Under Licensed Country dan Karoseri Teknologi AsingJosaphat Tetuko Sri Sumantyo [kiri]
Selama
menjadi peneliti BPPT dan TNI-AD di Indonesia pada tahun 1989-1999 dan
peneliti di Chiba University & ISAS JAXA 2002-sekarang, setiap tahun
lebih dari enam kali saya berkunjung ke instansi penelitian dan
pendidikan Indonesia, selain untuk mengunjungi mantan mahasiswa saya
yang telah banyak kembali ke instansi pemerintah dan swasta di
Indonesia. Biasanya juga untuk melakukan ground survey penelitian
saya mengenai perubahan lingkungan Indonesia dan pengamatan menggunakan
satelit dan peta-peta kuno saya, serta mengumpulkan naskah-naskah lama
Indonesia. Setiap terbang dalam negeri Indonesia, saya selalu atur jauh
hari untuk mendapatkan posisi kursi dalam pesawat agar mempermudahkan
saya melakukan survey perubahaan lingkungan dari dalam pesawat di setiap
jalur penerbangan yang sering saya lewati, misalnya jalur pantura
Jakarta – Solo, Yogyakarta, Surabaya, Bali, Makassar dll.
Syukur hingga beberapa tahun yang lalu saya selalu menggunakan dana
sendiri untuk kunjungan ke Indonesia, walau akhir-akhir ini mulai banyak
instansi yang mau membantu untuk akomodasi agar mempermudah saya
berkunjung ke Indonesia, terimakasih atas bantuannya ! Saya juga sering
mengajak peneliti dan professor Jepang, Amerika, Taiwan, Korea, Malaysia
dll yang saya danai mereka agar bisa ikut berkontribusi untuk memajukan
pendidikan dan penelitian Indonesia. Walau sering saya menemukan
pengalaman lucu, dimana rekan-rekan Indonesia mengira saya yang dibayari
oleh orang asing, sehingga mereka terpusat menjamu orang asing dan
melupakan saya, maklum juga itu adalah salah satu etika buruk orang
Indonesia, bahkan orang terdidikpun selama ini. Saya perhatikan banyak
rekan Indonesia secara psikologi keilmuan merasa di bawah orang asing,
sehingga memberikan penghormatan yang berlebihan dan sebaliknya tidak
dapat menghargai kemampuan sendiri dan orang Indonesia lainnya.
Pada saat berada di instansi penelitian, pertahanan dan keamanan dll
saya perhatikan adanya kebanggaan akan produk asing. Sehingga pada saat
saya tanyakan apa produk atau usaha Anda untuk meningkatkan mutu,
efisiensi, keakuratan pekerjaan Anda ? Semua hampir tidak bisa menjawab.
Bila kita tidak bisa menjawab, lalu selama ini apa yang bisa kita
kontribusikan kepada masyarakat dari hasil pekerjaan kita sehari-hari ?
Sebenarnya kita, orang Indonesia berangkat setiap pagi dan pulang sore
untuk bekerja bukan hanya untuk meningkatkan pendapatan yang bisa
mencukupi kehidupan sehari-hari diri sendiri dan keluarga, tetapi kita
bekerja keras untuk masyarakat, negara dan dunia. Pada saat kita bekerja
agar kita dapat memberikan yang terbaik untuk dunia, maka kita perlu
perlengkapan yang baik, bermutu, berefisien tinggi, harga murah, akurat
hingga ‘cantik’ atau cocok dan mudah dipakai sehari-hari, dari hanya
pensil, ballpoint hingga pesawat tempur.
Alat-alat tersebut adalah barang-barang sehari-hari yang ada di sekitar
kita hingga perlengkapan tercanggih untuk pertahanan dan keamanan
negara. Kita masih sering temukan perlengkapan kecil hingga besar yang
berlabelkan made in (buatan) negara asing yang mutunya tidaklah sebagus
yang kita harapkan. Seakan negara kita ini adalah laboratorium atau
kelinci percobaan bagi negara-negara asing untuk menguji produk-produk
mereka. Negara asing sangat beruntung mendapat income besar dari hasil
penjualan produk teknologi rendah (low technology) mereka, berupa
barang-barang bermutu rendah dan terkadang membahayakan kita. Hasil
keuntungan tersebut menjadi pemasukan mereka untuk mengembangkan
teknologi yang lebih bagus, dan kita menjadi pasar mereka lagi untuk
mendapatkan produk yang lebih mahal. Hasil pemasukan mereka dari
penjualan produk di Indonesia dapat menghidupi peneliti-peneliti asing,
pada saat peneliti-peneliti kita kekurangan dana dan pendapatan,
sehingga sudah menjadi rahasia umum mereka banyak mempunyai pekerjaan
kedua ketiga dsb berupa mengajar di beberapa universitas, wiraswasta,
jual-beli saham dll. Bila kita beri angket kepada seluruh peneliti kita
akan pekerjaan kedua, ketiga dst (side business), bisa kita
petakan kondisi sebenarnya kwalitas peneliti kita dan proyeksikan
terhadap hasil penelitian selama ini, berikut kontribusinya pada
kemajuan negara dan dunia. Walau tidak disalahkan seorang peneliti juga
mengajar di universitas lain untuk mendapatkan tambahan pendapatan,
tetapi bila seorang peneliti juga merangkap menjadi dosen dibeberapa
Universitas, sebenarnya dia telah mengambil lapangan pekerjaan untuk
orang lain pula, sehingga lapangan pekerjaan berkurang. Bahkan banyak
peneliti lembaga penelitian yang mempunyai jabatan sebagai ketua jurusan
atau dekan dll, sehingga pekerjaan yang seharusnya sebagai peneliti
tertinggalkan untuk pekerjaan 'administrasi'. Akhirnya yang terkorbankan
adalah masyarakat dan negara, karena seharusnya mereka dipekerjakan
untuk meneliti, tetapi merangkap pekerjaan yang menjauhkan dari kegiatan
penelitian sendiri.
Profesi peneliti memerlukan konsentrasi tersendiri yang berlanjut untuk
dapat menghasilkan sesuatu yang bermanfaat bagi sang peneliti sendiri,
instansi, masyarakat dan dunia. Profesi peneliti di negara mana saja
hampir saya dalam artian berkorban waktu, dana, perasaan dll untuk
menghasilkan suatu produk dan pengetahuan yang cocok, bermanfaat,
efisien, murah dll sesuai manusia dan lingkungan negaranya, bahkan untuk
dunia. Masih banyaknya masyarakat yang silau dan terkagum-kagum akan
produk hasil teknologi dan ilmu pengetahuan negara asing, dapat
diartikan sebagai masih rendahnya hasil para peneliti dan dukungan serta
kepercayaan pemerintah dan masyarakat untuk membuat produk yang cocok
untuk kita sendiri.
Seringnya kunjungan ke Indonesia dalam puluhan tahun terakhir, saya
sering perhatikan di bungkusan produk-produk di pasar tradisional, super
market, toko swalayan, warung dll yang tertuliskan ‘under license
…’. Hampir separuh lebih produk yang dikonsumsi masyarakat kita tertera
kalimat ini. Sejak merdeka, sudah 69 tahun masihkan kita harus
tergantung pada negara lain untuk produk yang dikonsumsi oleh masyarakat
kita, terutama obat-obatan, makanan kaleng, bungkus kering, sepeda
motor, mobil, bahkan pesawat terbang. Walau ada perusahaan mobil,
pesawat, kapal dll di Indonesia, kalau kita cermati baik-baik, ternyata
mesin, sistem elektronik dll di dalamnya juga under license negara lain, walau saat launching
mereka menggembor-gemborkan sebagai produk anak bangsa. Sepertinya ada
kesalahan persepsi terhadap 'produk anak bangsa', karena kita sering
melihat dari tampilan produk saja, tanpa teliti melihat jeroan produk
tsb. Kita menginginkan negara mandiri teknologi dan ilmu pengetahuan,
bukan negara pembungkus teknologi asing dengan hanya merakit dan
membungkus dengan bodinya saja, kemudian mempromosikan sebagai ‘produk
anak bangsa’. Kita bukan 'karoseri teknologi asing'. Jangan salah
artikan capaian teknologi bisa dicapai hanya dengan merakit dan
membangun bodi mobil, pesawat, kapal dll, dimana didalamnya ternyata
komponen produk asing.Makelar TeknologiJosaphat
Laboratory Experimental Large Scale Unmanned Aerial Vehicle (JX-1) for
Microwave Sensors experiments. [Josaphat Tetuko Sri Sumantyo's Photos]
Mari
kita sadari selama 69 tahun sejak merdeka, bahwa kita sudah membangun
sistem 'Makelar Teknologi' raksasa yang mengusai hampir seluruh tatanan
departemen dalam pemerintah pusat hingga daerah, serta swasta.
Perpanjangan tangan pemerintah hingga swasta asing banyak sekali di
Indonesia dan mereka seolah ikut membangun negeri ini. Peneliti
Indonesia mendapat posisi dilemma, dimana bila mereka membuat produk
baru menggunakan material dalam negeri dan berharga murah akan menjadi
pesaing bagi produk asing, sehingga agen-agen dalam pemerintah dan
swasta merasa tersaingi, sehingga produk-produk perundanganpun kurang
mendukung untuk kegiatan penelitian produk dalam negeri yang dapat
membangkitkan semangat para peneliti kita. Tarik ulur profit antara
mengembangkan dan memproduksi sendiri dengan hanya mendapatkan komisi
sebagai makelar teknologi asing, masih sangat kental di Indonesia. Saat
ini kita masih lebih menguntungkan menjadi makelar teknologi dengan
mendapatkan komisi dari penjualan produk asing. Sehingga harga barang
lebih mahal, karena kita harus menyisipkan komisi bagi banyak pihak,
yaitu makelar, orang dalam, perantara dll, bahkan marked up harga
merupakan kebiasaan tepatnya budaya bisnis Indonesia dalam pengadaan
barang. Sehingga pada saat kita membeli produk asing tersebut dengan
harga mahal dapat berarti kita membeli terlalu mahal 'kebodohan’ kita.
Hal lucu bila kita menanamkan modal (invest) terus untuk
mempertahankan kebodohan kita selama ini, khususnya sejak kemerdekaan.
Kalau kita perhatikan, komisi tersebut tidaklah terlalu besar
dibandingkan devisa yang mengalir ke luar negeri. Apakah kita cukup
bangga sebagai pemakai, perantara dan makelar teknologi atau produk
asing ?
Komisi sebagai perantara memang dapat menghidupi sebagian besar
agen-agen atau makelar teknologi di Indonesia. Tetapi mengalirnya devisa
karena kita membeli produk asing, kita dapat menghidupi lebih banyak
orang di luar negeri. Apakah tidak terpikir selama ini untuk membangun
basis-basis teknologi yang dapat mendukung produk-produk yang dibutuhkan
oleh orang Indonesia ? Jumlah penduduk 250 juta orang merupakan power
atau kekuatan sangat besar sekali yang dapat menggerakkan Indonesia dan
dunia. Bahkan kita bisa menguasai dunia ini hingga planet lain dengan
memanfaatkan material yang ada di Indonesia sebelum disedot habis ke
negara lain untuk membuat produk lain yang akhirnya dijual kembali ke
Indonesia dengan harga lebih mahal.
Kita membangun banyak universitas dan lembaga pendidikan selama ini,
kita mendidik ratusan juta anak-anak kita dengan memberikan berbagai
macam ilmu. Tetapi kalau kita kupas lebih dalam, isi ilmu pengetahuan
dan teknologi yang kita sampaikan kepada mereka, ternyata adalah hasil
pemikiran orang asing, baik ilmu eksakta, budaya hingga agama hampir
semua 'under licensed' negara asing. Banyak yang bangga setelah
menguasainya, bahkan menganggap ini semua yang terbaik untuk kita, tapi
kita telah melakukan kesalahan besar di sini dengan tidak memberikan
ruang pemikiran untuk pengembangan berdasarkan cara pikir dan alam
Indonesia ! Kajian ilmu sosialpun banyak kita dapatkan menggunakan
metoda pendekatan pemikiran orang asing. Walau cara pemikiran orang
asing semua tidaklah buruk, tetapi mengapa kita tidak memikirkan sendiri
dengan alur pikiran, budaya, etika, tata krama dll yang telah kita
miliki selama ini ? Teknologi dan ilmu pengetahuan yang paling cocok,
adalah teknologi dan ilmu pengetahuan yang lahir dari manusia dan alam
Indonesia. Mari kita lebih banyak berdiskusi dan berkreasi untuk
membangun teknologi dan ilmu pengetahuan Indonesia berdasarkan pemikiran
dan material yang bersumberkan SDA dan SDM Indonesia untuk melahirkan
teknologi dan ilmu pengetahuan yang cocok dan nyaman dipakai oleh orang
Indonesia. Niscaya suatu saat makelar teknologi kita selama ini dapat
membantu kita, tidak hanya menjajakan produk kita di dalam negeri,
tetapi bahkan ke luar negeri bersamaan memperkenalkan budaya, etika,
tata krama dan kepercayaan asli Indonesia. Semua akan happy atau
senang dapat meningkatkan pendapatan atau devisa negara, sehingga
kegiatan penelitian dan pendidikanpun dapat terus meningkat !Operator TeknologiMicrosatelit
yang dikembangkan oleh Josaphat Laboratory (JMRSL) dengan nama "GAIA-I"
atau "Tanah Air-I" yang akan diluncurkan pada tahun 2017 dengan tujuan
misi pengamatan lapisan Ionosfer dengan menggunakan GNSS-RO dan EDTP
sensor yang dikembangkan di Josaphat Laboratory. [Josaphat Tetuko Sri
Sumantyo's Photos]
Saya
pribadi, sejak kecil selalu berusaha berpikir, membuat hingga
mengoperasikannya sendiri segala sesuatu. Saat kecil tinggal di dalam
Pangkalan Udara TNI-AU yaitu Lanud Sulaiman – Bandung dan Lanud
Adisumarmo – Solo, dimana sering membuat mainan sendiri, baik mainan
ringan hingga membuat pistol dan bom sendiri. Radio, amplifier, radio
amateur, gerobak, terowongan, teropong kapal selam, pesawat
aeromodelling dll. Percobaan juga sering dilakukan sendiri atau bersama
adik (Frans) dan teman-teman anak kolong sekitar (Tutut dll). Kecelakaan
percobaan sering terjadi, termasuk jari telunjuk tangan kananpun hampir
putus karena terkena ledakan mesiu pistol di telapak tangan. Banyak hal
yang sering membuat repot Ibu dan Bapak saya, bahkan para tetangga,
sehingga sering disebut ‘anak aneh’ di dalam komplek dan kampung
sekitar.
Setelah menjadi peneliti BPPT, TNI-AD hingga Chiba University &
ISAS-JAXA, saya pribadi sering keluar masuk instansi pendidikan dan
penelitian dunia, termasuk Indonesia. Nilai kebanggaan peneliti di
masing-masing negarapun berbeda terhadap hasil pekerjaan dan produk
mereka. Bila berkunjung ke Indonesia, banyak kita temukan peneliti kita
yang kebingungan mendapatkan alat ukur ini itu. Sehingga saya sering
membantu mereka untuk mendapatkan dan meminjamkan alat ukur, material
penelitian, bantuan konsultasi dll. Kurangnya dukungan alat bantu
penelitian juga sangat menghambat proses penelitian sendiri. Sehingga
saat saya diangkat menjadi Associate Professor di Chiba University, maka
pertama kali yang saya bangun adalah perlengkapan penelitian microwave,
khususnya radar, pesawat tanpa awak (UAV) dan satelit sendiri. Syukur
saat ini sudah lengkap, bahkan terlengkap di Jepang, sehingga saya tidak
perlu pinjam ke instansi lain, sebaliknya banyak peneliti Jepang dan
asingpun sering pinjam ke laboratorium saya. Ini semua impian saya saat
di Indonesia, khususnya saat menjadi peneliti pada tahun 1989-1999,
sayang sekali saat ini malah didukung di luar negeri.
Saya kira banyak peneliti di Indonesia yang mempunyai perasaan dan
cita-cita seperti saya, tetapi perhatian dari masyarakat &
pemerintah kurang. Kita sadar masyarakat dan pemerintah juga mempunyai
pemikiran dan prioritas tersendiri untuk membangun negeri, tetapi kita
sudah 69 tahun merdeka, terlalu lama untuk pikun atau melupakan kondisi
peneliti kita. Bagaikan badan kita, peneliti adalah otak dalam tubuh
kita, bila otak tidak pernah diasah, maka kita akan menjadi pengemis
‘teknologi dan ilmu pengetahuan’ asing terus. Bila kita akumulasikan
dana yang mengalir keluar negeri untuk membayar produk-produk yang
seharusnya dapat dibuat di Indonesia sebagai hasil penelitian kita, maka
seharusnya kita sudah menjadi negara besar di dunia sejak puluhan tahun
yll. Jadi sudah saatnya memberikan kesempatan kepada peneliti Indonesia
untuk membangun pondasi kehidupan berbangsa dan bernegara dengan
teknologi dan ilmu pengetahuan yang lahir dari pemikiran dan usaha
manusia dan alam asli Indonesia.
Bila kita perhatikan nilai kebocoran uang negara lewat kejadian-kejadian
korupsi selama ini, kita sebenarnya dapat mengembangkan pusat
penelitian sangat besar dan disegani dunia, bila menggunakan dana yang
dapat mengalir ke para koruptor. Tetapi mengapa bisa terjadi uang negara
mengalir ke ‘makelar proyek’ dan ‘makelar administrasi’, pada saat para
peneliti kita gigit jari kekurangan dana untuk menghasilkan sesuatu dan
memberikan nilai tambah ke SDA dan SDM Indonesia ? Para peneliti bukan
bermaksud mengemis untuk mendapatkan fasilitas untuk membuat sesuatu
bagi negara dan dunia, tetapi ada banyak hal yang tidak dapat dilakukan
tanpa campur tangan dan bantuan pemerintah dan masyarakat. Kegiatan
penelitian bukanlah hal yang patut disayangkan atau buang-buang uang,
karena keberhasilan dan kegagalanpun pasti mempunyai banyak nilai
berharga. Bahkan banyak hasil dari kegagalan penelitian dapat melahirkan
banyak penemuan baru yang bermanfaat bagi masyarakat nantinya.
Pada saat berkunjung ke instansi penelitian, pendidikan hingga
pertahanan Indonesia. Saya sering temukan banyak peneliti hingga tentara
yang bangga mengoperasikan produk asing, seakan mereka menemukan
sesuatu yang ‘hilang’ dari negeri ini. Tapi mereka tidak sadar
sebenarnya mereka hanyalah ‘operator teknologi’ asing. Sehingga pada
saat saya tanyakan sistem kerja, olahan data dan control di dalamnya,
data mentah dll, mereka tidak tahu. Mereka hanya tahu cara menjalankan
dan outputnya saja. Bila terjadi sesuatu, mereka tidak bisa
memperbaiki sendiri. Mereka berusaha lewat makelar teknologi, tetapi
makelar teknologi juga tidak men-handling nya, karena mereka
hanya perantara dan mengambil komisi saja. Bila minta diperbaiki ke
negara produsen, maka biayanya mahal. Sehingga kita banyak dapatkan
alat-alat berteknologi tinggi yang mahal saat membelinya, tetapi saat
rusak, kita tidak bisa memperbaiki sendiri, dan akhirnya banyak
perangkat mahal yang tidak bisa dioperasikan di Indonesia. Bila kita
beri angket, milyaran bahkan puluhan triyulan rupiah terbuang karena
kita tidak bisa memperbaiki sendiri peralatan tsb dan dalam kondisi
mangkrak sekarang. Demikian juga banyak bangunan dan fasilitas yang
dibangun dengan bantuan asing dan sekarang tidak terawat karena tidak
ada dana untuk memelihara, yang tidak terpikirkan sebelumnya. Jangan
bangun kalau tidak bisa memelihara !
Bila kita perhatikan pula para lulusan akademi dan Universitas kita,
hampir setiap tahun jutaan pengangguran diproduksi. Kita berlomba-lomba
membangun sekolah dan universitas untuk mengejar keuntungan dari bisnis
pendidikan, tetapi tanpa mempertimbangkan outputnya. Departemen atau
program studipun tidak mempunyai tanggung jawab untuk mendapatkan
pekerjaan bagi para lulusannya. Kita didik dan luluskan mahasiswa,
kemudian kita biarkan mereka mencari sendiri pekerjaan, dan lembaga
pendidikan lepas tangan terhadap mantan anak didik mereka. Mereka hanya welcome
terhadap alumni yang berhasil untuk dimintai sumbangan ini itu.
Pertanyaan besar mengapa kita membangun sistem pendidikan yang tidak
bertanggung jawab terhadap nasib peserta didik ? Peserta didik dan
keluarga yang mendukung sistem pendidikan pasti mempunyai harapan besar
akan proses dan hasil pendidikan, termasuk tanggungjawab mendapatkan
pekerjaan bagi lulusannya.
Selama ini kita perhatikan banyak lulusan lembaga pendidikan baik bidang
ilmu alam hingga sosial yang akhirnya hanya mengoperasikan produk,
sistem dan peralatan asing, sehingga mereka hanya menjadi ‘operator
teknologi’ asing. Apakah ini cita-cita kita dan kita cukup bangga dan
cocok menggunakan teknologi-teknologi asing ? Sehingga bila ada produk
asing, kita sibuk mempromosikan dan memakai teknologi mereka ? Kita
cukup puas dengan menghasilkan alumni yang menjadi operator teknologi
asing, jual beli hingga management pemasaran produk asing ?
Bahkan para tentara kita sendiri banyak yang bangga dengan produk
persenjataan asing tanpa mengetahui isi ‘jeroan’nya. Sehingga kalang
kabut bila terjadi kerusakan, bahkan peralatan kita bisa mati sebelum
dioperasikan untuk perang. Semua adalah hasil dari penelitian asing yang
pasti produk yang kita beli dan peroleh sudah ‘modified’ specification and low technology.
Kita juga terkadang temukan perangkat penelitian titipan asing di
instansi penelitian kita, termasuk radar tanpa kita tahu bagaimana cara
membuat dan mengoperasikannya, karena sebagian dioperasikan secara remote
dari instansi asal di luar negeri. Sehingga data mentah langsung mereka
akses, dan para peneliti kita cukup puas dengan hasil tampilan akhir
saja, itupun sebagian dari proyek besar asing. Hal ini berbeda bila kita
yang pikirkan, buat dan operasikan sendiri, sehingga kita bisa
memfilter setiap data yang akan diberikan ke pihak asing. Informasi
cuaca, misalnya, kita sendiri yang harus buat perangkatnya, operasikan
dan olah data dari mentah hingga tampilannya yang cocok untuk masyarakat
dan instansi negara. Segala informasi di dalam negeri ini, harus kita
kumpulkan dan olah menggunakan perangkat yang kita buat dan operasikan
sendiri, setinggi apapun teknologinya, harus kita buat. Kita harus
membangun teknologi yang tertinggi di Indonesia yang dapat menjadi branded product di dunia.
Lembaga pendidikan kita selama ini seharusnya juga berfungsi sebagai
lembaga penelitian yang dapat mendukung instansi produksi atau industri,
baik negeri maupun swasta yang dapat menambah lapangan pekerjaan baru
yang terus berkesinambungan. Kita harus membangun lingkaran sirkulasi
positif antara lembaga pendidikan dan industry, dimana
lingkaran-lingkaran ini harus kita bangun dalam satu paket-paket
tersendiri. Sehingga syarat pembangunan lembaga pendidikan baru harus
diikuti dengan jaringan kerjasama dengan perusahaan atau instansi usaha
yang memungkinkan untuk menampung para lulusannya nanti. Lembaga
pendidikan demikian niscaya akan menjadi favorit bagi calon peserta
didik, dan industripun akan tenang dan merasa terjamin atas generasi
pegawai barunya yang dapat mendukung kegiatan industrinya. Sehingga kita
perlu ubah dari sistem pendidikan yang memproduksi ‘operator teknologi’
menjadi produsen ‘technology maker’ !
Silakan disharing kepada anak, saudara dan kolega Anda ! Terimakasih untuk ikut membangun negeri kita, Indonesia !
Mari kita bangun kepercayaan atas orang dan negeri sendiri, rumah kita bersama, Indonesia !
Salam hangat selalu,
Josaphat Tetuko Sri Sumantyo
www2.cr.chiba-u.jp/jmrsl/
★ Josaphat Tetuko Sri Sumantyo
TNI AL Siapkan 80 Unit Maung MV3 Pindad Jadi Kendaraan Dinas
-
Kepala Staf Angkatan Laut (KSAL) Laksamana TNI Muhammad Ali mengungkapkan
bahwa pihaknya menyiapkan 80 unit mobil Maung buatan PT Pindad versi
terakhir, y...
13 jam yang lalu
0 komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.