blog-indonesia.com

Kamis, 02 Desember 2010

CDMA Jadi Nasional, Tarif Turun?

INILAH.COM, Jakarta - Kemenkominfo akan memberlakukan satu lisensi sehingga CDMA akan menjadi seluler seperti GSM. Setelah CDMA bisa dipakai secara nasional, apakah tarif GSM akan terdorong turun?

Ditjen Postel Kementerian Kominfo akan segera memberlakukan satu lisensi seluruh layanan melalui skema unified access licensing (UAL). Dengan demikian, tak ada lagi perbedaan antara fixed wireless access (FWA) yang digunakan oleh CDMA dan seluler via GSM.

Saat ini, Indonesia memiliki empat operator dengan lisensi FWA, yakni Telkom dengan Flexi, Mobile-8 Telecom dengan Hepi, Indosat lewat StarOne dan Bakrie Telecom (BTEL) dengan Esia.

Pada dasarnya, baik operator yang menggunakan FWA dan seluler, tidak ada perbedaan secara teknis karena semua layanan adalah seluler. Lisensi FWA untuk CDMA dengan wilayah layanan yang terbatas. Pemberlakuan lisensi FWA itu dinilai sebagai banci.

“Sayangnya, ini aturan banci karena CDMA memiliki teknologi yang sama yang memungkinkan mereka untuk seluler tapi dibatasi regulasi,” kata Direktur Eksekutif Lembaga Pengembangan dan Pemberdayaan Masyarakat Informasi (LPPMI) Kamilov Sagala saat dihubungi INILAH.COM.

“Awalnya operator besar meminta CDMA terbatas di area tertentu. Kemudian ada GoGo yang memungkinkan CDMA berlaku seperti seluler. Operator GSM makanya minta disamakan jadi satu lisensi,” kata Kamilov lagi.

Hal senada juga diungkapkan Sekjen Indonesia Telecommunications Users Group (IDTUG) Muhammad Jumadi. Menurutnya, perang antar GSM dan CDMA saat ini sudah tidak sehat padahal CDMA yang memegang lisensi FWA sudah bisa seluler. CDMA, di sisi lain dikenai biaya hak penggunaan (BHP) lebih murah dibandingkan GSM.

“FWA dapat keuntungan mobile tetapi tidak dikenai BHP yang sama dengan GSM, ini merugikan. Jika pemerintah memberlakukan sama, paling tidak tarif GSM harus sama atau lebih murah dari CDMA. BHP mereka kan ikut turun,” kata Jumadi. Dampak positifnya perang tarif secara negatif dapat diminimalisir karena masyarakat lebih mudah paham, soal tarif antara operator GSM dan CDMA.

Namun Kamilov tidak terlalu yakin operator GSM akan menurunkan harga jika nantinya layanan operator CDMA dengan lisensi FWA sudah bisa dipakai secara nasional. Menurutnya, akan ada garis tengah berupa kompromi antaroperator.

Hal itu diamini Direktur Eksekutif Masyarakat Telematika Indonesia (Mastel) Eddy Thoyib. Ia tidak yakin bahwa operator GSM akan langsung menurunkan harga setelah lisensi FWA jadi selular diberlakukan.

“Harga terkait sewa badwidth karena ini tergantung pada usage base operator itu. Di sisi lain, pemerintah masih mengkaji tarif bandwidth. Jadi belum tentu lisensi sama langsung harga disamakan pula,” katanya.

Penyamaan lisensi juga semakin meningkatkan isu merger antaroperator. Ini dinilai wajar sebagai bagian dari seleksi alam dalam mengurangi jumlah operator, namun meningkatkan frekuensi. Apalagi, dibandingkan negara lain di Asia, jumlah operator di Indonesia terlalu banyak.

Meskipun penyamaan lisensi memungkinkan harga seluler turun, tapi dikhawatirkan adanya pengurangan kualitas. Menurut Jumadi, operator GSM terpaksa menurunkan harga yang seringkali berdasarkan pengalaman malah mempengaruhi kualitas. Lebih disayangkan lagi pemerintah tidak ketat dalam mengawasi kinerja operator.

“Makanya sekarang operator seperti angkot yang memenuhi jalan. Pada akhirnya malah mengganggu masyarakat,” sindir Jumadi.

Hal senada juga diungkapkan Kamilov. Menurutnya, badan regulasi masih lemah sehingga operator bisa berbuat seenaknya. Bahkan, Eddy Thoyib pesimis perubahan lisensi ini akan membawa perbaikan kualitas jaringan operator. Kualitas pada dasarnya terkait investasi di mana operator harus meningkatkan kapasitas dan cakupan jaringan.

“Lisensi adalah satu hal yang berbeda dengan kualitas. Kualitas bisanya ditentukan oleh penambahan jaringan dan cakupan. Kita membutuhkan layanan prima,” tegasnya.

Jumadi juga menyayangkan pemerintah yang selalu membuat aturan berdasarkan perkembangan teknologi. Padahal, teknologi sendiri tidak ada batasnya. “Seharusnya bukan teknologi yang jadi patokan melainkan frekuensi. Teknologi tidak terbatas jadi sulit untuk membuat aturan yang berlaku selamanya,” ujarnya. [ito/mdr]


Inilah

0 komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More