JAKARTA, KOMPAS.com - Sekarang, komodo-komodo di ragunan memiliki sebuah inkubator. Bukan untuk si komodo, melainkan bagi telur-telur reptil asli Nusa Tenggara itu. Minggu (28/11/10), inkubator tersebut secara resmi digunakan di Kebun Binatang Ragunan oleh para pegiat komodo.
Seperti apa inkubatornya, yang jelas tak sama dengan inkubator untuk manusia, meski memiliki beberapa kemiripan. Inkubator berbentuk kotak dengan bagian luarnya terbuat dari bahan kayu, dilengkapi dengan kaca di bagian atasnya.
Sementara itu, di bagian dalam terdapat beberapa alat yang berfungsi untuk memantau kondisi lingkungan di dalam inkubator. "Ada termometer untuk memantau suhu serta thermohigrometer untuk memantau suhu dan kelembaban," ungkap Sukedi Saleh, pegiat komodo yang juga koordinator perawatan komodo Kebun Binatang Ragunan.
Sebagai sumber panas, lampu-lampu dipasang di dalam inkubator. Panas lampu akan memastikan temperatur inkubator optimal untuk perkembangan embrio dalam telur, antara 28 hingga 35 derajat celsius. Ada juga sprayer berisi air untuk menjaga kelembaban optimal dalam inkubator.
Di dalam inkubator, telur komodo diletakkan di dalam kotak-kotak berbahan plastik. Bagian dalam plastik diberi media pasir khusus yang berfungsi untuk membantu proses penetasan telur reptil. Jumlah telur yang diletakkan dalam inkubator kurang lebih sebanyak 100 buah, berasal dari 10 indukan.
Sepintas, inkubator ini tampak sederhana, tetapi memberi manfaat yang besar. "Inkubator berguna untuk membantu perkembangan telur, sehingga lebih banyak telur yang menetas," ungkap Sukedi yang akrab disapa Edi. Ia mengungkapkan, faktor yang paling berpengaruh terhadap perkembangan telur adalah suhu dan kelembaban.
Pembuatan inkubator komodo ini adalah cetusan Zeby Febrina, pegiat komodo yang kini juga aktif mempromosikan Pulau Komodo sebagai salah satu keajaiban dunia. Pembuatannya sendiri dilatarbelakangi oleh masalah yang terjadi dalam proses penetasan telur komodo.
"Sampai sekarang, penetasan komodo masih menjadi masalah. Faktor perubahan iklim adalah penyebabnya," ucap Zeby. Ia mengatakan, curah hujan menyebabkan banyak telur komodo membusuk hingga hanya beberapa saja yang berhasil menetas. "Karena itulah saya punya ide membuat inkubator ini," lanjutnya.
Zeby mengatakan, inkubator tersebut adalah hasil kerja swadaya para pegiat komodo yang terdiri dari dirinya beserta para perawat komodo di Kebun Binatang Ragunan. Diharapkannya, walaupun masih sederhana, inkubator tersebut bisa mengatasi masalah penetasan yang selama ini terjadi.
Selama masa telur diinkubasi, suhu dan kelembaban dalam inkubator harus tetap dikontrol 2 kali sehari. "Jadi kalau misalnya kelembabannya kurang, harus disemprot air sehingga mencapai kelembaban yang diinginkan," kata Edi. Telur komodo sendiri kurang lebih akan berada dalam inkubator selama 8 bulan, masa yang dibutuhkan bagi embrio dalam telur untuk menetas.
• KOMPAS
Indonesia Secures Facility to Fund Acquisition of Italian PPAs
-
*⚓ **OPV Thaon di Revel class when arrived in Indonesia. (Dispenal) 💥*
*I*ndonesia has secured a loan facility to fund the acquisition of two
multirole ...
13 jam yang lalu
0 komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.