✈ Satelit LAPAN ✈ Peluncuran Satelit BRISat hari Minggu kemaren.
Peluncuran satelit buatan Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) tak sekedar mengejar manfaatnya di berbagai bidang. LAPAN-A3 yang dijadwalkan meluncur 22 Juni 2016, juga satelit LAPAN lainnya, adalah upaya meretas jalan mewujudkan kemandirian teknologi antariksa.
Rabu (22/6/2016) akan menjadi penantian LAPAN dalam mengukir kembali sejarah perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang satelit. LAPAN bersiap meluncurkan Satelit LAPAN-A3 (disebut juga LAPAN-A3/IPB) dari Pusat Antariksa Satihs Dhawan, Sriharikota, India, pada pukul 10.55 waktu setempat.
Satelit karya anak bangsa yang dikembangkan di Pusat Teknologi Satelit LAPAN, Rancabungur, Bogor ini membawa misi penginderaan jauh eksperimental untuk memantau lahan pertanian, maritim dan pemantauan medan magnet Bumi untuk penelitian.
“Satelit Lapan-A3 akan mengorbit secara polar dengan jangkauan ketinggian sekitar 500 km. Satelit ini mengelilingi bumi sebanyak 14 kali dan melintasi Indonesia 4 kali setiap harinya. Ini bekerjasama dengan IPB nanti IPB akan mengekstrak informasi pertanian,” terang Kepala LAPAN Thomas Djamaluddin, Senin (20/6/2016).
Satelit LAPAN-A3 diluncurkan dengan menumpang Roket PSLV-C34 milik India. Peluncurannya menumpang misi utama peluncuran Cartosat (India), serta dua satelit buatan perguruan tinggi di India, yaitu Sathyabamasat dan Swayam.
Disebutkan Thomas, total ada 20 satelit. Tak hanya Indonesia, beberapa negara juga ikut serta dalam misi peluncuran tersebut dengan cara piggyback (menumpang roket). Mereka adalah Amerika Serikat (SkySat Gen2-1 dan Dove Satellites), Jerman (BIROS) dan Kanada (GHGSat-D dan M3Msat).
“Saat ini ada 14 satelit atas nama Indonesia. Enam masih aktif, yaitu 3 satelit komunikasi: Telkom 1, Telkom 2, Palapa D. Ditambah 1 BRISat yang sedang menuju slot orbit. Dan 2 satelit milik LAPAN: LAPAN A1 dan A2. Selebihnya 8 satelit sudah menjadi sampah antariksa,” rinci Thomas.
Pentingnya Satelit
Peluncuran satelit LAPAN A2/ORARI (Rengga Sancaya/detikcom)
Teknologi informasi dan teknologi antariksa tidak bisa dipisahkan dari kehidupan manusia modern. Bukan hanya dalam skala besar negara dan korporasi, tetapi juga dalam skala mikro individual.
Mengerucut pada bidang antariksa, menurut Thomas, teknologi antariksa bukan lagi kebutuhan negara-negara maju. Semua negara membutuhkannya untuk berbagai sektor kehidupan.
“Telekomunikasi dan media massa saat ini sangat bergantung pada teknologi satelit. Sektor perekonomian juga sangat dipermudah dengan berbagai fasilitas komunikasi data yang mengandalkan satelit,” kata Thomas.
Dia memberikan contoh di bidang pertanian. Data satelit sangat dibutuhkan untuk memperkirakan iklim dan fase pertumbuhan tanaman untuk pemantauan skala nasional.
Sektor kehutanan misalnya. Tidak bisa lagi mengandalkan pemantauan konvensional. Saat ini sudah sangat bergantung pada satelit penginderaan jauh. Demikian pula di sektor kemaritiman. Untuk Indonesia yang sebagian besar wilayahnya berupa laut, mutlak memerlukan satelit.
“Untuk skala mikro individu, manusia modern sangat bergantung pada gadget yang secara operasional tidak bisa optimal tanpa penggunaan satelit,” sebut pria berkacamata ini.
Indonesia sejak 1976 menjadi negara pengguna satelit komunikasi, ketiga setelah Amerika Serikat dan Kanada. Sejak 1980-an pula Indonesia memanfaatkan data-data penginderaan jauh dari satelit internasional.
“Indonesia sudah lama menjadi negara yang bergantung pada teknologi antariksa. LAPAN yang lahir pada 1963, mempunyai misi untuk membangun kemandirian teknologi antariksa, juga teknologi yang terkait dengannya teknologi aeronotika atau penerbangan,” jelas Thomas.
Meretas Jalan Menuju Kemandirian
RX-550 LAPAN [audrey]
Dengan segala tantangannya, jalan menuju kemandirian teknologi antariksa mungkin masih panjang. Namun hal ini membakar semangat LAPAN mengejar ketertinggalan. Sejumlah pencapaian LAPAN beberapa tahun terakhir, menyumbang optimisme besar untuk dunia antariksa nasional.
Upaya kemandirian di bidang satelit secara bertahap telah dilakukan LAPAN dengan memulai membuat Satelit LAPAN-A1 (disebut juga LAPAN-TUBSAT) diikuti peluncurannya di 2007. Selanjutnya, menyusul Satelit LAPAN-A2 (LAPAN-ORARI) yang berhasil mengorbit tahun 2015.
Hasil karya teknologi anak bangsa ini telah memberikan manfaat di berbagai bidang. Di antaranya pemantauan permukaan bumi untuk pemetaan lahan dan wilayah, kegiatan tanggap darurat kebencanaan seperti gunung meletus, tanah longsor, dan banjir, serta pemantauan wilayah kepulauan Indonesia dan pergerakan kapal di wilayah perairan Indonesia.
“Pengembangan satelit murni dibuat di fasilitas LAPAN (sejak LAPAN-A2), walau untuk peluncurannya masih menggunakan roket India,” kata Thomas.
LAPAN tak berdiam diri. Cita-cita untuk mempunyai roket peluncur satelit dikejar secara bertahap melalui pengembangan roket sonda, roket penelitian atmosfer. Dalam pengejaran itu pun memang tak mudah, namun bukan alasan untuk tidak melakukan apa-apa.
“Fungsi ganda roket, untuk keperluan sipil dan militer, menjadi kendala dalam membangun kemampuan teknologi roket. Sungguh tidak mudah untuk menyekolahkan para peneliti untuk mendapatkan pendidikan lanjut bidang roket,” Thomas menyebut sejumlah kendala.
Tantangan lain adalah soal bahan baku. Untuk mendapatkan bahan baku tabung, nozel, dan bahan bakar roket (propelant) yang berkualitas tinggi sangat sulit.
“Capaian saat ini roket berdiameter 120 mm dan 220 mm dianggap telah mempunyai kinerja yang semakin baik. Roket berdiameter 320 mm dan 450 mm telah diujiterbangkan, sementara roket berdiamater 550 mm masih uji statik. Kestabilan trayektori roket juga terus ditingkatkan,” terangnya.
Sejumlah pencapaian LAPAN memperlihatkan keseriusan lembaga ini mengebut proyek pembangunan dunia antariksa nasional. Pencapaian ini akan membuka jalan kepada pencapaian lain di depan sana, yang akan mengantar pada kemandirian teknologi antariksa nasional.
“Dengan segala keterbatasan jumlah SDM dan anggaran, LAPAN bertekad menjadi pusat unggulan secara bertahap. LAPAN mempunyai slogan sebagai ungkapan visi, “LAPAN unggul untuk Indonesia maju, LAPAN melayani untuk Indonesia mandiri,” tutupnya.
Peluncuran satelit buatan Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) tak sekedar mengejar manfaatnya di berbagai bidang. LAPAN-A3 yang dijadwalkan meluncur 22 Juni 2016, juga satelit LAPAN lainnya, adalah upaya meretas jalan mewujudkan kemandirian teknologi antariksa.
Rabu (22/6/2016) akan menjadi penantian LAPAN dalam mengukir kembali sejarah perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang satelit. LAPAN bersiap meluncurkan Satelit LAPAN-A3 (disebut juga LAPAN-A3/IPB) dari Pusat Antariksa Satihs Dhawan, Sriharikota, India, pada pukul 10.55 waktu setempat.
Satelit karya anak bangsa yang dikembangkan di Pusat Teknologi Satelit LAPAN, Rancabungur, Bogor ini membawa misi penginderaan jauh eksperimental untuk memantau lahan pertanian, maritim dan pemantauan medan magnet Bumi untuk penelitian.
“Satelit Lapan-A3 akan mengorbit secara polar dengan jangkauan ketinggian sekitar 500 km. Satelit ini mengelilingi bumi sebanyak 14 kali dan melintasi Indonesia 4 kali setiap harinya. Ini bekerjasama dengan IPB nanti IPB akan mengekstrak informasi pertanian,” terang Kepala LAPAN Thomas Djamaluddin, Senin (20/6/2016).
Satelit LAPAN-A3 diluncurkan dengan menumpang Roket PSLV-C34 milik India. Peluncurannya menumpang misi utama peluncuran Cartosat (India), serta dua satelit buatan perguruan tinggi di India, yaitu Sathyabamasat dan Swayam.
Disebutkan Thomas, total ada 20 satelit. Tak hanya Indonesia, beberapa negara juga ikut serta dalam misi peluncuran tersebut dengan cara piggyback (menumpang roket). Mereka adalah Amerika Serikat (SkySat Gen2-1 dan Dove Satellites), Jerman (BIROS) dan Kanada (GHGSat-D dan M3Msat).
“Saat ini ada 14 satelit atas nama Indonesia. Enam masih aktif, yaitu 3 satelit komunikasi: Telkom 1, Telkom 2, Palapa D. Ditambah 1 BRISat yang sedang menuju slot orbit. Dan 2 satelit milik LAPAN: LAPAN A1 dan A2. Selebihnya 8 satelit sudah menjadi sampah antariksa,” rinci Thomas.
Pentingnya Satelit
Peluncuran satelit LAPAN A2/ORARI (Rengga Sancaya/detikcom)
Teknologi informasi dan teknologi antariksa tidak bisa dipisahkan dari kehidupan manusia modern. Bukan hanya dalam skala besar negara dan korporasi, tetapi juga dalam skala mikro individual.
Mengerucut pada bidang antariksa, menurut Thomas, teknologi antariksa bukan lagi kebutuhan negara-negara maju. Semua negara membutuhkannya untuk berbagai sektor kehidupan.
“Telekomunikasi dan media massa saat ini sangat bergantung pada teknologi satelit. Sektor perekonomian juga sangat dipermudah dengan berbagai fasilitas komunikasi data yang mengandalkan satelit,” kata Thomas.
Dia memberikan contoh di bidang pertanian. Data satelit sangat dibutuhkan untuk memperkirakan iklim dan fase pertumbuhan tanaman untuk pemantauan skala nasional.
Sektor kehutanan misalnya. Tidak bisa lagi mengandalkan pemantauan konvensional. Saat ini sudah sangat bergantung pada satelit penginderaan jauh. Demikian pula di sektor kemaritiman. Untuk Indonesia yang sebagian besar wilayahnya berupa laut, mutlak memerlukan satelit.
“Untuk skala mikro individu, manusia modern sangat bergantung pada gadget yang secara operasional tidak bisa optimal tanpa penggunaan satelit,” sebut pria berkacamata ini.
Indonesia sejak 1976 menjadi negara pengguna satelit komunikasi, ketiga setelah Amerika Serikat dan Kanada. Sejak 1980-an pula Indonesia memanfaatkan data-data penginderaan jauh dari satelit internasional.
“Indonesia sudah lama menjadi negara yang bergantung pada teknologi antariksa. LAPAN yang lahir pada 1963, mempunyai misi untuk membangun kemandirian teknologi antariksa, juga teknologi yang terkait dengannya teknologi aeronotika atau penerbangan,” jelas Thomas.
Meretas Jalan Menuju Kemandirian
RX-550 LAPAN [audrey]
Dengan segala tantangannya, jalan menuju kemandirian teknologi antariksa mungkin masih panjang. Namun hal ini membakar semangat LAPAN mengejar ketertinggalan. Sejumlah pencapaian LAPAN beberapa tahun terakhir, menyumbang optimisme besar untuk dunia antariksa nasional.
Upaya kemandirian di bidang satelit secara bertahap telah dilakukan LAPAN dengan memulai membuat Satelit LAPAN-A1 (disebut juga LAPAN-TUBSAT) diikuti peluncurannya di 2007. Selanjutnya, menyusul Satelit LAPAN-A2 (LAPAN-ORARI) yang berhasil mengorbit tahun 2015.
Hasil karya teknologi anak bangsa ini telah memberikan manfaat di berbagai bidang. Di antaranya pemantauan permukaan bumi untuk pemetaan lahan dan wilayah, kegiatan tanggap darurat kebencanaan seperti gunung meletus, tanah longsor, dan banjir, serta pemantauan wilayah kepulauan Indonesia dan pergerakan kapal di wilayah perairan Indonesia.
“Pengembangan satelit murni dibuat di fasilitas LAPAN (sejak LAPAN-A2), walau untuk peluncurannya masih menggunakan roket India,” kata Thomas.
LAPAN tak berdiam diri. Cita-cita untuk mempunyai roket peluncur satelit dikejar secara bertahap melalui pengembangan roket sonda, roket penelitian atmosfer. Dalam pengejaran itu pun memang tak mudah, namun bukan alasan untuk tidak melakukan apa-apa.
“Fungsi ganda roket, untuk keperluan sipil dan militer, menjadi kendala dalam membangun kemampuan teknologi roket. Sungguh tidak mudah untuk menyekolahkan para peneliti untuk mendapatkan pendidikan lanjut bidang roket,” Thomas menyebut sejumlah kendala.
Tantangan lain adalah soal bahan baku. Untuk mendapatkan bahan baku tabung, nozel, dan bahan bakar roket (propelant) yang berkualitas tinggi sangat sulit.
“Capaian saat ini roket berdiameter 120 mm dan 220 mm dianggap telah mempunyai kinerja yang semakin baik. Roket berdiameter 320 mm dan 450 mm telah diujiterbangkan, sementara roket berdiamater 550 mm masih uji statik. Kestabilan trayektori roket juga terus ditingkatkan,” terangnya.
Sejumlah pencapaian LAPAN memperlihatkan keseriusan lembaga ini mengebut proyek pembangunan dunia antariksa nasional. Pencapaian ini akan membuka jalan kepada pencapaian lain di depan sana, yang akan mengantar pada kemandirian teknologi antariksa nasional.
“Dengan segala keterbatasan jumlah SDM dan anggaran, LAPAN bertekad menjadi pusat unggulan secara bertahap. LAPAN mempunyai slogan sebagai ungkapan visi, “LAPAN unggul untuk Indonesia maju, LAPAN melayani untuk Indonesia mandiri,” tutupnya.
0 komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.