JAKARTA, KOMPAS.com - Sejak tahun 2006, PT Dirgantara Indonesia (PT DI) telah berupaya mengembangkan pesawat model baru N219. Pesawat turboprop dengan 19 penumpang tersebut ditargetkan bisa melayani kebutuhan penerbangan perintis untuk menghubungkan wilayah-wilayah terpencil.
Untuk mengembangkannya, PTDI bekerjasama dengan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) mengembangkan model uji aerodinamika. Sementara, uji aerodinamikanya sendiri dilakukan pada tahun 2008.
Hari ini, Selasa (28/12/10), hasil uji dinamika yang dilakukan BPPT di Laboratorium Aero Gasdinamika dan Getaran, Serpong diserahkan kepada PTDI, menandai tuntasnya uji tersebut. Hasil uji menunjukkan kemampuan pesawat untuk landing dan take off serta stabilitasnya.
Andi Alisjahbana, Direktur Aerostruktur PT DI mengatakan, "Sejauh ini kita telah melakukan uji aerodinamika yang meliputi 139 polar." Polar berkaitan dengan kestabilan posisi pesawat dalam kondisi tertentu sesuai dengan komando yang diberikan padanya.
Selain itu, berdasarkan uji aerodinamika, diperoleh kesimpulan bahwa pesawat bisa take off dan landing pada landasan yang pendek. "Landasan yang dibutuhkan untuk take off dan landing hanya 600 meter," kata Andi.
Menurut Andi, kemampuan tersebut sangat dibutuhkan untuk pesawat perintis. "Banyak daerah terpencil di Indonesia yang tak memiliki lahan luas. Seperti pulau-pulau kecil, di sana tidak mungkin membangun bandara besar," lanjut Andi.
Model yang digunakan dalam uji aerodinamika memiliki perbandingan ukuran 1:6,3. Uji aerodinamika sendiri dilakukan dalam terowongan angin sirkuit tertutup. Hasil uji juga mengungkapkan stabilitas matra longitudinal dan lateral pesawat.
Rancangan pesawat masih harus menjalani uji lainnya. Beberapa di antaranya adalah ditching test, uji statik pesawat, serta uji mesin produksi dan akhirnya uji coba terbang. Ditargetkan, pesawat sudah bisa diluncurkan 2 tahun mendatang.
• KOMPAS
JAKARTA, KOMPAS.com - Saat ini, penerbangan perintis di beberapa wilayah nusantara seperti Papua masih dilakukan oleh pesawat-pesawat produksi lama seperti Twin Otter. Beberapa unit yang ada telah tidak layak pakai sehingga diperlukan pesawat yang lebih modern.
"Pengembangan pesawat jenis ini biasanya memakan waktu 3 tahun. Namun, kita mungkin akan selesaikan 2 - 2,5 tahun
-- Andi Alisjahbana, Direktur Aerostruktur PTDI"
Karenanya, sejak tahun 2006 PT Dirgantara Indonesia mengembangkan pesawat N219 yang berkapasitas 19 orang untuk menggantikan peran pesawat perintis yang ada sekarang. Saat ini, uji aerodinamika pesawat tersebut telah dituntaskan.
"Pengembangan pesawat jenis ini biasanya memakan waktu 3 tahun. Namun, kita mungkin akan selesaikan 2 - 2,5 tahun," kata Andi Alisjahbana, Direktur Aerostruktur PT Dirgantara Indonesia, Selasa (28/12/2010) di Jakarta. Jadi, tahun 2013, pesawat mungkin sudah bisa diluncurkan.
Agar tidak mengalami kegagalan seperti pesawat CN 250, pihak PTDI akan memproduksi pesawat berdasarkan order. "Kita akan buat 25 unit dulu nantinya. Kita akan mengupayakan seluruhnya terjual dahulu," kata Andi.
Untuk membuat sejumlah unit tersebut, diperlukan dana sekitar Rp 1 triliun, jumlah yang menurut Andi cukup minim untuk membuat pesawat. Andi menargetkan, sejumlah pesawat tersebut akan dibeli oleh pemerintah daerah.
Andi mengatakan, spesifikasi pesawat N219 dirancang dengan kondisi geografis Indonesia, sehingga sangat sesuai. Pesawat ini mampu mendarat di landasan yang pendek sehingga bisa diaplikasikan di wilayah terpencil yang lahannya terbatas.
"Pesawat ini juga dirancang sehingga bisa membawa bahan bakar tambahan. Kita menyadari bahwa tidak setiap daerah memiliki tempat pengisian bahan bakar," lanjut Andi mengungkapkan kelebihan pesawat N219.
Budi Santoso, Direktur Utama PT Dirgantara Indonesia mengatakan bahwa pengembangan pesawat ini didasarkan pada karakteristik geografis Indonesia. "Kondisi geografis kita berbeda dengan negara lain. Kita harus punya solusi sendiri," katanya.
Pengembangan pesawat kecil yang mampu menjangkau wilayah terpencil dinilai Budi sangat pas. "Banyak wilayah Indonesia yang tak mudah dijangkau dengan transportasi darat. Pesawat perintis bisa menjadi solusi," paparnya.
Pesawat N219 sendiri memiliki potensi besar untuk dipasarkan ke daerah-daerah seperti Sumatra dan Papua. Pesawat ini juga ditargetkan bisa dipasarkan ke negara lain yang masih membutuhkan, misalnya negara-negara di Afrika.
• KOMPAS
0 komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.