Garap Industri Teknologi 30 Tahun Lalu Tanpa Hasil Jakarta ☆ Minat
pengusaha di dalam negeri untuk mengembangkan industri berbasis
teknologi cukup tinggi. Namun kurangnya perhatian pemerintah terhadap
sektor ini sehingga tak berkembang, yang berkembang justru industri
pertambangan.
Direktur Utama PT Bukaka Teknik Utama Ahmad Kalla menyindir kebijakan yang diambil pemerintah. Menurutnya pemerintah hanya fokus mengembangkan industri tambang, sedangkan industri berbasis teknologi di Indonesia bergerak mundur.
"Kapan ada industri yang bisa membanggakan selain tambang. Ini adalah contoh yang buruk bukan. Bayang-bayang 30 tahun yang lalu kami (Bukaka) menggebu-gebu membuat teknologi dan kami bangun. Berusaha menjadi pahlawan tetapi keuntungan nggak ada. Akibatnya sejak krismon (krisis moneter) kami tidur nyenyak dan tidak ada satupun teknologi yang kami ciptakan karena nggak ada insentifnya," kata Ahmad saat dialog Kebangkitan Industri Barang Modal Dalam Negeri di Gedung Kementerian Perindustrian Jalan Gatot Subroto Jakarta, Kamis (3/04/2014).
Menurut Ahmad, banyak investor asing datang ke Indonesia hanya dengan satu tujuan yaitu berivestasi di sektor tambang. Sedangkan tidak ada ketertarikan investor asing untuk berinvestasi industri barang modal di dalam negeri termasuk sektor teknologi.
"Orang asing pada datang ke sini tetapi tidak ada investasi yang masuk ke barang modal. Tetapi masuk ke tambang," imbuhnya.
Meskipun investasi tambang berkembang pesat di dalam negeri, Bukaka tetap berinvestasi di sektor barang modal di dalam negeri. Salah satunya dengan membangun pembangkit listrik tenaga air (PLTA) Poso, Sulawesi Tengah.
"Tahun 2003 kami melihat industri yang tepat adalah tanah dan air. Tanah ini adalah tambang dan sawit. Kemudian air kami manfaatkan energi air. Alhamdulillah setelah berjuang kami selesaikan PLTA Poso dengan kapasitas listrik 203 megawatt seperti Jatiluhur," cetusnya.(wij/hen)
Bangun PLTA Berawal dari Beli Buku di Tiongkok Masyarakat Indonesia tidak usah pergi jauh-jauh ke Amerika Serikat (AS) atau Eropa untuk belajar teknologi. Pergi saja ke Tiongkok, karena segala ilmu pengetahuan dan teknologi berkembang di sana.
Hal ini disampaikan oleh Direktur Utama PT Bukaka Teknik Utama Ahmad Kalla saat dialog soal Kebangkitan Industri Barang Modal Dalam Negeri di Gedung Kementerian Perindustrian Jalan Gatot Subroto Jakarta, Kamis (3/4/2014).
"Untuk industri barang modal (industri berbasis teknologi) belajar ke Tiongkok jangan ke Amerika atau Eropa. Praktik teknologi cukup mudah ditemukan di Tiongkok," katanya.
Ia memberikan contoh keberhasilan Bukaka membangun Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Poso di Sulawesi Tengah. Namun siapa sangka ide pembangunan PLTA Poso didapat dari sebuah buku yang ia di sebuah toko buku di Tiongkok.
"Saya bangun PLTA Poso 203 megawatt dengan membaca buku yang saya beli di Tiongkok. Biasanya di dalam buku itu ada gambar shop drawing yang dijual di toko buku di Tiongkok, modelnya seperti itu," imbuhnya.
Menurutnya cara seperti ini jauh lebih murah dan efisien untuk dilakukan karena tidak perlu biaya untuk pra studi kelayakan. Bahkan dengan informasi yang lengkap di dalam buku itu, saat membuat langsung PLTA Poso, Bukaka tidak menyewa teknisi asing dan hanya menggunakan teknisi yang ada di dalam negeri.
"Jadi tidak perlu lagi ada Research and Development. Jadi menurut saya, mari bekerja yang simpel dulu saja. Membangun PLTA Poso ini semua teknisi yang kita pakai dari dalam negeri dari 0 dan hanya nyontek dari buku itu saja. Jadi nyontek kiri dan kanan saja. Kami bangun juga PLTU di Gresik tidak pakai kontraktor asing. Maksud saya hal yang simpel ini ya dibikin simpel," jelasnya.(wij/hen)
Sindir Soal Dana Subsidi Triliunan Tapi Infrastruktur RI MinimKalangan pengusaha kerap kali menyindir pemerintah yang lebih banyak menganggarkan dana subsidi termasuk untuk energi. Namun dana infrastruktur sangat minim, sehingga dunia usaha sulit bersaing di tingkat global.
Direktur Utama PT Bukaka Teknik Utama Ahmad Kalla menyatakan pemberian subsidi yang terlalu besar dinilai tidak tepat apalagi kondisi infrastruktur di Indonesia sangat minim.
"Yang mematikan kita ini adalah subsidi. Bayangkan untuk subsidi listrik itu naik dari Rp 42 triliun menjadi Rp 90 triliun. Lalu siapa yang membiayai infrastruktur kita? Kita lihat struktur APBN kita kecil untuk infrastruktur. Anggaran kita itu jauh lebih besar untuk pendidikan, anggaran kementerian, daerah dan umumnya subsidi. Padahal membangun infrastruktur harus banyak insentif," kata Ahmad saat dialog Kebangkitan Industri Barang Modal Dalam Negeri di Gedung Kementerian Perindustrian Jalan Gatot Subroto Jakarta, Kamis (3/04/2014).
Ia mencontohkan buruknya infrastruktur di Indonesia terlihat dari minimnya ketersediaan listrik. Padahal permintaan listrik setiap tahun mengalami pertumbuhan. Sayangnya PT PLN (Persero) tidak mampu mencukupi kebutuhan listrik di dalam negeri, sehingga butuh dukungan swasta.
"Listrik saja untuk kebutuhan normal kita tidak cukup. Target PLN pertumbuhan permintaan listrik yang diberikan hanya 8%. Kalau mau ekonomi melaju 6% per tahun, perlu ada pertumbuhan listrik sebesar 9% dan 1,5% untuk menggantikan infrastruktur listrik yang cukup tua," imbuhnya.
Pemerintah telah menganggarkan pembangunan infrastruktur dalam APBN 2014 sebesar Rp 206 triliun. Jumlah itu tumbuh 11,77% dibandingkan pagu pembangunan infrastruktur APBN Perubahan 2013 yaitu Rp 188 triliun. Sedangkan dana subsidi untuk BBM saja mencapai Rp 200 triliun lebih.
Menurut Ahmad jumlah itu masih kurang untuk membangun infrastruktur di Indonesia. Pemerintah harus berani mengurangi pemberian subsidi yang kemudian dialokasikan ke anggaran infrastruktur. Bila tidak dilakukan, lebih baik pemerintah tidur saja.
"Lebih baik kita tidur lagi dan lebih enak tidur. Saya pesimis kita bisa bangkit," cetusnya.(wij/hen)
PT Bukaka Pernah Berniat Garap Monorel di JakartaDirektur Utama PT Bukaka Teknik Utama Ahmad Kalla mengakui perusahaannya ingin ikutan menggarap proyel monorel di Jakarta. Bukaka bahkan sudah membuat prototype monorel yang layak digunakan masyarakat Jakarta. Namun ide itu belum sempat ia berikan kepada Pemprov DKI Jakarta.
"Belum sempat (diberikan ide monorel kepada Pemrov DKI Jakarta). Tetapi monorel sudah kita kembangkan 4 tahun yang lalu. Prototype monorel sudah ada dan sekarang jadi museum di Tambun," kata Ahmad saat ditemui di Gedung Kementerian Perindustrian Jalan Gatot Subroto Jakarta, Kamis (3/04/2014).
Mengapa ide monorel Bukaka tidak diajukan ke Pemprov DKI Jakarta? Menurut Ahmad cukup berat bila swasta yang menanggung keseluruhan proyek pembangunan transportasi massal (mass transportation). Seharusnya proyek pembangunan transportasi massal dilakukan oleh pemerintah sepenuhnya.
"Kita juga rugi karena tidak feasible (layak). Kita ingin bangun tetapi dengan harga murah, tanahnya gratis dan lain-lain tetapi tidak mungkin. Negara harus keluarin duit bangun. Atau bisa juga kita yang mengoperasikan sementara kereta dan sarana lainnya pemerintah yang beli," imbuhnya.
Ahmad menuturkan di seluruh dunia pemerintah berkewajiban membangun sarana transportasi massal. Hanya pembangunan transportasi massal di negara Hongkong yang dibiayai oleh swasta karena alasan teknis.
"Ada kesalahan total yang kita lakukan yaitu tidak ada di dunia ini mass transport dibiayai oleh swasta. Cari kan (negaranya), nggak ada kecuali Hong Kong. Penyebabnya kan (Hong Kong) mass transport ini ada stasiunnya dikasihlah section station. Stasiun ini mereka bangun 60 lantai di atasnya yang untung gedungnya. Gedungnya ini akan mensubsidi kepada alat transportasinya/monorelnya," tuturnya.
Bila proyek transportasi massal dikerjakan oleh swasta sepenuhnya maka dipastikan perusahaan itu akan rugi dan mundur di tengah jalan.
"Iya dong harus difasilitasi oleh pemerintahnya. Ada tiba-tiba pengusaha ingin bangun monorel hitungannya dimana, ternyata nggak jalan kan. Karena nggak ada rumus di dunia itu mass transport dibangun oleh swasta. Karena pasti rugi. Hitungannya biaya investasi Rp 10 triliun karcis Rp 9.000/penumpang sehari bisa angkut 200.000. Kalau disubsidi saya juga mau. Tetapi kalau tidak disubsidi penghasilan di karcis tidak akan mungkin," jelasnya.(wij/dru)
Direktur Utama PT Bukaka Teknik Utama Ahmad Kalla menyindir kebijakan yang diambil pemerintah. Menurutnya pemerintah hanya fokus mengembangkan industri tambang, sedangkan industri berbasis teknologi di Indonesia bergerak mundur.
"Kapan ada industri yang bisa membanggakan selain tambang. Ini adalah contoh yang buruk bukan. Bayang-bayang 30 tahun yang lalu kami (Bukaka) menggebu-gebu membuat teknologi dan kami bangun. Berusaha menjadi pahlawan tetapi keuntungan nggak ada. Akibatnya sejak krismon (krisis moneter) kami tidur nyenyak dan tidak ada satupun teknologi yang kami ciptakan karena nggak ada insentifnya," kata Ahmad saat dialog Kebangkitan Industri Barang Modal Dalam Negeri di Gedung Kementerian Perindustrian Jalan Gatot Subroto Jakarta, Kamis (3/04/2014).
Menurut Ahmad, banyak investor asing datang ke Indonesia hanya dengan satu tujuan yaitu berivestasi di sektor tambang. Sedangkan tidak ada ketertarikan investor asing untuk berinvestasi industri barang modal di dalam negeri termasuk sektor teknologi.
"Orang asing pada datang ke sini tetapi tidak ada investasi yang masuk ke barang modal. Tetapi masuk ke tambang," imbuhnya.
Meskipun investasi tambang berkembang pesat di dalam negeri, Bukaka tetap berinvestasi di sektor barang modal di dalam negeri. Salah satunya dengan membangun pembangkit listrik tenaga air (PLTA) Poso, Sulawesi Tengah.
"Tahun 2003 kami melihat industri yang tepat adalah tanah dan air. Tanah ini adalah tambang dan sawit. Kemudian air kami manfaatkan energi air. Alhamdulillah setelah berjuang kami selesaikan PLTA Poso dengan kapasitas listrik 203 megawatt seperti Jatiluhur," cetusnya.(wij/hen)
Bangun PLTA Berawal dari Beli Buku di Tiongkok Masyarakat Indonesia tidak usah pergi jauh-jauh ke Amerika Serikat (AS) atau Eropa untuk belajar teknologi. Pergi saja ke Tiongkok, karena segala ilmu pengetahuan dan teknologi berkembang di sana.
Hal ini disampaikan oleh Direktur Utama PT Bukaka Teknik Utama Ahmad Kalla saat dialog soal Kebangkitan Industri Barang Modal Dalam Negeri di Gedung Kementerian Perindustrian Jalan Gatot Subroto Jakarta, Kamis (3/4/2014).
"Untuk industri barang modal (industri berbasis teknologi) belajar ke Tiongkok jangan ke Amerika atau Eropa. Praktik teknologi cukup mudah ditemukan di Tiongkok," katanya.
Ia memberikan contoh keberhasilan Bukaka membangun Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Poso di Sulawesi Tengah. Namun siapa sangka ide pembangunan PLTA Poso didapat dari sebuah buku yang ia di sebuah toko buku di Tiongkok.
"Saya bangun PLTA Poso 203 megawatt dengan membaca buku yang saya beli di Tiongkok. Biasanya di dalam buku itu ada gambar shop drawing yang dijual di toko buku di Tiongkok, modelnya seperti itu," imbuhnya.
Menurutnya cara seperti ini jauh lebih murah dan efisien untuk dilakukan karena tidak perlu biaya untuk pra studi kelayakan. Bahkan dengan informasi yang lengkap di dalam buku itu, saat membuat langsung PLTA Poso, Bukaka tidak menyewa teknisi asing dan hanya menggunakan teknisi yang ada di dalam negeri.
"Jadi tidak perlu lagi ada Research and Development. Jadi menurut saya, mari bekerja yang simpel dulu saja. Membangun PLTA Poso ini semua teknisi yang kita pakai dari dalam negeri dari 0 dan hanya nyontek dari buku itu saja. Jadi nyontek kiri dan kanan saja. Kami bangun juga PLTU di Gresik tidak pakai kontraktor asing. Maksud saya hal yang simpel ini ya dibikin simpel," jelasnya.(wij/hen)
Sindir Soal Dana Subsidi Triliunan Tapi Infrastruktur RI MinimKalangan pengusaha kerap kali menyindir pemerintah yang lebih banyak menganggarkan dana subsidi termasuk untuk energi. Namun dana infrastruktur sangat minim, sehingga dunia usaha sulit bersaing di tingkat global.
Direktur Utama PT Bukaka Teknik Utama Ahmad Kalla menyatakan pemberian subsidi yang terlalu besar dinilai tidak tepat apalagi kondisi infrastruktur di Indonesia sangat minim.
"Yang mematikan kita ini adalah subsidi. Bayangkan untuk subsidi listrik itu naik dari Rp 42 triliun menjadi Rp 90 triliun. Lalu siapa yang membiayai infrastruktur kita? Kita lihat struktur APBN kita kecil untuk infrastruktur. Anggaran kita itu jauh lebih besar untuk pendidikan, anggaran kementerian, daerah dan umumnya subsidi. Padahal membangun infrastruktur harus banyak insentif," kata Ahmad saat dialog Kebangkitan Industri Barang Modal Dalam Negeri di Gedung Kementerian Perindustrian Jalan Gatot Subroto Jakarta, Kamis (3/04/2014).
Ia mencontohkan buruknya infrastruktur di Indonesia terlihat dari minimnya ketersediaan listrik. Padahal permintaan listrik setiap tahun mengalami pertumbuhan. Sayangnya PT PLN (Persero) tidak mampu mencukupi kebutuhan listrik di dalam negeri, sehingga butuh dukungan swasta.
"Listrik saja untuk kebutuhan normal kita tidak cukup. Target PLN pertumbuhan permintaan listrik yang diberikan hanya 8%. Kalau mau ekonomi melaju 6% per tahun, perlu ada pertumbuhan listrik sebesar 9% dan 1,5% untuk menggantikan infrastruktur listrik yang cukup tua," imbuhnya.
Pemerintah telah menganggarkan pembangunan infrastruktur dalam APBN 2014 sebesar Rp 206 triliun. Jumlah itu tumbuh 11,77% dibandingkan pagu pembangunan infrastruktur APBN Perubahan 2013 yaitu Rp 188 triliun. Sedangkan dana subsidi untuk BBM saja mencapai Rp 200 triliun lebih.
Menurut Ahmad jumlah itu masih kurang untuk membangun infrastruktur di Indonesia. Pemerintah harus berani mengurangi pemberian subsidi yang kemudian dialokasikan ke anggaran infrastruktur. Bila tidak dilakukan, lebih baik pemerintah tidur saja.
"Lebih baik kita tidur lagi dan lebih enak tidur. Saya pesimis kita bisa bangkit," cetusnya.(wij/hen)
PT Bukaka Pernah Berniat Garap Monorel di JakartaDirektur Utama PT Bukaka Teknik Utama Ahmad Kalla mengakui perusahaannya ingin ikutan menggarap proyel monorel di Jakarta. Bukaka bahkan sudah membuat prototype monorel yang layak digunakan masyarakat Jakarta. Namun ide itu belum sempat ia berikan kepada Pemprov DKI Jakarta.
"Belum sempat (diberikan ide monorel kepada Pemrov DKI Jakarta). Tetapi monorel sudah kita kembangkan 4 tahun yang lalu. Prototype monorel sudah ada dan sekarang jadi museum di Tambun," kata Ahmad saat ditemui di Gedung Kementerian Perindustrian Jalan Gatot Subroto Jakarta, Kamis (3/04/2014).
Mengapa ide monorel Bukaka tidak diajukan ke Pemprov DKI Jakarta? Menurut Ahmad cukup berat bila swasta yang menanggung keseluruhan proyek pembangunan transportasi massal (mass transportation). Seharusnya proyek pembangunan transportasi massal dilakukan oleh pemerintah sepenuhnya.
"Kita juga rugi karena tidak feasible (layak). Kita ingin bangun tetapi dengan harga murah, tanahnya gratis dan lain-lain tetapi tidak mungkin. Negara harus keluarin duit bangun. Atau bisa juga kita yang mengoperasikan sementara kereta dan sarana lainnya pemerintah yang beli," imbuhnya.
Ahmad menuturkan di seluruh dunia pemerintah berkewajiban membangun sarana transportasi massal. Hanya pembangunan transportasi massal di negara Hongkong yang dibiayai oleh swasta karena alasan teknis.
"Ada kesalahan total yang kita lakukan yaitu tidak ada di dunia ini mass transport dibiayai oleh swasta. Cari kan (negaranya), nggak ada kecuali Hong Kong. Penyebabnya kan (Hong Kong) mass transport ini ada stasiunnya dikasihlah section station. Stasiun ini mereka bangun 60 lantai di atasnya yang untung gedungnya. Gedungnya ini akan mensubsidi kepada alat transportasinya/monorelnya," tuturnya.
Bila proyek transportasi massal dikerjakan oleh swasta sepenuhnya maka dipastikan perusahaan itu akan rugi dan mundur di tengah jalan.
"Iya dong harus difasilitasi oleh pemerintahnya. Ada tiba-tiba pengusaha ingin bangun monorel hitungannya dimana, ternyata nggak jalan kan. Karena nggak ada rumus di dunia itu mass transport dibangun oleh swasta. Karena pasti rugi. Hitungannya biaya investasi Rp 10 triliun karcis Rp 9.000/penumpang sehari bisa angkut 200.000. Kalau disubsidi saya juga mau. Tetapi kalau tidak disubsidi penghasilan di karcis tidak akan mungkin," jelasnya.(wij/dru)
0 komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.