Ucapan anggota dewan juri pada kompetisi di Rusia pada 8-12 Juli 2013 itu agaknya beralasan, mengingat game online karya sembilan anggota "Tim Solite" dari Universitas Trunojoyo (Unijoyo) Madura, Jawa Timur itu sudah diunduh 30 ribu orang hanya dalam dua minggu. Apa tidak hebat?!.
Tidak hanya itu, decak kagum juga datang dari perusahaan software (piranti lunak) kelas dunia, Microsoft, yang menjadi penyelenggara kompetisi aplikasi berbasis Windows 8 yang tahun ini sudah terselenggara untuk ke-11 kalinya dan Indonesia mengikuti untuk yang ke-7 kalinya.
"Ya, kami mendapat tawaran kerja dari Microsoft AS, tapi kami ingin mendirikan company (perusahaan) game sendiri, kami tidak mau bekerja untuk orang lain, kami ingin menjadi putra-putri Indonesia," tutur koordinator Tim Solite Unijoyo, Asadullohil Ghalib Kubat, 18 September lalu.
Apalagi, ujar mahasiswa dari Bangkalan, Madura itu, Microsoft Corporation sendiri ingin menjadikan kompetisi berskala dunia itu untuk satu misi yakni menumbuhkan wiraswastawan baru di bidang teknologi informasi dan komunikasi (TIK) di dunia.
"Saya dan delapan orang teman dari Bangkalan, Surabaya, Gresik, dan Lamongan yang kebetulan satu angkatan sudah merancang perusahaan game di Kota Bangkalan setelah kami diwisuda pada September-Oktober tahun ini," tukasnya.
Bahkan, hadiah 10.000 dolar AS atau setara dengan Rp100 juta dari "Imagine Cup 2013" itu tidak akan dibagi-bagi untuk sembilan anggota Tim Solite, melainkan mereka sudah sepakat untuk menjadikan modal mengembangkan perusahaan yang sudah diimpikan sejak 2012.
"Saya sendiri suka main game sejak SMP, tapi saya akhirnya tertarik pada bidang program komputer sejak SMA hingga kuliah," tutur mahasiswa Jurusan Teknik Informatika dari Fakultas Teknik pada universitas yang selama ini tidak seberapa dikenal itu.
Namun, dirinya mulai tertarik untuk fokus pada "game" itu saat semester 5 di Jurusan Informatika Unijoyo. "Saya melihat game lebih menantang dan prospektif daripada programer, apalagi saya juga sudah menemukan delapan teman yang memiliki ketertarikan yang sama," ungkapnya.
Oleh karena itu, dirinya bersama delapan rekannya pun merancang "game" yang dijuluki "Save The Hamster". "Game itu akhirnya kami sertakan dalam kompetisi game tingkat nasional yang diselenggarakan Microsoft Indonesia dengan diikuti 400-an peserta," paparnya.
Tanpa dinyana, tim "Solite" Unijoyo itu mampu lolos ke babak final yang terbagi dalam tiga kategori yakni game, inovasi, dan entepreneurship. Seleksi itu dilaksanakan pada kurun Februari-April 2013.
"Akhirnya ada sembilan tim (tiga pemenang pada setiap dari tiga kategori) yang terpilih ke ajang dunia. Alhamdulillah, karya kami yang terpilih dari sembilan karya itu, karena kami dianggap paling siap," tandasnya.
Selanjutnya, empat dari sembilan anggota Tim Solite Unijoyo difasilitasi Microsoft Indonesia untuk berangkat ke Rusia pada 7 Juli 2013, namun tim itu sempat dikarantina di Jakarta untuk mengikuti pelatihan presentasi yang diadakan Microsoft Indonesia.
"Di tingkat dunia, kami berkompetisi dalam Imagine Cup 2013 yang diikuti 80 tim dari 71 negara, seperti Amerika, Jepang, Prancis, dan sebagainya. Kami bersyukur meraih juara kedua Imagine Cup 2013, sedangkan juara pertama dari Austria dan juara ketiga dari Prancis," ulasnya.
Ya, Ghalib bersama Miftah Alfian Syah (penulis program), Tony Wijaya (desainer grafis), dan Mukhammad Bagus Muslim (desainer grafis) yang mewakili tim "Solite" ke Rusia itu sejatinya merupakan mahasiswa-mahasiswa kelas dunia.
Game bertajuk "Save The Hamsters" itu menceritakan empat ekor hamster yang tersesat saat hendak pulang ke sarangnya, karena itu pemain harus membantu hamsters kembali ke sarang yang berupa lubang di tanah.
Namun, pemain tidak hanya memotong tali serta menghancurkan boks kayu, kardus, dan benda lain yang menghalangi rute hamsters, melainkan pada tubuh hamsters juga ada angka-angka yang harus dijumlahkan, dikurangi, dikalikan, atau dibagi, sehingga ada unsur "fun" dan "edukasi".
Cara Proteksi Vaksin
Agaknya, putra terbaik bangsa atau mahasiswa-mahasiswa yang berkelas dunia juga ada pada universitas lain di negeri yang disudutkan pers sebagai "negara gagal" itu.
Misalnya, Universitas Airlangga (Unair) Surabaya yang memiliki peneliti yang cacat secara fisik, yakni M Yusuf Alamudi (33), namun ia menemukan cara memproteksi vaksin pada suatu virus agar lebih aman dan virus itu tidak menular lagi.
"Saya meneliti dua vaksin Flu Burung yakni vaksin H5N1 pada unggas yang impor dan vaksin H5N1 yang produksi Unair, ternyata vaksin H5N1 yang diproduksi Unair lebih aman," kata peneliti yang menjadi doktor termuda di Unair itu kepada Antara di Surabaya (11/9).
Peraih predikat cumlaude dengan IPK 3,97 dalam sidang terbuka ujian doktor Pascasarjana Unair pada 10 September 2013 itu menjelaskan vaksin yang ada selama ini tidak aman, karena pengujiannya hanya bersifat satu dimensi yakni mengandalkan liter antibodi dan netralisasi.
"Saya adalah contoh dari penggunaan vaksin dengan pengujian satu dimensi itu, sehingga saya sudah diberi vaksin polio, tapi saya tetap tertular virus polio itu, sehingga kaki kiri saya cacat sejak usia dua tahun dan akhirnya diberi penyangga dari besi sampai sekarang," katanya.
Hal itu, kata alumni Jurusan Biologi F-MIPA Unair Surabaya itu, mendorong dirinya untuk meneliti cara pengukuran yang mampu memproteksi suatu vaksin, sehingga dirinya menemukan bahwa pengukuran liter antibodi dan netralisasi yang bagus itu tidak cukup.
"Perlu cara pengukuran yang bersifat dua dimensi yakni imunitas tubuh terhadap virus cukup bagus tapi ekspresi atau daya tangkap protein vaksin dari virus itu juga bagus, sehingga vaksin itu mampu menekan virus agar tidak keluar dan justru menular lagi," katanya.
Alumni S2 dan S3 pada Fakultas Kedokteran Unair yang kini menjadi peneliti Flu Burung di Laboratorium BSL-3 Unair itu berencana mematenkan temuannya untuk diaplikasikan pada vaksin untuk berbagai macam virus.
"Buktinya, vaksin H5N1 yang diproduksi Unair lebih aman dengan menerapkan standar pengujian vaksin yang bersifat dua dimensi. Saya melakukan penelitian standar pengujian itu selama satu tahun (2012-2013) dan akhirnya dapat menjadi standar yang baik dan aman," katanya.
Menanggapi temuan anak didiknya, pakar Flu Burung Unair yang juga anggota tim penguji Yusuf Alamudi, Dr CA Nidom, menegaskan bahwa hasil penelitian Yusuf Alamudi itu penting agar tidak ada lagi korban vaksin seperti dialami Yusuf sendiri.
"Apalagi, 60 persen vaksin di Indonesia adalah impor dan hal itu berarti tidak dijamin aman, karena itu hasil temuan Yusuf Alamudi harus dikembangkan agar vaksin-vaksin yang ada di Indonesia, termasuk vaksin impor, sudah melalui pengujian dua dimensi yang aman," katanya.
Senada dengan itu, ketua tim penguji Prof Dr dr Teddy Ontoseno Sp.A(K) Sp.JP FIHA yang memimpin sidang ujian terbuka untuk doktor Yusuf Alamudi itu mengaku sangat bangga dan terharu dengan hasil yang dicapai anak didiknya.
"Apalagi, patut dicatat bahwa anak didik saya itu mendapat gelar doktor termuda dan risetnya sangat bermanfaat bagi umat manusia dengan meneliti bagaimana mempertahankan kompatibilitas virus flu burung, sebab flu burung itu merupakan virus yang mematikan, apalagi banyak korbannya di Indonesia," kata dokter spesialis anak itu.
Walhasil, standar pengujian vaksin yang ditemukan alumni SMAN VIII Surabaya yang kelahiran Surabaya pada 21 Januari 1980 itu membuktikan peneliti Indonesia itu punya potensi.
Apalagi, Laboratorium BSL-3 di Unair merupakan laboratorium BSL-3 terbesar di Asia Tenggara, sehingga potensi peneliti Indonesia akan semakin besar.
"Semuanya tergantung kepada kita untuk menumbuhkan atmosfer penelitian yang unggul, maka potensi itu tidak akan kalah dari bangsa-bangsa lain," kata Yusuf Alamudi yang berdarah Arab dari ayah dan ibu dari kawasan Ampel, Surabaya itu.
0 komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.