"Di negara maju, ilmu maupun riset biasanya didapat oleh militer." Ilustrasi
Kepala Staf TNI Angkatan Darat (KSAD) Jenderal Budiman mengatakan Indonesia masih rawan dengan serangan berbasis teknologi informasi.
Salah satu buktinya beberapa bulan lalu, penyadapan sempat jadi pembicaraan hangat di Indonesia. Bahkan ujicoba peralatan TNI AD juga pernah diretas oleh pihak lain.
"TNI AD mulai mencoba agar tak bisa disadap. Bagaimana caranya? Teknologi informasinya harus produk lokal, karena dengan produk lokal, besar peluang terlepas dari penyadapan," ujar Jenderal Budiman usai Mou dengan Federasi Teknologi Informasi Indonesia (FTII) di Mabes TNI AD, Jalan Veteran Jakarta Pusat, Jumat 16 Mei 2014.
Kata dia, kesatuannya pernah mengalami penyadapan telekomunikasi saat uji coba kendaraan terbang tak berawak (UAV).
"Suatu saat kami terbangkan UAV di Tanjung Priok, ada kawan yang nge-jamming, sehingga begitu terbang, ternyata ada yang mainkan jamming sekitar situ," ungkapnya.
Tak mau menjadi korban penyadapan, TNI AD semakin memperkuat keamanan dengan melatih sumber daya prajurit. Oleh karena itu, TNI AD kini menjalin kerjasama dengan pakar teknologi informasi FTII dalam bentuk pelatihan hacking.
"Kami sudah melatih 30 prajurit untuk bisa paham hacking for forensic, kerjasama ini sudah berjalan dua tahun. Target pelatihan 100 prajurit," ujar Ketua Umum FTII, Sylvia J Sumarlin.
Menurut Budiman, dengan memanfaatkan sumber daya lokal secara mandiri dalam teknologi bisa menghindari penyadapan. TNI AD mencoba mengikuti pola riset teknologi yang dilakukan negara maju.
"Di negara maju, ilmu maupun riset biasanya didapat oleh militer. Kemudian turunan risetnya diberikan ke pemerintahnya. Setelah itu diberikan ke bisnis sebelum dijual ke negara berkembang," kata Budiman.
Dengan pelatihan itu, TNI AD berkomitmen tak mau jadi tempat pengelolaan akhir terknologi itu.
"Untuk itu kami belajar dengan menggunakan pola long term S2 dan S3. Prajurit ada yang ahli programmer. Untuk program short term kami kerjasama dengan FTII," katanya.(umi)TNI AD Berdayakan Kopassus Jadi 'Hacker' Mabes TNI AD akan memberdayakan prajurit Komando Pasukan Khusus (Kopassus) sebagai hacker. Mereka akan mendapat pelatihan teknologi informasi komunikasi (ICT) untuk mengamankan sistem keamanan negara.
Kepala Staf TNI AD, Jendral Budiman mengatakan, penguasaan teknologi informasi (IT) bagi prajurit sangat penting. Karena kemampuan pertahanan dan keamanan bergantung pada pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
"Kami akan berdayakan kopassus karena pada level pengembangan, mereka rata-rata memiliki kemampuan IQ yang tergolong tinggi," kata Budiman dalam jumpa pers nota kesepahaman (MoU) antara Mabes TNI AD dan Federasi Teknologi Informasi Indonesia (FTII), Jakarta, Jumat (16/5).
Dia menambahkan, satuan TNI AD kerap kali menjadi incaran pera peretas di dunia maya. Pertempuran antarnegara ke depan pun tak lagi ditentukan persenjataan berat, tapi penguasaan teknologi. Karenanya, TNI mengadakan MoU dengan FTI.
Ia menyatakan, selama ini sudah melangsungkan kerja sama dengan para ahli IT. Meski pun belum ada kesepakatan formal. Dengan adanya kesepahaman itu, maka prajurit TNI AD akan memperolah pelatihan kemampuan ICT.
"Saya juga berharap, adanya kerja sama ini akan menghasilkan kemandirian sistem ICT TNI AD. Kami tidak mau terus menerus bergantung pada teknologi asing," ujar dia.
Di negara maju, katanya, militer yang memulai riset untuk menemukan teknologi terbaru. Kemudian mereka menyerahkan itu ke pemerintah dan kemudian dijual ke negara sekutu. Terakhir dibuang ke negara yang dianggap kurang mampu.
TNI AD enggan memanfaatkan teknologi buangan yang dinilai ketinggalan zaman. Apalagi kepemilikan asing akan membuka peluang Indonesia untuk disadap. Itulah alasan TNI harus mandiri dan prajurit perlu belajar bagaimana percepatan pengembangan IT.
"Sekarang ini, kami tengah mengembangkan base transceiver station (BTS) di setiap daerah perbatasan, dan tantangan FTII ke depan adalah mengembangkan nano satelit," kata dia.
Ketua Umum FTII, Sylvia W Sumarlin menambahkan, sudah bekerja sama melakukan pembinaan dan pelatihan hacking ke 30 perwira tinggi, dengan target 100 orang.
Sementara MoU kali ini akan memfokuskan diri untuk membantu pengembangan teknologi TNI AD. "Semua teknologi yang dipakai bernuansa lokal, mulai dari sistem aplikasi dan hardware-nya,” ujar Sylvia.
Sekjen FTII, Irwin Day menambahkan, setiap hari TNI AD menerima sekitar 42 ribu serangan peretas. Mereka umumnya mengincar malware. Aplikasi tersebut bisa memberikan akses pembuat program untuk masuk ke komputer dan mengoperasikannya untuk kepentingan mereka.
"Selain itu adalah scanning jaringan, di mana mereka mencari kelemahan jaringan TNI AD untuk diserang," ujar dia.
Kepala Staf TNI Angkatan Darat (KSAD) Jenderal Budiman mengatakan Indonesia masih rawan dengan serangan berbasis teknologi informasi.
Salah satu buktinya beberapa bulan lalu, penyadapan sempat jadi pembicaraan hangat di Indonesia. Bahkan ujicoba peralatan TNI AD juga pernah diretas oleh pihak lain.
"TNI AD mulai mencoba agar tak bisa disadap. Bagaimana caranya? Teknologi informasinya harus produk lokal, karena dengan produk lokal, besar peluang terlepas dari penyadapan," ujar Jenderal Budiman usai Mou dengan Federasi Teknologi Informasi Indonesia (FTII) di Mabes TNI AD, Jalan Veteran Jakarta Pusat, Jumat 16 Mei 2014.
Kata dia, kesatuannya pernah mengalami penyadapan telekomunikasi saat uji coba kendaraan terbang tak berawak (UAV).
"Suatu saat kami terbangkan UAV di Tanjung Priok, ada kawan yang nge-jamming, sehingga begitu terbang, ternyata ada yang mainkan jamming sekitar situ," ungkapnya.
Tak mau menjadi korban penyadapan, TNI AD semakin memperkuat keamanan dengan melatih sumber daya prajurit. Oleh karena itu, TNI AD kini menjalin kerjasama dengan pakar teknologi informasi FTII dalam bentuk pelatihan hacking.
"Kami sudah melatih 30 prajurit untuk bisa paham hacking for forensic, kerjasama ini sudah berjalan dua tahun. Target pelatihan 100 prajurit," ujar Ketua Umum FTII, Sylvia J Sumarlin.
Menurut Budiman, dengan memanfaatkan sumber daya lokal secara mandiri dalam teknologi bisa menghindari penyadapan. TNI AD mencoba mengikuti pola riset teknologi yang dilakukan negara maju.
"Di negara maju, ilmu maupun riset biasanya didapat oleh militer. Kemudian turunan risetnya diberikan ke pemerintahnya. Setelah itu diberikan ke bisnis sebelum dijual ke negara berkembang," kata Budiman.
Dengan pelatihan itu, TNI AD berkomitmen tak mau jadi tempat pengelolaan akhir terknologi itu.
"Untuk itu kami belajar dengan menggunakan pola long term S2 dan S3. Prajurit ada yang ahli programmer. Untuk program short term kami kerjasama dengan FTII," katanya.(umi)TNI AD Berdayakan Kopassus Jadi 'Hacker' Mabes TNI AD akan memberdayakan prajurit Komando Pasukan Khusus (Kopassus) sebagai hacker. Mereka akan mendapat pelatihan teknologi informasi komunikasi (ICT) untuk mengamankan sistem keamanan negara.
Kepala Staf TNI AD, Jendral Budiman mengatakan, penguasaan teknologi informasi (IT) bagi prajurit sangat penting. Karena kemampuan pertahanan dan keamanan bergantung pada pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
"Kami akan berdayakan kopassus karena pada level pengembangan, mereka rata-rata memiliki kemampuan IQ yang tergolong tinggi," kata Budiman dalam jumpa pers nota kesepahaman (MoU) antara Mabes TNI AD dan Federasi Teknologi Informasi Indonesia (FTII), Jakarta, Jumat (16/5).
Dia menambahkan, satuan TNI AD kerap kali menjadi incaran pera peretas di dunia maya. Pertempuran antarnegara ke depan pun tak lagi ditentukan persenjataan berat, tapi penguasaan teknologi. Karenanya, TNI mengadakan MoU dengan FTI.
Ia menyatakan, selama ini sudah melangsungkan kerja sama dengan para ahli IT. Meski pun belum ada kesepakatan formal. Dengan adanya kesepahaman itu, maka prajurit TNI AD akan memperolah pelatihan kemampuan ICT.
"Saya juga berharap, adanya kerja sama ini akan menghasilkan kemandirian sistem ICT TNI AD. Kami tidak mau terus menerus bergantung pada teknologi asing," ujar dia.
Di negara maju, katanya, militer yang memulai riset untuk menemukan teknologi terbaru. Kemudian mereka menyerahkan itu ke pemerintah dan kemudian dijual ke negara sekutu. Terakhir dibuang ke negara yang dianggap kurang mampu.
TNI AD enggan memanfaatkan teknologi buangan yang dinilai ketinggalan zaman. Apalagi kepemilikan asing akan membuka peluang Indonesia untuk disadap. Itulah alasan TNI harus mandiri dan prajurit perlu belajar bagaimana percepatan pengembangan IT.
"Sekarang ini, kami tengah mengembangkan base transceiver station (BTS) di setiap daerah perbatasan, dan tantangan FTII ke depan adalah mengembangkan nano satelit," kata dia.
Ketua Umum FTII, Sylvia W Sumarlin menambahkan, sudah bekerja sama melakukan pembinaan dan pelatihan hacking ke 30 perwira tinggi, dengan target 100 orang.
Sementara MoU kali ini akan memfokuskan diri untuk membantu pengembangan teknologi TNI AD. "Semua teknologi yang dipakai bernuansa lokal, mulai dari sistem aplikasi dan hardware-nya,” ujar Sylvia.
Sekjen FTII, Irwin Day menambahkan, setiap hari TNI AD menerima sekitar 42 ribu serangan peretas. Mereka umumnya mengincar malware. Aplikasi tersebut bisa memberikan akses pembuat program untuk masuk ke komputer dan mengoperasikannya untuk kepentingan mereka.
"Selain itu adalah scanning jaringan, di mana mereka mencari kelemahan jaringan TNI AD untuk diserang," ujar dia.
0 komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.