70% Komponen Pembuat Kapal Masih Harus Diimpor Jakarta ★ Industri komponen kapal di Indonesia belum berkembang cukup besar untuk bisa memenuhi kebutuhan dalam negeri. Saat ini saja, 70% dari komponen kapal harus diimpor dari luar negeri.
"Komponen kapal 70% masih impor," ungkap Ketua Ikatan Perusahaan Industri Kapal dan Lepas Pantai Indonesia (IPERINDO) Tjahjono Roesdianto saat ditemui di Jakarta International Expo Kemayoran, Jakarta, Selasa (13/5/2014).
Ia menyebutkan, beberapa komponen kapal yang masih diimpor dari luar negeri seperti mesin, baling-baling dan kabel kapal, alat telekomunikasi, dan marine cable. Nilai impor komponen kapal pun cukup besar. Rata-rata setiap mencapai US$ 50-U$ 60 juta dengan komponen paling mahal untuk mesin kapal karena spesifiknya mesin kapal.
"Semua kita harus impor. Yang kita bikin cuma plat, baja, dan desain sisanya impor," imbuhnya.
Tingginya nilai impor selama beberapa waktu terakhir disebabkan adanya kegairahan pembangunan serta reparasi kapal untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri seperti untuk Kementerian Perhubungan dan TNI. Di tengah situasi melemahnya nilai mata uang rupiah terhadap dolar saat ini diakuinya cukup memberatkan pengusaha galangan kapal.
"Ada 250 industri galangan kapal. Kondisinya macam-macam tetapi tidak mandek dan jalan terus mulai dari PT PAL hingga memproduksi kapal fiber glass. Kapasitas reparasi terpasang 12 juta ton/tahun atau utilisasi 85%, kapal baru 900.000 ton atau utilisasi 35%. Pendapatan reparasi US$ 5-10 miliar," jelasnya.Pengusaha Pilih Impor Dibandingkan Beli Kapal Dalam Negeri Para pelaku usaha pelayaran di dalam negeri mengaku lebih memilih untuk mengimpor kapal dibandingkan membeli produksi dalam negeri. Selain lebih murah, membeli kapal impor ternyata lebih cepat dan sesuai dengan spesifikasi yang diinginkan.
"Kita kalau bikin kapal di Indonesia ini masih mahal dan lambat. Kenapa bisa terjadi? Ini menjadi handycap kita sekarang. Dari sisi kualitas kapal kita sudah bagus tetapi dari sisi membangun kapal yang baik dan punya daya saing artinya harganya bersaing dan waktunya bersaing ini belum. Itu alasan mengapa kita memilih impor," kata Ketua Ikatan Perusahaan Industri Kapal dan Lepas Pantai Indonesia (IPERINDO) Tjahjono Roesdianto saat ditemui di Jakarta International Expo Kemayoran, Jakarta, Selasa (13/05/2014).
Ia mengakui, rata-rata industri galangan kapal dalam negeri hanya mampu membuat satu kapal dengan menghabiskan waktu 1 tahun. Padahal pemesan kapal menginginkan pembuatan kapal bisa jauh lebih cepat dari itu. Sehingga cara efisien yang bisa dilakukan adalah dengan mengimpor kapal.
"Kebutuhan kapal tidak bisa disiapkan oleh industri perkapalan dalam negeri sesuai waktu yang dibutuhkan. Sekarang mau bangun kapal tapi jadinya 1 tahun sedangkan si pembeli maunya besok jadi ya lebih baik impor," tuturnya.
Alasan lainnya adalah masalah harga. Menurut Tjahjono kapal impor memang jauh lebih murah dibandingkan kapal produksi dalam negeri. Mahalnya harga produksi kapal dalam negeri disebabkan karena 70% komponen kapal harus diimpor dan dikenakan tarif bea masuk dan biaya lainnya.
"Mengapa kapal impor lebih murah dan mudah? Sumber daya manusia kita sebenarnya sudah terlatih. Tetapi komponen ini mesti kena bea masuk, PPN (Pajak Pertambahan Nilai) untuk komponen. Jadi kalau kita hitung dan dibebaskan selisihnya 17-20%. Banyaklah yang pasti fiskal belum lagi biaya lainnya," jelasnya.Pertamina Impor Kapal dari Korea PT Pertamina (Persero) telah memiliki 2 kapal LPG kelas Very Large Gas Carrier (VLGC) terbesar di dunia dengan kapasitas masing-masing 84.000 meter kubik, yang dipesan dari galangan kapal Hyundai Heavy Industries di Kota Ulsan, Korea Selatan.
Menurut Ketua Ikatan Perusahaan Industri Kapal dan Lepas Pantai Indonesia (IPERINDO) Tjahjono Roesdianto, tindakan Pertamina sah-sah saja karena industri galangan kapal dalam negeri belum mampu membuat kapal sebesar itu.
"Pertama kita tidak bisa penuhi dari segi kapasitas misalnya mereka butuh kapal yang ukurannya lebih besar dari 80.000 ton dan kita belum kuasai teknologi tankinya. Kita belum punya galangan kapal yang bisa buat ke sana. Mau-nggak mau kapalnya harus impor," kata Tjahjono saat ditemui di Jakarta International Expo Kemayoran, Jakarta, Selasa (13/05/2014).
Menurutnya, industri galangan kapal dalam negeri hanya mampu memproduksi kapal dengan muatan hingga 50.000 ton. Agar bisa membuat kapal yang jauh lebih besar diperlukan investasi tambahan dari industri galangan kapal di dalam negeri.
Sayangnya investasi galangan kapal di dalam negeri tidak lagi menarik. Investor lebih memilih sektor properti dibandingkan galangan kapal untuk mencari keuntungan yang lebih cepat.
"Investasi galangan kapal cukup mahal. Butuh Rp 5 triliun untuk membangun galangan kapal yang bisa membuat kapal berukuran lebih dari 80.000 ton tetapi kembalinya modal 20 tahun lagi. Kalau kamu punya uang mendingan beli apartemen," imbuhnya.
Padahal menurut catatan dia, kebutuhan kapal di dalam negeri cukup besar. Hingga saat ini saja jumlah kapal berbendera Indonesia mencapai 13.000 unit. Hal ini tentunya bisa menjadi peluang industri galangan kapal di dalam negeri untuk berkembang.
"Industri galangan kapal di dalam negeri sekarang lebih banyak digunakan untuk refarasi (perbaikan) dibandingkan membuat kapal baru. Ada 250 industri galangan kapal. Kondisinya macam-macam tetapi tidak mandek dan jalan terus mulai dari PT PAL hingga memproduksi kapal fiber glass. Kapasitas reparasi terpasang 12 juta ton/tahun atau utilisasi 85%, kapal baru 900.000 ton atau utilisasi 35%. Pendapatan reparasi US$ 5-10 miliar," jelasnya. (wij/rrd)
"Komponen kapal 70% masih impor," ungkap Ketua Ikatan Perusahaan Industri Kapal dan Lepas Pantai Indonesia (IPERINDO) Tjahjono Roesdianto saat ditemui di Jakarta International Expo Kemayoran, Jakarta, Selasa (13/5/2014).
Ia menyebutkan, beberapa komponen kapal yang masih diimpor dari luar negeri seperti mesin, baling-baling dan kabel kapal, alat telekomunikasi, dan marine cable. Nilai impor komponen kapal pun cukup besar. Rata-rata setiap mencapai US$ 50-U$ 60 juta dengan komponen paling mahal untuk mesin kapal karena spesifiknya mesin kapal.
"Semua kita harus impor. Yang kita bikin cuma plat, baja, dan desain sisanya impor," imbuhnya.
Tingginya nilai impor selama beberapa waktu terakhir disebabkan adanya kegairahan pembangunan serta reparasi kapal untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri seperti untuk Kementerian Perhubungan dan TNI. Di tengah situasi melemahnya nilai mata uang rupiah terhadap dolar saat ini diakuinya cukup memberatkan pengusaha galangan kapal.
"Ada 250 industri galangan kapal. Kondisinya macam-macam tetapi tidak mandek dan jalan terus mulai dari PT PAL hingga memproduksi kapal fiber glass. Kapasitas reparasi terpasang 12 juta ton/tahun atau utilisasi 85%, kapal baru 900.000 ton atau utilisasi 35%. Pendapatan reparasi US$ 5-10 miliar," jelasnya.Pengusaha Pilih Impor Dibandingkan Beli Kapal Dalam Negeri Para pelaku usaha pelayaran di dalam negeri mengaku lebih memilih untuk mengimpor kapal dibandingkan membeli produksi dalam negeri. Selain lebih murah, membeli kapal impor ternyata lebih cepat dan sesuai dengan spesifikasi yang diinginkan.
"Kita kalau bikin kapal di Indonesia ini masih mahal dan lambat. Kenapa bisa terjadi? Ini menjadi handycap kita sekarang. Dari sisi kualitas kapal kita sudah bagus tetapi dari sisi membangun kapal yang baik dan punya daya saing artinya harganya bersaing dan waktunya bersaing ini belum. Itu alasan mengapa kita memilih impor," kata Ketua Ikatan Perusahaan Industri Kapal dan Lepas Pantai Indonesia (IPERINDO) Tjahjono Roesdianto saat ditemui di Jakarta International Expo Kemayoran, Jakarta, Selasa (13/05/2014).
Ia mengakui, rata-rata industri galangan kapal dalam negeri hanya mampu membuat satu kapal dengan menghabiskan waktu 1 tahun. Padahal pemesan kapal menginginkan pembuatan kapal bisa jauh lebih cepat dari itu. Sehingga cara efisien yang bisa dilakukan adalah dengan mengimpor kapal.
"Kebutuhan kapal tidak bisa disiapkan oleh industri perkapalan dalam negeri sesuai waktu yang dibutuhkan. Sekarang mau bangun kapal tapi jadinya 1 tahun sedangkan si pembeli maunya besok jadi ya lebih baik impor," tuturnya.
Alasan lainnya adalah masalah harga. Menurut Tjahjono kapal impor memang jauh lebih murah dibandingkan kapal produksi dalam negeri. Mahalnya harga produksi kapal dalam negeri disebabkan karena 70% komponen kapal harus diimpor dan dikenakan tarif bea masuk dan biaya lainnya.
"Mengapa kapal impor lebih murah dan mudah? Sumber daya manusia kita sebenarnya sudah terlatih. Tetapi komponen ini mesti kena bea masuk, PPN (Pajak Pertambahan Nilai) untuk komponen. Jadi kalau kita hitung dan dibebaskan selisihnya 17-20%. Banyaklah yang pasti fiskal belum lagi biaya lainnya," jelasnya.Pertamina Impor Kapal dari Korea PT Pertamina (Persero) telah memiliki 2 kapal LPG kelas Very Large Gas Carrier (VLGC) terbesar di dunia dengan kapasitas masing-masing 84.000 meter kubik, yang dipesan dari galangan kapal Hyundai Heavy Industries di Kota Ulsan, Korea Selatan.
Menurut Ketua Ikatan Perusahaan Industri Kapal dan Lepas Pantai Indonesia (IPERINDO) Tjahjono Roesdianto, tindakan Pertamina sah-sah saja karena industri galangan kapal dalam negeri belum mampu membuat kapal sebesar itu.
"Pertama kita tidak bisa penuhi dari segi kapasitas misalnya mereka butuh kapal yang ukurannya lebih besar dari 80.000 ton dan kita belum kuasai teknologi tankinya. Kita belum punya galangan kapal yang bisa buat ke sana. Mau-nggak mau kapalnya harus impor," kata Tjahjono saat ditemui di Jakarta International Expo Kemayoran, Jakarta, Selasa (13/05/2014).
Menurutnya, industri galangan kapal dalam negeri hanya mampu memproduksi kapal dengan muatan hingga 50.000 ton. Agar bisa membuat kapal yang jauh lebih besar diperlukan investasi tambahan dari industri galangan kapal di dalam negeri.
Sayangnya investasi galangan kapal di dalam negeri tidak lagi menarik. Investor lebih memilih sektor properti dibandingkan galangan kapal untuk mencari keuntungan yang lebih cepat.
"Investasi galangan kapal cukup mahal. Butuh Rp 5 triliun untuk membangun galangan kapal yang bisa membuat kapal berukuran lebih dari 80.000 ton tetapi kembalinya modal 20 tahun lagi. Kalau kamu punya uang mendingan beli apartemen," imbuhnya.
Padahal menurut catatan dia, kebutuhan kapal di dalam negeri cukup besar. Hingga saat ini saja jumlah kapal berbendera Indonesia mencapai 13.000 unit. Hal ini tentunya bisa menjadi peluang industri galangan kapal di dalam negeri untuk berkembang.
"Industri galangan kapal di dalam negeri sekarang lebih banyak digunakan untuk refarasi (perbaikan) dibandingkan membuat kapal baru. Ada 250 industri galangan kapal. Kondisinya macam-macam tetapi tidak mandek dan jalan terus mulai dari PT PAL hingga memproduksi kapal fiber glass. Kapasitas reparasi terpasang 12 juta ton/tahun atau utilisasi 85%, kapal baru 900.000 ton atau utilisasi 35%. Pendapatan reparasi US$ 5-10 miliar," jelasnya. (wij/rrd)
★ detik
0 komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.