Fasilitas Data Center. (ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan) ☆
Fenomena data digital memang sungguh kasat mata. Produksi data digital di Indonesia, terutama melalui media sosial, berada di deretan teratas dibanding negara-negara maju sekalipun. Aplikasi media sosial seperti Facebook, Twitter, YouTube, Instagram, atau instant messaging WhatsApp, BBM, Line, dan WeChat, merupakan platform yang paling populer digunakan untuk menikmati dan bertukar data digital antar pengguna.
Ledakan data digital ini semakin hebat ditambah dengan adanya keterhubungan warga terhadap perangkat telekomunikasi di Indonesia yang sudah mencapai 126 persen. Artinya, saat ini jumlah telepon seluler di Indonesia lebih banyak 26 persen dibandingkan jumlah total penduduk Indonesia yang sebesar 260 juta jiwa. Sementara itu, jumlah nomor unik pengguna telepon seluler di Indonesia sudah mencapai lebih dari 160 juta.
Ledakan Data
Berdasarkan laporan International Data Corporation (IDC), sejak tahun 2014 pertumbuhan data meningkat dua kali lipat setiap dua tahun. Dengan bertumpu pada jumlah data digital saat ini, IDC memperkirakan bahwa pada tahun 2020 jumlah data digital akan mencapai kurang lebih 44 triliun GB.
Menurut laporan ini juga, antara tahun 2013 hingga 2020, 60 persen dari data digital yang dihasilkan dari negara-negara maju akan bertukar tempat dengan data-data dari negara berkembang. Artinya, penduduk di negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, akan lebih banyak memproduksi data digital dalam kurun waktu 4-5 tahun mendatang.
Produksi data digital sudah tidak terelakkan. Setiap entitas dalam organisasi memproduksi data setiap detiknya, yang selanjutnya memerlukan alat penyimpanan – baik dalam bentuk yang sederhana hingga yang sarat dengan teknologi tinggi. Data tersebut bisa saja diakses secara periodik, atau hanya sesekali dalam hitungan bulan atau tahun.
Pemerintah sendiri menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik, yang salah satu pasalnya mewajibkan setiap organisasi atau lembaga penyelenggara sistem elektronik yang melayani publik wajib menempatkan pusat data (data center) dan pusat pemulihan bencana (disaster recovery center) di wilayah Indonesia untuk kepentingan penegakan hukum, perlindungan, dan penegakan kedaulatan negara terhadap data warga negaranya.
Di Indonesia sendiri, pertumbuhan perusahaan penyedia layanan data terjadi secara organik sejalan dengan makin meningkatnya permintaan dari banyak organisasi dan perusahaan yang beroperasi di Indonesia dalam hal penyimpanan dan pengelolaan data.
Data Center Yang Ideal
Lalu, bagaimana penyedia layanan seharusnya menyediakan sistem dan membangun teknologi pusat data (data center) yang dapat membayar lunas kepercayaan para pelanggannya? Apa saja kriteria layanan pusat data ideal yang dianggap sebagai acuan dalam industri data center?
Pertama, lokasi. Lokasi yang dipilih haruslah di tempat yang strategis, memiliki dukungan ketersediaan listrik yang reliabel dan kontinyu, suplai air yang terjaga, memiliki pilihan jaringan yang menghubungkan data center dengan jalur jaringan di lokasi pelanggan, dan memiliki daya dukung lingkungan yang kuat dari sisi keamanan serta minim gangguan dari sisi faktor-faktor alam seperti banjir atau gempa bumi. Di samping itu, keberadaan hutan mini di sekitar lokasi data center misalnya, juga akan memperkuat efek ‘green’ selain memberikan daya tarik yang lebih bagi pelanggan.
Kedua, operasi. Penyedia data center yang ideal haruslah memenuhi standar teknologi yang dipersyaratkan oleh industri. Sebagai contoh, teknologi data center terkini sudah menggunakan pendekatan teknologi cold containment, efisiensi pemanfaatan tenaga listrik, penggunaan water chiller hingga penyuplai listrik DRUPS (Dynamic Rotary Uninteruptable Power Supply) dan LED yang tidak mengandung bahan beracun.
Kesemuanya ditujukan guna menurunkan tingkat konsumsi listrik, menjaga kelangsungan dan keamanan pasokan daya listrik.
Ketiga, keamanan. Keamanan di sini menyangkut dua aspek, yakni keamanan dari sisi fisik dan non-fisik. Secara fisik, faktor keamanan dinilai mulai dari keamanan lingkungan, keamanan gedung atau bangunan yang digunakan, dan manajemen keamanan yang mengatur semua aset dalam gedung.
Sementara itu, keamanan non-fisik menyangkut teknologi apa saja yang digunakan untuk melindungi data-data pelanggan mereka dari risiko peretasan, pencurian, sampai dengan infiltrasi virus yang berpotensi mengacaukan sistem operasi.
Keempat, fasilitas. Fasilitas penting seperti dukungan transportasi (misalnya fasilitas penjemputan dengan helikopter untuk memudahkan pelanggan mengakses data dalam keadaan darurat), fasilitas umum dan kesehatan, dan fasilitas infrastruktur kelistrikan yang andal seperti gas dan BBM.
Itulah beberapa tantangan dalam pengembangan industri data center di Indonesia. Sejauh ini, beberapa perusahaan penyedia layanan tersebut sudah mulai menawarkan kelengkapan yang ideal tersebut, sehingga dapat menjadi salah satu alternatif pilihan untuk menggunakan jasa mereka. Hal ini tentu saja sejalan dengan strategi Presiden Joko Widodo untuk membangun Indonesia menjadi bangsa yang mandiri dalam teknologi digital.
* Praktisi TI dan Sekretaris Jenderal Asosiasi Penyelenggara Data Center Indonesia (IDPRO)
Fenomena data digital memang sungguh kasat mata. Produksi data digital di Indonesia, terutama melalui media sosial, berada di deretan teratas dibanding negara-negara maju sekalipun. Aplikasi media sosial seperti Facebook, Twitter, YouTube, Instagram, atau instant messaging WhatsApp, BBM, Line, dan WeChat, merupakan platform yang paling populer digunakan untuk menikmati dan bertukar data digital antar pengguna.
Ledakan data digital ini semakin hebat ditambah dengan adanya keterhubungan warga terhadap perangkat telekomunikasi di Indonesia yang sudah mencapai 126 persen. Artinya, saat ini jumlah telepon seluler di Indonesia lebih banyak 26 persen dibandingkan jumlah total penduduk Indonesia yang sebesar 260 juta jiwa. Sementara itu, jumlah nomor unik pengguna telepon seluler di Indonesia sudah mencapai lebih dari 160 juta.
Ledakan Data
Berdasarkan laporan International Data Corporation (IDC), sejak tahun 2014 pertumbuhan data meningkat dua kali lipat setiap dua tahun. Dengan bertumpu pada jumlah data digital saat ini, IDC memperkirakan bahwa pada tahun 2020 jumlah data digital akan mencapai kurang lebih 44 triliun GB.
Menurut laporan ini juga, antara tahun 2013 hingga 2020, 60 persen dari data digital yang dihasilkan dari negara-negara maju akan bertukar tempat dengan data-data dari negara berkembang. Artinya, penduduk di negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, akan lebih banyak memproduksi data digital dalam kurun waktu 4-5 tahun mendatang.
Produksi data digital sudah tidak terelakkan. Setiap entitas dalam organisasi memproduksi data setiap detiknya, yang selanjutnya memerlukan alat penyimpanan – baik dalam bentuk yang sederhana hingga yang sarat dengan teknologi tinggi. Data tersebut bisa saja diakses secara periodik, atau hanya sesekali dalam hitungan bulan atau tahun.
Pemerintah sendiri menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik, yang salah satu pasalnya mewajibkan setiap organisasi atau lembaga penyelenggara sistem elektronik yang melayani publik wajib menempatkan pusat data (data center) dan pusat pemulihan bencana (disaster recovery center) di wilayah Indonesia untuk kepentingan penegakan hukum, perlindungan, dan penegakan kedaulatan negara terhadap data warga negaranya.
Di Indonesia sendiri, pertumbuhan perusahaan penyedia layanan data terjadi secara organik sejalan dengan makin meningkatnya permintaan dari banyak organisasi dan perusahaan yang beroperasi di Indonesia dalam hal penyimpanan dan pengelolaan data.
Data Center Yang Ideal
Lalu, bagaimana penyedia layanan seharusnya menyediakan sistem dan membangun teknologi pusat data (data center) yang dapat membayar lunas kepercayaan para pelanggannya? Apa saja kriteria layanan pusat data ideal yang dianggap sebagai acuan dalam industri data center?
Pertama, lokasi. Lokasi yang dipilih haruslah di tempat yang strategis, memiliki dukungan ketersediaan listrik yang reliabel dan kontinyu, suplai air yang terjaga, memiliki pilihan jaringan yang menghubungkan data center dengan jalur jaringan di lokasi pelanggan, dan memiliki daya dukung lingkungan yang kuat dari sisi keamanan serta minim gangguan dari sisi faktor-faktor alam seperti banjir atau gempa bumi. Di samping itu, keberadaan hutan mini di sekitar lokasi data center misalnya, juga akan memperkuat efek ‘green’ selain memberikan daya tarik yang lebih bagi pelanggan.
Kedua, operasi. Penyedia data center yang ideal haruslah memenuhi standar teknologi yang dipersyaratkan oleh industri. Sebagai contoh, teknologi data center terkini sudah menggunakan pendekatan teknologi cold containment, efisiensi pemanfaatan tenaga listrik, penggunaan water chiller hingga penyuplai listrik DRUPS (Dynamic Rotary Uninteruptable Power Supply) dan LED yang tidak mengandung bahan beracun.
Kesemuanya ditujukan guna menurunkan tingkat konsumsi listrik, menjaga kelangsungan dan keamanan pasokan daya listrik.
Ketiga, keamanan. Keamanan di sini menyangkut dua aspek, yakni keamanan dari sisi fisik dan non-fisik. Secara fisik, faktor keamanan dinilai mulai dari keamanan lingkungan, keamanan gedung atau bangunan yang digunakan, dan manajemen keamanan yang mengatur semua aset dalam gedung.
Sementara itu, keamanan non-fisik menyangkut teknologi apa saja yang digunakan untuk melindungi data-data pelanggan mereka dari risiko peretasan, pencurian, sampai dengan infiltrasi virus yang berpotensi mengacaukan sistem operasi.
Keempat, fasilitas. Fasilitas penting seperti dukungan transportasi (misalnya fasilitas penjemputan dengan helikopter untuk memudahkan pelanggan mengakses data dalam keadaan darurat), fasilitas umum dan kesehatan, dan fasilitas infrastruktur kelistrikan yang andal seperti gas dan BBM.
Itulah beberapa tantangan dalam pengembangan industri data center di Indonesia. Sejauh ini, beberapa perusahaan penyedia layanan tersebut sudah mulai menawarkan kelengkapan yang ideal tersebut, sehingga dapat menjadi salah satu alternatif pilihan untuk menggunakan jasa mereka. Hal ini tentu saja sejalan dengan strategi Presiden Joko Widodo untuk membangun Indonesia menjadi bangsa yang mandiri dalam teknologi digital.
* Praktisi TI dan Sekretaris Jenderal Asosiasi Penyelenggara Data Center Indonesia (IDPRO)
0 komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.