INILAH.COM, Jakarta - Enam tahun setelah tsunami Aceh, gempa besar masih bisa muncul. Kestabilan baru bisa terjadi setidaknya 10 tahun mendatang.
Pascatsunami Aceh nyatanya tidak membuat pemerintah sigap menangani bencana. Associate Profesor di Jurusan Teknik Geofisika Institut Teknologi Bandung (ITB) Dr Teuku Abdullah Sanny saat dihubungi INILAH.COM, menyebutkan pekerjaan rumah pemerintah terkait bencana sangat banyak. Apalagi, evaluasi pascabencana tsunami Aceh, 26 Desember 2004, tidak berjalan maksimal.
“Sistem pencegahan dan mitigasi pemerintah diberi nilai lima. Kita masih terkaget-kaget dengan bencana. Tidak dipersiapkan dengan ilmiah bagaimana bangsa Indonesia menghadapi gempa dan tsunami. Kita harus terus menerus belajar karena ini adalah daerah yang sangat rawan bencana. Ini menjadi bagian dari kehidupan,” tegas Sanny.
Setelah gempa Aceh, diakui Sanny, ada kemajuan yang cukup pesat setidaknya banyak sumbangan dan hibah dari Jepang, Jerman dan Amerika untuk membantu peralatan. Padahal sebelumnya peralatan ini sama sekali tidak ada.
Pemerintah sudah mulai sadar, begitu pula masyarakat di seluruh dunia. Indonesia bukanlah daerah main-main karena termasuk di zona api (ring of fire) yang perlu dipantau terus menerus karena lempeng Australia dan lempeng Pasifik terus bergerak. Pergerakannya dari 7 sampai 8 sentimeter per tahun di sepanjang Sumatera.
Setelah enam tahun gempa Aceh, yang perlu diperbaiki adalah zonasi yang lebih detil. Daerah mana saja yang aman untuk penduduk.
Rehabilitasi Aceh, menurut Sanny, belum mampu menuntaskan masalah keamanan dan meminimalisir kemungkinan gempa di masa mendatang. Pemerintah dinilai tidak memenuhi aturan zonasi yang semestinya dilakukan secara ilmiah.
“Kebanyakan, masih tidak menuruti masyarakat. Contohnya, zonasi yang dibentuk di Bapenas tidak diikuti secara tepat oleh para pembangun. Kebanyakan berdasarkan lobi masyarakat. Zona gempa dan tsunami sudah ada. Tapi sayangnya, green belt tidak dijalankan seketat mungkin,” ujar Sanny.
Green Belt adalah jalur hijau yang harus ditanami bakau dan terumbu. Untungnya, Indonesia mendapat sumbangan dari Jepang sehingga dibuat jalur pemecah ombak sepanjang 2 kilometer. Zona bakau juga sudah dibuat. Wilayah Indonesia perlu dibuat hutan buatan untuk menahan energi tsunami hingga 60%.
Kelalaian pemerintah yang lain adalah early warning system (sistem peringatan dini) yang perlu pengawasan berkelanjutan. Tidak hanya itu, pemerintah harus membuat sistem informasi terpadu kepada masyarakat. “Kita belum tahu apakah masyarakat yang dikhawatirkan terkena dampak sudah disosialisasikan soal ini atau tidak,” katanya.
Sanny mengakui masih besarnya kemungkinan terjadi kembeli gempa dan tsunami di Sumatera. “Gempa ada tapi tidak sebesar gempa Aceh. Gempa setidaknya memiliki kekuatan sekitar 6 SR di kawasan sepanjang Simelu, Sumatera. Setidaknya 6,2 sampai 6,5 SR karena energi patahan tidak bisa menurun seketika. Ini berjalan terus sampai menuju kestabilan yang baru,” ujar Sanny.
Kestabilan baru muncul setidaknya 10 tahun mendatang. Distribusi energi dinilai Sanny paling besar di sekitar Mentawai. “Di sepangjang selatan Pulau Sumatera sekitar 7,2 SR hingga 7,3 SR. Di atas 8 SR, kemungkinan itu sangat kecil. Sekitar 1 abad lagi baru bisa muncul”.
Masih banyaknya tugas pemerintah diakui Kepala Sub Bidang Pengamatan Gunung Api Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi/VSI ESDM Dr Agus Budianto. Namun Agus menyatakan pihaknya sudah menyiapkan beberapa kebijakan untuk mengatasi bencana.
“Pertama melakukan identifikasi peta kawasan bencana. Sebelum tsunami Aceh sebenarnya pemerintah sudah melakukan pemetaan kawasan bencana untuk membuat penataan ruang yang lebih baik. Kita bisa mengurangi kawasan hunian di daerah yang rawan bencana. Sayangnya, ini memang belum maksimal,” ujar Agus Budianto.
Yang kedua menurutnya adalah analisis risiko. Pemerintah melakukan semacam penggambaran secara terperinci apa saja yang akan terjadi di suatu wilayah jika bencana terjadi dan apa yang seharusnya dilakukan secara optimal.
Ketiga, melakukan pembelajaran dan sosialisasi berdasarkan nilai-nilai yang dipegang oleh daerah masing-masing. “Sebenarnya, tanpa kita sadari, masing-masing daerah memiliki pembelajaran bencana turun menurun yang dianut nenek moyang. Sayangnya, nilai itu yang sering kita lupakan. Kami ingin pemerintah dan masyarakat lokal melakukan sinergi informasi bencana”.
Pemetaan katanya sudah direncanakan sejak 2004, empat tahun sebelum Tsunami Aceh. Identifikasi ini memiliki pembagian skala sekitar satu berbanding 20 ribu hingga 50 ribu. Namun, pemetaan yang lebih terperinci diserahkan kembali kepada pemerintah daerah.
“Pada dasarnya, ini merupakan tugas ESDM. Pemetaan itu ditargetkan selesai pada 2014” kata Agus. Namun, Agus tidak dapat menjanjikan target itu dapat dilampaui dengan baik. “Kami akui kesadaran baru benar-benar muncul setelah tsunami Aceh. Ini adalah kesadaran kolektif. Jadi, masih banyak yang harus dipersiapkan.” [mdr]
0 komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.