Tya Eka Yulianti/detikcom ☆
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) memperlihatkan hasil riset kursi roda elektrik berbasis sinyal otak (brain signal) atau yang biasa dikenal dengan Electro Encephalo Graphy (EEG) yang telah dikembangkan selama 3 tahun terakhir. Kursi roda ini dapat bergerak sesuai dengan perintah sinyal otak penggunanya.
Untuk menggunakan kursi roda ini penggunanya harus menggunakan penutup kepala berbentuk kupluk yang telah dipasangi alat sensor otak yang akan terhubung ke micro controller.
Tya Eka Y/detikcom ☆
"Ada 32 titik di otak yang akan komunikasi mengirim sinyal. Kita tidak tau di daerah mana sinyal yang akan ditangkap dan berubah jadi gerakan," tutur Dr Arjon Turnip, peneliti bidang instrumentasi (teknologi EEG) dari UPT Balai Pengembangan Instrumentasi LIPI di Bandung, Rabu (27/1/2016).
Alat yang dipasang di kepala pun harus disuntikkan gel elektroda supaya bisa terhubung ke software yang ada di laptop melalui amplifier dan micro controller.
"Kadang sinyal ada noise karena otak manusia kan bisa berubah dengan cepat. Konsentrasinya tidak konsisten," tuturnya.
Untuk pengaman, di kursi roda juga sensor supaya tidak menabrak dalam jarak tertentu.
"Untuk menjaga saat pengguna kursi roda tersebut tidak konsentrasi," jelas Arjon.
Beberapa wartawan pun mencoba kursi roda tersebut dan merasakan bagaimana sensasi menggerakkan kursi roda hanya dengan memerintahkannya di otak. Namun sensor yang dipasang di kursi roda tersebut masih belum bisa menangkap objek di kemiringan tertentu sehingga beberapa kali menabrak.
"Masih perlu pengembangan dan perbaikan seperti sensor dan motor roda supaya bisa berbelok lebih akurasi," tuturnya. (tya/try)
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) memperlihatkan hasil riset kursi roda elektrik berbasis sinyal otak (brain signal) atau yang biasa dikenal dengan Electro Encephalo Graphy (EEG) yang telah dikembangkan selama 3 tahun terakhir. Kursi roda ini dapat bergerak sesuai dengan perintah sinyal otak penggunanya.
Untuk menggunakan kursi roda ini penggunanya harus menggunakan penutup kepala berbentuk kupluk yang telah dipasangi alat sensor otak yang akan terhubung ke micro controller.
Tya Eka Y/detikcom ☆
"Ada 32 titik di otak yang akan komunikasi mengirim sinyal. Kita tidak tau di daerah mana sinyal yang akan ditangkap dan berubah jadi gerakan," tutur Dr Arjon Turnip, peneliti bidang instrumentasi (teknologi EEG) dari UPT Balai Pengembangan Instrumentasi LIPI di Bandung, Rabu (27/1/2016).
Alat yang dipasang di kepala pun harus disuntikkan gel elektroda supaya bisa terhubung ke software yang ada di laptop melalui amplifier dan micro controller.
"Kadang sinyal ada noise karena otak manusia kan bisa berubah dengan cepat. Konsentrasinya tidak konsisten," tuturnya.
Untuk pengaman, di kursi roda juga sensor supaya tidak menabrak dalam jarak tertentu.
"Untuk menjaga saat pengguna kursi roda tersebut tidak konsentrasi," jelas Arjon.
Beberapa wartawan pun mencoba kursi roda tersebut dan merasakan bagaimana sensasi menggerakkan kursi roda hanya dengan memerintahkannya di otak. Namun sensor yang dipasang di kursi roda tersebut masih belum bisa menangkap objek di kemiringan tertentu sehingga beberapa kali menabrak.
"Masih perlu pengembangan dan perbaikan seperti sensor dan motor roda supaya bisa berbelok lebih akurasi," tuturnya. (tya/try)
0 komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.