Gajah Kalimantan sedang menyeberangi sungai di Kabupaten
Nunukan, Kalimantan Timur. Foto: WWF Kaltim
Jakarta | Populasi gajah kerdil Kalimantan makin terancam. Habitat gajah berukuran kerdil yang terletak di Kecamatan Tulin Onsoi, Kabupaten Nunukan, bakal dikonversi menjadi hamparan tanaman karet, jabon, dan sengon. Padahal habitat gajah berada dalam kawasan Jantung Borneo (Heart of Borneo).
Konversi lahan akan dilakukan oleh PT. Borneo Utara Lestari (PT. BUL) dan PT. Intracawood Manufacturing (PT. IWM). Dua perusahaan hutan tanaman industri itu saat ini telah mengantongi izin prinsip dan sedang melakukan anasilis mengenai dampak lingkungan (AMDAL) untuk proses izin usaha hutan tanaman industri.
Agus Suyitno, Staf WWF-Indonesia Program Kalimantan Timur untuk Mitigasi Konflik Gajah-Manusia, mengatakan, penerbitan izin hutan tanaman industri di areal habitat gajah akan berdampak negatif bagi masyarakat setempat. Jika kawasan tersebut dibuka, gajah liar akan kekurangan pakan alami.
"Akibatnya, gajah akan mencari makan di permukiman masyarakat sehingga memicu terjadinya konflik," kata Agus dalam keterangan tertulisnya, Jumat, 1 Maret 2013. Menurutnya, pembangunan hutan tanaman industri oleh PT. BUL dan PT. IWM akan memperparah konflik gajah dan manusia yang sudah terjadi sejak 2005.
Kekhawatiran senada juga disampaikan Camat Tulin Onsoi, Santifil Oslo. Menurut Santifil, AMDAL perusahaan tidak sesuai dengan fakta lapangan. Sebab, kawasan calon hutan tanaman industri berada pada habitat gajah kerdil, meski terletak di Kawasan Budidaya Kehutanan. "Areal tersebut jangan dibuka, risikonya besar dan biayanya tinggi," katanya.
Analisis yang dilakukan WWF-Indonesia menunjukkan sekitar 66 persen kawasan yang diusulkan untuk dikonversi oleh PT. BUL dan seluruh kawasan yang diusulkan PT. IWM merupakan habitat gajah kerdil. Atas dasar itu, konversi habitat satwa liar untuk pembangunan hutan tanaman industri semestinya tidak dilakukan karena dapat mengganggu populasi gajah kerdil. Apalagi, kata Agus, sebaran gajah kerdil hanya sampai di Kecamatan Tulin Onsoi.
"Semestinya dihentikan operasinya atau dibatalkan izinnya," Agus menegaskan. Konversi habitat juga bertentangan dengan Permenhut No.P44/Menhut-II/2007 tentang Strategi dan Rencana Aksi Konservasi untuk Gajah Sumatera dan Gajah Kalimantan.
IUCN mengelompokkan gajah kerdil Kalimantan ke dalam kategori genting kritis. Hasil penelitian WWF-Indonesia dan BKSDA Kalimantan Timur pada 2007-2012 memperkirakan populasi gajah kerdil hanya berada di kisaran 20-80 ekor.
Gajah Kalimantan (Elephas maximus borneensis) dijuluki gajah kerdil karena ukuran tubuhnya relatif paling kecil di antara subspesies gajah lainnya di dunia. Masyarakat Dayak Agabag di Tulin Onsoi menyebut gajah ini dengan sebutan "Nenek". Mereka menganggap mamalia berbelalai ini satwa sakral yang tidak boleh diganggu atau dimusuhi.
Ilay, wakil ketua adat besar Sungai Tulid--salah satu kawasan yang menjadi wilayah jelajah gajah kerdil--menolak tegas konversi lahan menjadi hutan tanaman industri. Ia mengatakan di wilayah tersebut terdapat hutan adat. "Jika hutan kami dibuka lagi, "Nenek" akan marah dan pasti sering datang ke kampung dan memakan tanaman kami," kata dia.
Risiko konflik gajah dan manusia terus diupayakan di daerah itu. BKSDA Kalimantan Timur, Pemerintah Kabupaten Nunukan, dan WWF-Indonesia membentuk satuan tugas mitigasi konflik gajah yang beranggotakan masyarakat dari 11 desa di Kecamatan Tulin Onsoi. Satuan tugas bertugas mencegah dan menanggulangi konflik gajah dengan manusia. Upaya ini mulai manampakkan hasil karena intensitas kunjungan gajah ke permukiman masyarakat kini semakin menurun.
Konversi lahan akan dilakukan oleh PT. Borneo Utara Lestari (PT. BUL) dan PT. Intracawood Manufacturing (PT. IWM). Dua perusahaan hutan tanaman industri itu saat ini telah mengantongi izin prinsip dan sedang melakukan anasilis mengenai dampak lingkungan (AMDAL) untuk proses izin usaha hutan tanaman industri.
Agus Suyitno, Staf WWF-Indonesia Program Kalimantan Timur untuk Mitigasi Konflik Gajah-Manusia, mengatakan, penerbitan izin hutan tanaman industri di areal habitat gajah akan berdampak negatif bagi masyarakat setempat. Jika kawasan tersebut dibuka, gajah liar akan kekurangan pakan alami.
"Akibatnya, gajah akan mencari makan di permukiman masyarakat sehingga memicu terjadinya konflik," kata Agus dalam keterangan tertulisnya, Jumat, 1 Maret 2013. Menurutnya, pembangunan hutan tanaman industri oleh PT. BUL dan PT. IWM akan memperparah konflik gajah dan manusia yang sudah terjadi sejak 2005.
Kekhawatiran senada juga disampaikan Camat Tulin Onsoi, Santifil Oslo. Menurut Santifil, AMDAL perusahaan tidak sesuai dengan fakta lapangan. Sebab, kawasan calon hutan tanaman industri berada pada habitat gajah kerdil, meski terletak di Kawasan Budidaya Kehutanan. "Areal tersebut jangan dibuka, risikonya besar dan biayanya tinggi," katanya.
Analisis yang dilakukan WWF-Indonesia menunjukkan sekitar 66 persen kawasan yang diusulkan untuk dikonversi oleh PT. BUL dan seluruh kawasan yang diusulkan PT. IWM merupakan habitat gajah kerdil. Atas dasar itu, konversi habitat satwa liar untuk pembangunan hutan tanaman industri semestinya tidak dilakukan karena dapat mengganggu populasi gajah kerdil. Apalagi, kata Agus, sebaran gajah kerdil hanya sampai di Kecamatan Tulin Onsoi.
"Semestinya dihentikan operasinya atau dibatalkan izinnya," Agus menegaskan. Konversi habitat juga bertentangan dengan Permenhut No.P44/Menhut-II/2007 tentang Strategi dan Rencana Aksi Konservasi untuk Gajah Sumatera dan Gajah Kalimantan.
IUCN mengelompokkan gajah kerdil Kalimantan ke dalam kategori genting kritis. Hasil penelitian WWF-Indonesia dan BKSDA Kalimantan Timur pada 2007-2012 memperkirakan populasi gajah kerdil hanya berada di kisaran 20-80 ekor.
Gajah Kalimantan (Elephas maximus borneensis) dijuluki gajah kerdil karena ukuran tubuhnya relatif paling kecil di antara subspesies gajah lainnya di dunia. Masyarakat Dayak Agabag di Tulin Onsoi menyebut gajah ini dengan sebutan "Nenek". Mereka menganggap mamalia berbelalai ini satwa sakral yang tidak boleh diganggu atau dimusuhi.
Ilay, wakil ketua adat besar Sungai Tulid--salah satu kawasan yang menjadi wilayah jelajah gajah kerdil--menolak tegas konversi lahan menjadi hutan tanaman industri. Ia mengatakan di wilayah tersebut terdapat hutan adat. "Jika hutan kami dibuka lagi, "Nenek" akan marah dan pasti sering datang ke kampung dan memakan tanaman kami," kata dia.
Risiko konflik gajah dan manusia terus diupayakan di daerah itu. BKSDA Kalimantan Timur, Pemerintah Kabupaten Nunukan, dan WWF-Indonesia membentuk satuan tugas mitigasi konflik gajah yang beranggotakan masyarakat dari 11 desa di Kecamatan Tulin Onsoi. Satuan tugas bertugas mencegah dan menanggulangi konflik gajah dengan manusia. Upaya ini mulai manampakkan hasil karena intensitas kunjungan gajah ke permukiman masyarakat kini semakin menurun.
● Tempo
0 komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.