Yogyakarta (ANTARA News) - Konsumsi energi di Indonesia sebagian besar digunakan untuk kegiatan nonproduktif yang hanya sedikit bernilai ekonomis, kata Guru Besar Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada Yogyakarta Harwin Saptoadi.

"Kegiatan nonproduktif itu di antaranya sektor rumah tangga dan transportasi keluarga. Hal itu menyebabkan konsumsi energi menjadi boros atau tidak efisien," katanya di Yogyakarta, Senin.

Ia mengatakan konsumsi energi di Indonesia juga untuk menopang industri manufaktur yang boros energi tetapi menghasilkan komoditas berharga rendah.

Padahal, menurut dia, di negara maju energi digunakan secara efisien untuk kegiatan produktif yang menghasilkan komoditas berharga tinggi, atau negara tersebut pertumbuhan ekonominya ditopang oleh industri jasa yang bernilai ekonomis tinggi tetapi lebih sedikit memerlukan energi.

"Oleh karena itu, usaha keras untuk efisiensi energi harus tetap dilakukan untuk meningkatkan kesejahteraan bangsa," katanya.

Ia mengatakan meskipun potensi sumber daya energi terbarukan sangat melimpah di Indonesia, pemanfaatannya secara riil sebagai pembangkit energi listrik masih sangat kecil.

"Di sisi lain, sumber daya energi biomassa di Indonesia tidak bisa diabaikan, karena terbukti mampu menyumbang 17,59 dari total pasokan energi nasional pada 2008, hanya kalah dari minyak bumi (37,01 persen) dan batu bara (26,24 persen)," katanya.

Menurut dia, biomassa tersebut tidak dapat dibandingkan dengan batu bara. Batu bara adalah "the real fuel", sedangkan biomassa agak sulit disebut sebagai bahan bakar, meskipun mampu terbakar karena kandungan "combustibles" yang dimilikinya.

Dengan demikian, tidak terlalu mengherankan jika densitas energi dua jenis bahan bakar tersebut jauh berbeda, karena biomassa terbentuk hanya dalam orde tahunan sedangkan batu bara terbentuk setelah puluhan juta tahun.

Ia mengatakan salah satu kekurangan biomassa adalah densitas energinya yang rendah. Jika biomassa digunakan sebagai bahan bakar utama di suatu pembangkit listrik skala besar, maka laju "volumetris input" yang dibutuhkan pasti sangat besar.

"Di sisi lain, pemakaian limbah biomassa pada pembangkit listrik skala kecil (lokal) membutuhkan biaya investasi spesifik yang tinggi, operator yang banyak, dan memiliki efisiensi termal yang rendah," katanya.

Menurut dia, dengan memperhatikan berbagai potensi dan hambatan, solusi yang diperlukan adalah "co-firing" atau "co-combustion", yakni pembakaran bersama antara batu bara dan biomassa di ruang bakar PLTU skala besar yang sudah ada.

"Namun, lebik baik jika PLTU batu bara itu berlokasi dekat dengan sumber limbah biomassa (kurang dari 50-80 kilometer) sehingga biaya transportasi biomassa tidak terlalu tinggi," katanya.(B015/M008/A038)