blog-indonesia.com

Kamis, 30 April 2015

Australia mainkan standar ganda soal eksekusi

http://ichef.bbci.co.uk/news/ws/660/amz/worldservice/live/assets/images/2015/04/13/150413142853_sp_tony_abbot_624x351_getty.jpgPerdana Menteri Australia Tony Abbott melontarkan kecaman dan menyatakan akan menarik duta besarnya dari Jakarta.

Dalam pernyataan kepada wartawan, Perdana Menteri Australia, Tony Abbott, menegaskan hubungan antara Australia dan Indonesia tidak akan bisa sama lagi setelah Myuran Sukumaran dan Andrew Chan dieksekusi di Nusakambangan, Jawa Tengah, Rabu (29/04).

"Australia menghormati sistem hukum Indonesia, kedaulatan Indonesia. Tapi kami mengecam keras eksekusi ini. Makanya hubungan dengan Indonesia tidak akan bisa sama lagi. Begitu proses yang terkait dengan Chan dan Sukumaran selesai, kami akan menarik duta besar kami untuk konsultasi," kata Abbott, hari Rabu (29/04).

Sebelumnya, pejabat tinggi di Kementerian Luar Negeri Australia, Steven Ciobo, mengutuk pelaksanaan eksekusi hukuman mati di Nusakambangan, Cilacap, Jawa Tengah, Rabu dini hari (29/04).

Ciobo melalui akunnya di Twitter menyebut pelaksanaan eksekusi ini "penyalahgunaan kekuasaan".
Tarik simpati http://ichef.bbci.co.uk/news/ws/624/amz/worldservice/live/assets/images/2015/04/28/150428233614_execution_624x351_n_nocredit.jpgAndrew Chan dan Myuran Sukumaran ditangkap di Bali pada 2006 saat berupaya menyelundupkan 8,3 kilogram heroin.

Chan dan Sukumaran adalah pemimpin kelompok penyelundup heroin dari Australia yang berjumlah sembilan orang. Bersama-sama, mereka berupaya memasukkan 8,3 kilogram heroin melalui Bandara Ngurah Rai, Denpasar, Bali, pada 2006 lalu.

Namun, aksi mereka dapat dicegah aparat Indonesia berkat informasi dari kepolisian Australia. Mereka lalu dihadapkan ke pengadilan dan dijatuhi vonis hukuman mati.

Nasib Chan dan Sukumaran telah menarik simpati rakyat Australia dalam beberapa bulan terakhir. Sebagian besar menentang hukuman yang dijatuhkan pengadilan Indonesia kepada duo tersebut.

Bahkan, pemerintah Australia menggunakan berbagai macam cara untuk membujuk pemerintah Indonesia agar hukuman mati bisa diluputkan. Pada saat bersamaan, pemerintah Australia secara tegas menyuarakan sikap anti-hukuman mati. Andrew Chan dan Myuran Sukumaran ditangkap di Bali pada 2006 saat berupaya menyelundupkan 8,3 kilogram heroin.

Sikap itu bukanlah sesuatu yang baru. Pada 1993, pemerintah Australia menentang tindakan pemerintah Malaysia yang mengeksekusi dua penyelundup heroin bernama Michael McAuliffe dan Kevin Barlow. Sebelumnya, pada 1986, sikap itu juga diutarakan tatkala Malaysia mengeksekusi Brian Chambers.

Lalu, pada 2005, pemerintah Australia juga menolak aksi Singapura yang mengeksekusi warga Australia bernama Van Tuong Nguyen pada 2005 ketika diketahui dia berupaya menyelundupkan heroin di tubuhnya.

Di Australia, alasan mengapa sebagian besar orang menolak hukuman mati karena hukuman tersebut dipandang tidak manusiawi. Ada pula anggapan negatif bahwa sistem hukum negara-negara yang mengeksekusi terpidana mati cenderung korup.

Anggapan itu mengemuka lagi ketika seorang pengacara di Bali, Muhammad Rifan, mengatakan kepada surat kabar the Sydney Morning Herald bahwa dia sepakat membayar majelis hakim sebesar A$ 130.000 atau sekitar Rp 1,3 miliar agar Chan dan Sukumaran dijatuhi hukuman penjara kurang dari 20 tahun.

Rifan mengaku uang telah dibayarkan, namun majelis hakim mengatakan mereka telah diperintahkan pejabat senior pemerintah untuk menerapkan hukuman mati.

Belakangan, salah seorang hakim menepis pengakuan Rifan. Menurutnya, mereka menjatuhkan putusan tanpa campur tangan politik atau negosiasi di bawah meja.
Standar ganda http://ichef.bbci.co.uk/news/ws/624/amz/worldservice/live/assets/images/2015/03/11/150311072535_execution_injection_624x351_ap.jpgAmerika Serikat telah menembak, menyetrum, menggantung, dan menyuntik mati lebih dari 1.400 terpidana sejak 1976.

Masalahnya, pemerintah Australia dan rakyat negara tersebut jarang ada yang peduli dengan hukuman mati bila itu terjadi di Amerika Serikat.

Sekadar catatan, AS telah menembak, menyetrum, menggantung, dan menyuntik mati lebih dari 1.400 terpidana sejak 1976. Bahkan, saat ini masih ada 3.000 narapidana lain yang menunggu hukuman mati di sana.

Pemerintah Australia juga tidak cukup menyuarakan ancaman pemutusan hubungan dagang dengan Cina yang diperkirakan mengeksekusi ribuan orang setiap tahun.

Kini, PM Tony Abbott menyatakan akan menarik duta besarnya dari Jakarta. Hubungan antara Australia dan Indonesia pun diperkirakan akan memanas dalam waktu dekat.

Namun, cepat atau lambat, saya menduga hubungan kedua negara akan kembali normal. Sebab, Australia memerlukan Indonesia. Sebagian besar dana bantuan Australia mengalir ke ranah anti-terorisme dan memerangi arus imigran di Indonesia.

Tunggulah beberapa bulan ke depan dan amat mungkin rakyat Australia, termasuk pemerintah Australia, tidak akan ambil peduli tatkala Indonesia kembali mengeksekusi terpidana mati yang tidak berasal dari ‘Negeri Kanguru’.
Australia Tak Tarik Dubes Ketika Singapura Eksekusi Warganya http://images.cnnindonesia.com/visual/2015/02/25/0a5c957e-6e87-4f13-98b6-83ee7c37cc7d_169.jpg?w=650Australia tidak menarik dubesnya dari Singapura ketika warganya dieksekusi di Singapura pada 2005, juga karena mencoba menyelundupkan narkoba. (Reuters/Beawiharta)

Perdana Menteri Australia Tony Abbott menarik duta besarnya untuk Indonesia menyusul eksekusi dua warga negara Australia yang menjadi terpidana mati kasus narkoba, Andrew Chan dan Myuran Sukumaran pada Rabu (29/4) pukul 00.35 WIB.

Menteri Luar Negeri Indonesia Retno Marsudi pada Rabu pagi mengatakan bahwa pihak Kementeria Luar Negeri belum menerima surat resmi penarikan dubes Australia tersebut.

Sementara pengamat internasional Hikmahanto Juwana mengatakan Indonesia tak perlu bereaksi atas respons Australia tersebut.

Namun sepertinya, kebijakan Australia tak selalu sama.

Van Tuong Nguyen adalah warga negara Australia yang dieksekusi oleh Singapura satu dekade lalu, juga karena menyelundupkan narkoba.

Ia tertangkap tangan pada 2002 ketika membawa heroin seberat 396,2 gram yang dililitkan di sekeliling tubuhnya dan diletakkan di dalam koper. Ia dieksekusi pada 2 Desember 2005 setelah permohonan ampun yang ia ajukan ditolak oleh Perdana Menteri Singapura, Lee Hsien Loong.

Saat itu, Australia tidak memanggil duta besarnya dari Singapura terkait eksekusi.

Perbedaaan perlakuan ini, menurut Hikmahanto, didasari pada tiga hal.

“Pertama, kebijakan pemerintah kan tergantung siapa yang menang dalam pemilu. Kedua karena di Australia sekarang sedang ada pertarungan politik internal untuk mendapat kursi perdana menteri jadi para politisi cari isu politik yang seksi. Mungkin di 2005 tidak seperti itu,” jelas Hikmahanto saat dihubungi CNN Indonesia pada Rabu.

Tapi Hikmahanto juga berpendapat, selain persoalan internal, bisa jadi apa yang mendasari perbedaan kebijakakan Australia adalah cara mereka memandang Indonesia.

“Ketiga, ya mungkin menurut pemerintah Australia sekarang, Indonesia lebih bisa ditekan dari pada Singapura,” tuturnya.

Panas dingin hubungan Indonesia dan Australia memang kerap bergejolak. Pada 2012 misalnya, hubungan Indoneia Australia sempat tegang setelah sebuah toko di Australia memajang bendera Bintang Kejora miliki Organisasi Papua Merdeka (OPM). Pada 2013, hubungan kembali memanas karena WikiLeaks membocorkan dokumen bahwa Australia menyadap telepon seluler milik mantan Presiden SBY dan Ibu Ani serta beberapa pejabat lain. (stu)
Penarikan Dubes Australia Intrik Politik http://images.cnnindonesia.com/visual/2015/04/24/9f225d0d-7b4b-4017-a59e-ad4106461854_169.jpg?w=650Wakil Presiden Jusuf Kalla (kanan) berbincang dengan Perdana Menteri Malaysia Mohd Najib Tun Razak.

Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) menilai penarikan Duta Besar Australia dari Indonesia merupakan salah satu bentuk intrik politik lokal.

"Biasa saja (penarikan dubes), itu hanya lebih pada kepentingan domestik politik. Itu hanya bentuk protes," kata JK di kantornya, Jakarta, Rabu (29/4).

JK menilai bentuk protes yang dilayangkan Australia sama halnya dengan protes yang dilayangkan Indonesia saat ada warga negaranya yang terancam hukuman mati.

JK menambahkan dalam hubungan dua negara soal penarikan dubes bagian dari pasang surut hubungan diplomatik. Sayangnya, kata JK, negara lain menilai keputusan eksekusi mati ini ditangan Presiden Jokowi bukan ditangan hakim.

Untuk diketahui, Perdana Menteri Australia Tony Abbott menarik duta besarnya untuk Indonesia menyusul eksekusi dua warga negara Australia yang menjadi terpidana mati kasus narkoba, Andrew Chan dan Myuran Sukumaran pada Rabu (29/4) pukul 00.35 WIB.

“Australia menghormati sistem Indonesia. Kami menghormati kedaulatan Indonesia, tetapi kami menyesalkan eksekusi ini dan hal ini tidak bisa membuat kami memiliki hubungan seperti dahulu. Untuk alasan itu, setelah selesai membantu semua keperluan keluarga Chan dan Sukuran, duta besar kami akan ditarik pulang untuk konsultasi,” kata Abbott saat konferensi pers di Canberra pada Rabu, dikutip dari Reuters.

Chan dan Sukumaran dieksekusi berbarengan terpidana mati narkoba lain, yakni empat warga Nigeria, Jamiu Owolabi Abashin yang lebih dikenal sebagai Raheem Agbage Salami, Okwudili Oyatanze, Martin Anderson, dan Silvester Obiekwe Nwolise, warga negara Brasil Rodrigo Gularte, dan Zainal Abidin dari Indonesia. (obs)

  BBC | CNN  

0 komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More