Kawasan Glodok tempo dulu. (rasajakarta.wordpress.com)
Setiap jalan dan daerah di Kota Jakarta, ternyata menyimpan kisah, cerita, dan sejarah yang berkaitan dengan asal usul nama jalan dan daerah tersebut. Ada daerah Glodok, Senayan, Tanah Abang, dan nama-nama wilayah lainnya yang akrab di telinga warga ibu kota.
Glodok yang berlokasi di Jakarta Barat misalnya, berasal dari kata gerojok yang merupakan sebutan dari bunyi air yang jatuh dari pancuran air. Dahulu, di tempat itu ada semacam waduk penampungan air Sungai Ciliwung. Namun, orang Tionghoa dan keturunannya sulit menyebut kata gerojok. Mereka sering menyebutnya glodok hingga kawasan tersebut dikenal dengan sebutan glodok.
Bagaimana dengan Senayan, Jakarta Pusat? Dahulu, daerah Senayan adalah milik seseorang yang bernama Wangsanayan yang berasal dari Bali. Tanah tersebut disebut warga dengan sebutan Wangsanayan yang berarti tanah tempat tinggal atau tanah milik Wangsanayan. Lambat laun, banyak orang menyingkat nama Wangsanayan menjadi senayan.
Lalu, ada daerah Tanah Abang yang juga berada di Jakarta Pusat. Konon, Tanah Abang diberi nama oleh orang-orang Mataram yang membuat pertahanan di daerah tersebut ketika menyerbu Kota Batavia Tahun 1628. Pasukan tentara Mataram tidak hanya datang melalui laut Jawa, melainkan juga melalui darat dari arah Selatan. Ada kemungkinan pasukan tentara Mataram itulah yang memberi nama Tanah Abang, karena tanahnya berwarna merah, atau abang (menurut bahasa Jawa).
Daerah Kwitang, Jakarta Pusat, juga punya asal usulnya. Dahulu, sebagian tanah di wilayah tersebut dikuasai dan dimiliki oleh tuan tanah yang sangat kaya raya sekali bernama Kwik Tang Kiam. Orang Betawi zaman dulu menyebut daerah itu sebagai kampung si Kwitang dan akhirnya lambat laun tempat tersebut dinamai Kwitang.
Lain lagi dengan Menteng. Daerah yang terkenal dengan perumahan mewah di Jakarta Pusat tersebut ternyata dahulu kala merupakan hutan yang banyak pohon buah menteng. Sehingga, orang banyak yang menyebut wilayah tersebut dengan nama Kampung Menteng. Setelah tanah itu dibeli oleh Pemerintah Belanda pada Tahun 1912 sebagai lokasi perumahan pegawai Pemerintah Hindia Belanda, kemudian daerah itu disebut Menteng.
Karet Tengsin juga punya sejarahnya. Nama daerah yang kini termasuk kawasan segitiga emas Kuningan ini berasal dari nama orang China yang kaya raya dan baik hati. Orang itu bernama Tan Teng Sien. Karena baik hati dan selalu memberi bantuan kepada orang-orang sekitar kampung, maka Tan Teng Sien cepat dikenal oleh masyarakat sekitar dan selalu menyebut daerah itu dengan sebutan daerah Teng Sien. Karena pada waktu itu banyak pohon karet, maka daerah itu dikenal dengan nama Karet Tengsin.
Kalau Kebayoran berasal dari kata kebayuran, yang artinya tempat penimbunan kayu bayur. Kayu bayur sangat baik untuk dijadikan kayu bangunan karena kekuatanya, serta tahan terhadap rayap. Akhirnya, kebayuran kerap kali disebut orang dengan sebutan kebayoran yang kemudian jadi nama salah satu kawasan di Jakarta Selatan.
Sementara, Lebak Bulus terkenal dengan stadion dan terminalnya diambil dari kata “lebak” yang artinya lembah dan “bulus” yang berarti kura-kura. Jadi lebak bulus dapat disamakan dengan lembah kura-kura. Kawasan ini memang kontur tanahnya tidak rata, seperti lembah di Sungai Grogol dan Sungai Pesanggrahan. Dua sungai yang mengalir di daerah tersebut memang terdapat banyak sekali kura-kura alias bulus.
Daerah Kebagusan, yang menjadi tempat hunian mantan Presiden Megawati di Jakarta Selatan berasal dari nama seorang gadis jelita, Tubagus Letak Lenang. Konon, kecantikan gadis keturunan kesultanan Banten ini membuat banyak pemuda ingin meminangnya. Agar tidak mengecewakan hati para pemuda, ia akhirnya memilih bunuh diri. Sampai sekarang makam itu masih ada dan dikenal dengan nama Ibu Bagus.
Sedangkan, daerah Ragunan berasal dari Wiraguna, yaitu gelar yang disandang tuan tanah pertama di kawasan tersebut, Hendrik Lucaasz Cardeel, yang diperoleh dari Sultan Banten Abunasar Abdul Qahar, putra Sultan Ageng Tirtayasa. Lambat laun, dikenal dengan sebutan Ragunan.
Cawang juga punya asal usulnya. Dahulu, ketika belanda berkuasa, ada seorang letnan Melayu yang mengabdi pada kompeni, bernama Ende Awang. Ende Awang bersama anak buahnya bermukim di kawasan yang tak jauh dari Jatinegara. Lama kelamaan sebutan Ende Awang berubah menjadi Cawang.Kondisi Pasar Senen pada Tahun 1960-an. (istimewa)
Ada sejumlah nama jalan dan daerah di Jakarta yang juga menarik untuk diketahui asal-usulnya, selain dari 12 jalan dan daerah yang telah dijelaskan sebelumnya pada bagian pertama. Antara lain, Pondok Gede, Cilandak, Buncit, dan beberapa daerah lainnya.
Pondok Gede yang berlokasi di Jakarta Timur, pada Tahun 1775, merupakan lahan pertanian dan peternakan yang disebut dengan Onderneming. Di sana terdapat sebuah rumah yang sangat besar milik tuan tanah yang bernama Johannes Hoojiman.
Karena merupakan satu-satunya bangunan besar yang ada di lokasi tersebut, bangunan itu sangat dikenal dan masyarakat pribumi pun menjulukinya “Pondok Gede”.
Kawasan Cilandak, Jakarta Selatan, juga punya cerita. Konon, di sana pernah ditemukan seekor landak raksasa yang langsung tersebar di telinga masyarakat. Lambat-laun daerah tersebut pun dikenal dengan nama Cilandak.
Bagaimana dengan Buncit? Ternyata, tak menyangka jika asal-usul daerah buncit itu bermula dari adanya pedagang kelontong China yang berlokasi di Jalan Buncit Raya berperut gendut (Buncit) hingga dikenal oleh seluruh masyarakat sekitar.
Sejarah daerah Batu Ampar dan Balekambang juga menarik untuk diketahui. Pada zaman dahulu, ada sepasang suami istri, namanya Pangeran Geger dan Nyai Polong yang memiliki beberapa orang anak. Salah satu anaknya, perempuan, diberi nama Siti Maemunah, terkenal sangat cantik. Pangeran Astawana, anak Pangeran Tenggara atau Tonggara asal Makassar, Sulawesi Selatan (Sulsel) pun tertarik melamarnya.
Namun, Siti Maemunah meminta dibangunkan sebuah rumah dan tempat peristirahatan di atas empang, dekat Sungai Ciliwung yang harus selesai dalam satu malam.
Permintaan itu disanggupi dan menurut legenda, esok harinya, sudah tersedia rumah dan sebuah bale (balai) di sebuah empang di pinggir Sungai Ciliwung. Untuk menghubungkan rumah itu dengan kediaman keluarga Pangeran Tenggara, dibuat jalan yang diampari (dilapisi) Batu.
Demikian menurut cerita, tempat yang dilalui jalan yang diampari batu itu selanjutnya disebut batu ampar, dan balai peristirahatan yang seolah-olah mengambang di atas air itu disebut Balekambang.
Kawasan Bangka juga punya cerita. Dahulu, di salah satu daerah di Jakarta Selatan tersebut, konon banyak ditemukan mayat (bangke/bangkai) orang yang dibuang di Sungai Krukut. Namun, orang lebih mudah menyebutnya dengan Bangka.
Kemudian, Kampung Ambon. Kawasan yang berlokasi di Rawamangun, Jakarta Timur. Nama Kampung Ambon sudah ada sejak Tahun 1619. Pada waktu itu JP Coen sebagai Gubernur Jenderal VOC menghadapi persaingan dagang dengan Inggris.
Untuk memperkuat angkatan perang VOC, Coen pergi ke Ambon, lalu merekrut masyarakat Ambon untuk dijadikan tentara. Pasukan dari Ambon yang dibawa Coen itu kemudian diberikan pemukiman di daerah Rawamangun, Jakarta Timur. Sejak itulah pemukiman tersebut dinamakan Kampung Ambon.
Bagaimana dengan Sunda Kelapa? Sunda Kelapa merupakan sebutan sebuah pelabuhan di teluk Jakarta. Nama kelapa diambil dari berita yang terdapat dalam tulisan perjalanan Tome Pires pada Tahun 1513 yang berjudul Suma Oriental. Dalam buku tersebut disebutkan bahwa nama pelabuhan itu adalah Kelapa. Karena pada waktu itu wilayah ini berada di bawah kekuasaan kerajaan Sunda, kemudian pelabuhan ini disebut Sunda Kelapa.
Pasar Senen pertama kali dibangun oleh Justinus Vinck. Orang-orang Belanda menyebut pasar ini dengan sebutan Vinckpasser (Pasar Vinck). Tetapi, karena hari pertama dibukanya Vinckpasser hanya pada hari Senin, maka pasar itu disebut juga Pasar Senen (disesuaikan dengan kebiasaan orang-orang yang lebih sering menyebut Senen ketimbang Senin).
Namun seiring kemajuan dan pasar Senen semakin ramai, maka sejak Tahun l766, pasar ini pun buka pada hari-hari lain.
Grogol berasal dari Bahasa Sunda (garogol) yang artinya perangkap terdiri dari tombak-tombak yang digunakan untuk menangkap hewan liar yang banyak terdapat di hutan. Nama garogol dipasang sebagai nama sebuah desa di Limo, Depok. Dahulu, kawasan ini memang masih hutan liwang-liwung yang kata pak dalang “jalma mara-jalma mati” alias menyeramkan.
Sudah barang tentu di kawasan ini banyak terdapat hewan liar dan buas sehingga penduduk setempat memburunya dengan memasang perangkap (garogol). Lambat laun, orang-orang pun menyebutnya grogol. (Referensi: Asal-Usul Nama Tempat di Jakarta, Dinas Pariwisata dan Permuseuman Pemprov DKI Jakarta, 2004)
Sumber: diolah dari berbagai sumber(lis)
★ Sindo
TNI AL Siapkan 80 Unit Maung MV3 Pindad Jadi Kendaraan Dinas
-
Kepala Staf Angkatan Laut (KSAL) Laksamana TNI Muhammad Ali mengungkapkan
bahwa pihaknya menyiapkan 80 unit mobil Maung buatan PT Pindad versi
terakhir, y...
13 jam yang lalu
0 komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.