Rencana Pembangunan Infrastruktur Jawa Barat (Februari 2010)
Laporan Badan Koordinasi Penanaman Modal menunjukkan ada peningkatan penanaman modal di Indonesia selama tahun 2010 dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Sebuah indikasi positif dikaitkan dengan daya serap angkatan kerja dan pengurangan angka kemiskinan.
Total nilai penanaman modal dalam negeri (PMDN) dan penanaman modal asing (PMA) selama tahun 2010 mencapai Rp 208,5 triliun. Jumlah ini naik 54,2 persen dibandingkan dengan tahun 2009 yang sebesar Rp 135,2 triliun. Nilai penanaman modal ini juga di atas target sebesar Rp 160,1 triliun.
Sayangnya, penanaman modal ini masih terkonsentrasi di Pulau Jawa. Di luar Pulau Jawa, penanaman modal sepanjang tahun 2010 hanya Rp 13,3 triliun atau tidak sampai 10 persen dari total nilai investasi. Investasi di luar Jawa pun lebih berkaitan dengan pertambangan dengan sedikit nilai tambah. Sedikit pula yang menyerap tenaga kerja.
Adapun investasi di Jawa juga lebih banyak untuk kebutuhan sektor konsumsi. Gudang, transportasi, dan telekomunikasi mendominasi sebagian besar investasi tadi. Demikian pula dengan penanaman modal di luar Jawa yang didominasi investasi gudang, transportasi, dan telekomunikasi.
Pertanyaan yang ada, mengapa tidak ada investasi dalam sektor manufaktur yang jelas akan sangat menyerap tenaga kerja? Bahkan, data yang ada menunjukkan tingkat pertumbuhan di sektor manufaktur terus menurun pada beberapa tahun ini.
Tingkat pertumbuhan sektor manufaktur di negeri ini hanya 4,1 persen pada kuartal ketiga tahun 2010 atau turun dari 4,4 persen pada kuartal kedua 2010. Sektor ini juga terus melemah, terlihat dari pertumbuhan konsumsi listrik yang turun 8,91 persen tahun 2009 dibandingkan dengan tahun 2008.
Padahal, pertumbuhan sektor manufaktur diandalkan dalam menekan angka pengangguran yang masih relatif tinggi. Angka pengangguran saat ini 8,59 juta orang tahun 2010. Jumlah ini sedikit turun dari 9,26 juta orang tahun 2009. Total angkatan kerja tahun 2010 mencapai 116 juta orang.
Apa yang membuat sektor manufaktur mandek dan cenderung merosot? Ada bermacam-macam faktor. Salah satu yang selalu dikeluhkan investor asing dan dalam negeri adalah infrastruktur yang sama sekali tidak menunjang sebuah kegiatan manufaktur dari hulu hingga ke hilir.
Sebelum ini keluhan investor berkaitan dengan pengadaan listrik yang minim. Kebutuhan listrik sulit dipenuhi pemerintah. Kini dengan proyek listrik 10.000 megawatt tahap pertama dan 10.000 megawatt tahap kedua, penyediaan listrik berangsur teratasi.
Namun, kini muncul soal jalan raya yang macet dan rusak. Selain itu, soal pelayanan di pelabuhan juga belum memuaskan. Semuanya membuat daya saing sektor manufaktur di negeri ini sangat jauh dari murah dan cepat.
Ini membuat kemudahan berbisnis di Indonesia terus merosot. Menurut Bank Dunia, tahun 2011 posisi Indonesia dalam kemudahan berbisnis di level ke-121, turun dari level ke-115 pada 2010.
Pertumbuhan ekonomi saat ini 6,1 persen dan tahun 2011 diperkirakan 6,4 persen. Angka ini jelas belum mampu menyerap seluruh pengangguran. Dengan asumsi pertumbuhan 1 persen menyerap 400.000 pekerja, baru tersedia 2,5 juta lapangan kerja baru. Perlu pertumbuhan yang lebih tinggi lagi.
Berkenaan dengan upaya menekan pengangguran, tawaran para pengusaha Jepang yang tergabung dalam misi Keidanren untuk bekerja sama dalam pengembangan infrastruktur perlu segera ditanggapi serius. Para pengusaha Jepang ini jelas berkepentingan untuk mengembangkan investasi mereka di sini.
Pengusaha Jepang menilai perkembangan Indonesia yang begitu pesat memerlukan daya dukung infrastruktur memadai. Karena itu, mereka menawarkan beberapa proyek meliputi tenaga listrik, pelabuhan, dan pengembangan kereta api sebagai moda transportasi massal.
Di saat bank keberatan masuk dalam proyek infrastruktur, dana pemerintah yang minim, pantas tawaran ini ditindaklanjuti semua pihak termasuk pemerintah. (ppg)
• KOMPAS
0 komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.