blog-indonesia.com

Jumat, 18 April 2014

Kala Satelit Memantau Letusan Kelud

Mata satelit menjadi saksi ketika Gunung Kelud meletus. Melalui kanal inframerah yang dimiliki satelit, sebaran debu vulkanik Kelud pun berhasil dideteksi pada kegelapan malam.

Indonesia sudah terlelap dalam tidurnya pada Kamis 13 Februari 2013 malam, namun perut Gunung Kelud (Jawa Timur) justru menggelegak dan kian bergemuruh. Segera Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) memutuskan untuk menaikkan status gunung berapi ini ke tingkat “Awas” (Level IV) pukul 21:15 WIB. Siapa sangka hanya dalam waktu 95 menit setelah menyandang status “Awas”, Gunung Kelud akhirnya benar-benar meletus.

Gemuruh letusannya terdengar hingga pelosok Jawa Tengah yang ratusan kilometer jauhnya. Debu vulkanik pekatnya pun bergulung-gulung membumbung tinggi ke langit bersamaan dengan kilat yang menyambar-nyambar akibat pemuatan listrik statis seiring pergesekan antarpartikel debu vulkanik yang miskin air. Gelapnya malam membuat semburan debu vulkanik Kelud tidak dapat diamati dengan leluasa. Padahal kemana dan bagaimana debu vulkanik Kelud menyebar penting untuk secepatnya diketahui, khususnya bagi lalu lintas udara yang memiliki sifat alamiah cukup sensitif akan paparan debu vulkanik.

Jauh hari sebelum Gunung Kelud meletus, dunia penerbangan telah belajar bagaimana debu vulkanik mampu menyebabkan insiden pada pesawat yang sedang mengudara. Gunung Galunggung (Jawa Barat) yang unjuk gigi di tahun 1982 hingga 1983 sempat membuat kacau tiga pesawat yang melintas di area sebaran abu vulkanik. Insiden pertama dialami oleh pesawat DC-9 Garuda rute Jakarta-Denpasar pada 5 April 1982. Sementara insiden berikutnya dialami dua jumbo jet Boeing-747 milik British Airways pada 24 Juni 1982 dan Singapore Airlines pada 13 Juli 1982.

Seperti halnya Galunggung, letusan Gunung Kelud pun terjadi kala malam. Bedanya kini telah tersedia satelit cuaca dan observasi Bumi dengan kemampuan tinggi sehingga mampu melacak pergerakan awan debu vulkanik Kelud dari waktu ke waktu walau di malam hari sekalipun. Empat di antaranya adalah satelit MTSAT-2, Suomi NPP, CALIPSO, dan Aqua.

Satelit MTSAT-2 (Multifunctional Transport Satellite-2) atau Himawari-7 merupakan satelit cuaca dan komunikasi milik Jepang yang berbobot 4.650 kg dan menempati orbit geostasioner pada garis bujur 145° BT. MTSAT-2 membawa lima instrumen yang bekerja pada kanal visual dan inframerah, masing-masing pada resolusi spasial 1,25 km dan 5 km. Sedangkan Suomi NPP (National Polar-orbiting Partnership) adalah satelit cuaca milik AS yang menghuni orbit polar setinggi 824 km dpl ( di atas permukaan laut) pada inklinasi 98,78° sehingga memiliki sudut pencahayaan Matahari yang relatif sama dari waktu ke waktu. Suomi NPP berbobot 2.540 kg dan mengangkut lima instrumen yang bekerja pada kanal visual, inframerah dan gelombang mikro.

Sementara satelit CALIPSO (Cloud-Aerosol Lidar dan Infrared Pathfinder Satellite Observation) merupakan satelit observasi Bumi hasil kerjasama AS dan Perancis yang juga menempati orbit polar pada ketinggian 676 x 687 km dpl dan inklinasi 98,2°. Satelit berbobot 560 kg ini bertumpu pada teknologi lidar (laser imaging detection and ranging).

Satelit terakhir, Aqua, adalah satelit riset hasil kerjasama AS, Jepang, dan Brazil yang menempati orbit polar setinggi 691 x 708 km dpl dengan inklinasi 98,14°. Satelit seberat 3.117 kg ini mengangkut enam instrumen yang ditujukan untuk mengukur tingkat penguapan, curah hujan dan siklus air. Salah satu instrumennya yang bernama MODIS (moderate resolution imaging spectroradiometer) inilah yang mampu melacak distribusi aerosol sulfat sehingga bisa menjejak sebaran debu vulkanik di atmosfer.

Setinggi 26 km

Dengan posisi istimewanya di orbit geostasioner MTSAT-2 memperoleh kesempatan pertama mengamati awan debu vulkanik Kelud, yang mulai terdeteksi pada pukul 23:09 WIB dalam kanal inframerah lewat moda rapid scan setiap 10 menit. Awan debu ini semula berukuran kecil dan bergeometri sferis, namun lama-kelamaan terus membesar dan mulai melonjong.

Penampilan ini berbeda dengan letusan Gunung Merapi di tahun 2010 silam, yang lebih berupa kepulan asap dan debu tipis meski sedang berada di puncak letusannya. Perbedaan ini mungkin disebabkan oleh bedanya volume magma yang diletuskan oleh kedua gunung berapi tersebut dalam setiap detiknya, dimana untuk Kelud jauh lebih besar. Tetapi secara akumulatif volume magma letusan Gunung Kelud kali ini hampir sama dengan Gunung Merapi pada 2010. Hal ini karena durasi letusan Kelud jauh lebih singkat yakni hanya dalam beberapa jam saja seiring kecilnya ukuran kantung magma.

Analisis Cooperative Institute for Meteorological Satellite Studies (CIMMS) Universitas Wisconsin, AS menunjukkan saat mencapai puncaknya awan debu ini memiliki suhu sekitar -60° Celcius dan bagian tepi sekitar -75 hingga -80° Celcius. Muncul indikasi puncak awan debu Kelud telah menembus jauh ke dalam lapisan stratosfer.

Pencitraan visual yang hanya bisa dilakukan dalam enam jam sejak letusan dimulai menunjukkan awan debu Kelud telah memasuki ketinggian 18 hingga 20 km dpl dalam jumlah cukup signifikan. Kombinasi observasi satelit Suomi NPP dan CALIPSO yang kebetulan melintas di atas Indonesia tak lama setelah letusan bahkan menunjukkan, puncak awan debu vulkanik Kelud membumbung hingga setinggi 26 km dpl. Inilah pertanda bahwa letusan Gunung Kelud kali ini memiliki tipe plinian, yakni jenis letusan besar yang dikendalikan oleh gas-gas vulkanik bertekanan sangat tinggi.

Letusan plinian membawa implikasi luas bagi lingkungan sekitar gunung berapi sebab debu vulkaniknya akan tersebar pada area yang cukup luas dan jauh dari gunung tersebut. Observasi MTSAT-2 pada kanal inframerah hingga beberapa jam kemudian menunjukkan awan debu Kelud menyebar ke arah barat hingga barat daya mengikuti angin timuran. Hal tersebut juga diperkuat oleh observasi satelit Aqua yang memperlihatkan aerosol letusan Gunung Kelud menyebar hingga lebih dari 1.000 km terhadap sumbernya.

Guna menghindari insiden yang menimpa British Airways Flight 8 puluhan tahun lalu maka delapan bandara di pulau Jawa terpaksa ditutup sementara. Akibatnya ratusan penerbangan domestik dan internasional pun terpaksa dibatalkan. Angka kerugian mencapai milyaran rupiah. Namun itu pilihan yang resikonya lebih kecil ketimbang harus berhadapan memaksa pesawat berhadapan dengan debu vulkanik yang bisa menciptakan insiden atau bahkan kecelakaan.(Muh. Ma’rufin Sudibyo)



  Angkasa  

0 komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More