhnya.
Padahal, kata Sudjito, 95 persen anggota Asosiasi Perusahaan Jasaboga Indonesia adalah Usaha Mikro Kecil dan Menengah. Para pedagang itu, lanjutnya, mengaku kian keteteran jika harga elpiji naik menjadi Rp 120 ribu. “Mereka yang punya rekanan dari kantor pemerintah, banyak yang sudah mematok harga dengan gas harga normal untuk kontrak-kontrak selama 2014. Kontrak dibuat tahun 2013," ujarnya.
Sudah begitu, susah pula pindah ke gas 3 kg. Sebab instalasi yang terpasang memang dipersiapkan untuk elpiji 12 kg. "Lagipula, jika berubah ke gas 3 kg, tidak akan membuat pekerjaan menjadi lebih efektif karena sedikit-sedikit kehabisan gas," tuturnya.
Meskipun harga elpiji 12 kg sudah direvisi oleh pemerintah, Sudjito menegaskan bahwa mereka tetap menaikkan harga makanan rata-rata 15 persen hingga 25 persen.
0 komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.