Laporan dari Wina dok.ptri wina★
Indonesia menekankan pentingnya itikad baik dan alih teknologi melalui bantuan teknis dan sumber daya dalam pemanfaatan teknologi keantariksaan secara damai.
Demikian posisi Indonesia yang disampaikan Wakil Duta Besar/Dewatapri Wina Febrian Ruddyard selaku Ketua Delegasi RI pada Sidang ke-52 Science and Technical Sub Committee of the United Nations Committee on the Peaceful Uses of Outer Space/STCSC-UNCOPUOS (Sub Komite Ilmu Pengetahuan dan Teknis dari Komite PBB tentang Penggunaan Antariksa untuk Tujuan Damai) di Wina, Austria.
Sidang yang saat ini tengah berlangsung, dimulai 2 Februari sampai 13 Februari 2015, dipimpin oleh Elod Both (Hungaria) dan dihadiri oleh lebih dari 200 delegasi mewakili negara-negara pihak dan peninjau pada UNCOPUOS.
"Itikad baik dari semua negara dan alih teknologi di bidang keantariksaan merupakan faktor penting bagi pemanfaatan antariksa untuk tujuan damai guna menunjang pembangunan berkelanjutan, khususnya di negara berkembang," ujar Ruddyard.
Menurut Ruddyard, pemanfaatan teknologi keantariksaan untuk tujuan damai secara berkelanjutan tidak hanya dapat dicapai melalui pengembangan teknologi semata.
"Namun perlu dilandasi itikad baik dari negara-negara dan didasari prinsip keadilan, saling menguntungkan serta penghormatan atas integritas territorial dan kedaulatan suatu negara," tandas Ruddyard.
Mengenai alih teknologi, ditekankan pentingnya bantuan teknis dan sumber daya memadai bagi negara berkembang untuk meningkatkan kapasitas dalam mendukung upaya menuju space faring nations (negara-negara yang mampu membangun dan meluncurkan sendiri satelit dan kendaraan antariksa, red).
Fokus utama sidang ke-52 ini terkait masa depan kegiatan keantariksaan, khususnya kerjasama internasional antara negara maju dan negara berkembang dalam pemanfaatan teknologi keantariksaan bagi kegiatan-kegiatan damai guna mendukung tujuan agenda pembangunan PBB pasca 2015.
Sidang juga membahas beberapa agenda utama, antara lain pemanfaatan teknologi ruang angkasa bagi pembangunan berkelanjutan, space debris (sampah antariksa, red), penggunaan sumber tenaga nuklir di antariksa, dan kegiatan keantarikasaan secara berkelanjutan.
Sidang ini juga menandai 50 tahun perayaan perjalanan antariksa pertama oleh Kosmonot Rusia Alexey A. Leonov dan 40 tahun perayaan Apollo-Soyuz Test Project, suatu kerjasama keantariksaan pertama yang dikembangkan oleh Amerika Serikat dan Uni Soviet.
UNCOPUOS dibentuk pada 1959 sebagai forum multilateral dalam mendorong penelitian, pertukaran informasi serta perkembangan iptek dan hukum internasional di bidang keantariksaan.
UNCOPUOS saat ini beranggotakan 77 negara anggota PBB termasuk Indonesia. Sejak menjadi anggota (1973), Indonesia senantiasa aktif menyuarakan posisi, utamanya mendorong pengembangan kapasitas melalui bantuan teknis dalam pengembangan teknologi keantariksaan bagi negara-negara berkembang.
Bagi Indonesia akses berimbang dalam pengembangan kapasitas sangat penting untuk menjembatani kesenjangan teknologi yang saat ini masih terjadi, serta meningkatkan kemampuan negara-negara berkembang, termasuk Indonesia dalam kegiatan keantariksaan.
"Dalam hal ini, Indonesia juga menambahkan perlunya penghormatan integritas teritorial dalam pemanfaatan antariksa untuk tujuan damai," pungkas Ruddyard.
Indonesia menekankan pentingnya itikad baik dan alih teknologi melalui bantuan teknis dan sumber daya dalam pemanfaatan teknologi keantariksaan secara damai.
Demikian posisi Indonesia yang disampaikan Wakil Duta Besar/Dewatapri Wina Febrian Ruddyard selaku Ketua Delegasi RI pada Sidang ke-52 Science and Technical Sub Committee of the United Nations Committee on the Peaceful Uses of Outer Space/STCSC-UNCOPUOS (Sub Komite Ilmu Pengetahuan dan Teknis dari Komite PBB tentang Penggunaan Antariksa untuk Tujuan Damai) di Wina, Austria.
Sidang yang saat ini tengah berlangsung, dimulai 2 Februari sampai 13 Februari 2015, dipimpin oleh Elod Both (Hungaria) dan dihadiri oleh lebih dari 200 delegasi mewakili negara-negara pihak dan peninjau pada UNCOPUOS.
"Itikad baik dari semua negara dan alih teknologi di bidang keantariksaan merupakan faktor penting bagi pemanfaatan antariksa untuk tujuan damai guna menunjang pembangunan berkelanjutan, khususnya di negara berkembang," ujar Ruddyard.
Menurut Ruddyard, pemanfaatan teknologi keantariksaan untuk tujuan damai secara berkelanjutan tidak hanya dapat dicapai melalui pengembangan teknologi semata.
"Namun perlu dilandasi itikad baik dari negara-negara dan didasari prinsip keadilan, saling menguntungkan serta penghormatan atas integritas territorial dan kedaulatan suatu negara," tandas Ruddyard.
Mengenai alih teknologi, ditekankan pentingnya bantuan teknis dan sumber daya memadai bagi negara berkembang untuk meningkatkan kapasitas dalam mendukung upaya menuju space faring nations (negara-negara yang mampu membangun dan meluncurkan sendiri satelit dan kendaraan antariksa, red).
Fokus utama sidang ke-52 ini terkait masa depan kegiatan keantariksaan, khususnya kerjasama internasional antara negara maju dan negara berkembang dalam pemanfaatan teknologi keantariksaan bagi kegiatan-kegiatan damai guna mendukung tujuan agenda pembangunan PBB pasca 2015.
Sidang juga membahas beberapa agenda utama, antara lain pemanfaatan teknologi ruang angkasa bagi pembangunan berkelanjutan, space debris (sampah antariksa, red), penggunaan sumber tenaga nuklir di antariksa, dan kegiatan keantarikasaan secara berkelanjutan.
Sidang ini juga menandai 50 tahun perayaan perjalanan antariksa pertama oleh Kosmonot Rusia Alexey A. Leonov dan 40 tahun perayaan Apollo-Soyuz Test Project, suatu kerjasama keantariksaan pertama yang dikembangkan oleh Amerika Serikat dan Uni Soviet.
UNCOPUOS dibentuk pada 1959 sebagai forum multilateral dalam mendorong penelitian, pertukaran informasi serta perkembangan iptek dan hukum internasional di bidang keantariksaan.
UNCOPUOS saat ini beranggotakan 77 negara anggota PBB termasuk Indonesia. Sejak menjadi anggota (1973), Indonesia senantiasa aktif menyuarakan posisi, utamanya mendorong pengembangan kapasitas melalui bantuan teknis dalam pengembangan teknologi keantariksaan bagi negara-negara berkembang.
Bagi Indonesia akses berimbang dalam pengembangan kapasitas sangat penting untuk menjembatani kesenjangan teknologi yang saat ini masih terjadi, serta meningkatkan kemampuan negara-negara berkembang, termasuk Indonesia dalam kegiatan keantariksaan.
"Dalam hal ini, Indonesia juga menambahkan perlunya penghormatan integritas teritorial dalam pemanfaatan antariksa untuk tujuan damai," pungkas Ruddyard.
0 komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.