Penelitian yang dilakukannya itu bertujuan menjawab pemanasan global dan perlunya penghematan bahan baku beton dari semen Surabaya ★ Dosen Universitas Kristen Petra Surabaya Prof Djwantoro Hardjito PhD menciptakan beton dengan bahan baku dari lumpur Lapindo yang meluap sejak 29 Mei 2006 dengan luapan lumpur saat ini sudah seluas 640 hektare dan setinggi hingga 12 meter.
"Sejak tahun 2011, saya meneliti kemungkinan lumpur Lapindo dijadikan bahan baku untuk beton dan akhirnya saya menemukan dua kemungkinan yakni bahan campuran semen dan bahan dengan larutan alkali," katanya di Surabaya, Selasa.
Didampingi Dekan FTSP UK Petra Surabaya Timoticin Kwanda BSc MRP PhD, Guru Besar FTSP UK Petra Surabaya yang dikukuhkan pada 25 April 2014 itu menjelaskan penggunaan lumpur Lapindo untuk beton itu mengurangi pemanasan global dan menghemat penggunaan semen ke depan.
"Beton itu dibuat dari semen dengan teknik pembakaran hingga 1.400 derajat celsius, tapi kalau dicampur lumpur Lapindo cukup hanya dengan pembakaran 600 derajat celsius, sehingga mengurangi karbodioksida (CO2) atau polusi yang mendorong pemanasan global," katanya.
Menurut Wakil Rektor I (Akademik) UK Petra Surabaya itu, penelitian yang dilakukannya itu bertujuan menjawab pemanasan global dan perlunya penghematan bahan baku beton dari semen, sebab semen merupakan bahan yang tak terbarukan.
"Terkait pemanasan global itu, perkebunan sawit dan industri semen merupakan dua sumber gas C02 yang besar dan gas itu merupakan biang dari pemanasan global, karena itu kedua sumber itu diharapkan melakukan perubahan," katanya.
Selama ini, industri semen sudah memproduksi PPC (portland pozzola cement) untuk mengurangi gas CO2, namun pihaknya menemukan alternatif lain dari bahan yang selama ini dianggap sebagai "masalah" yakni lumpur Lapindo.
"Inovasi untuk membuat lumpur Lapindo sebagai batu bata dan genteng selama ini sudah ada tapi gagal karena mudah retak dan tidak kuat, karena itu saya meneliti komposisi oksida di dalamnya dan akhirnya ditemukan bahwa 85 persen adalah S1 O2, AI2 O3, dan Fe2 O3," katanya.
Dari komposisi oksida itulah, peneliti dengan 60 artikel ilmiah (1994-2013) yang menempuh studi pascasarjana di Malaysia itu pun menyiasati cara mengolah lumpur Lapindo itu untuk bahan beton sesuai karakter dari komposisi zat yang ada itu.
"Saya menyimpulkan dua cara mengolah yakni lumpur sebagai substitusi untuk semen dengan perbandingan campuran yakni lumpur berkisar 40-60 persen dan sisanya semen. Kalau lebih dari 60 persen tidak akan kuat," katanya.
Cara kedua adalah 100 persen lumpur tapi dicampur dengan larutan Alkali sebagai larutan untuk mengaktifkan zat kimia hingga mengental seperti pasta tapi warnanya berkilau. "Perbandingannya 2 lumpur dengan 1 larutan Alkali," katanya.
Cara kedua itu justru lebih "green" (ramah lingkungan), karena pemanasan yang diperlukan untuk membentuk beton hanya dengan pembakaran 60 derajat celsius. "Jadi, pemanasannya cuma hangat, lain halnya kalau dicampur semen memerlukan pembakaran 600 derajat celsius," katanya.
Dalam kesempatan itu, ia menunjukkan bahan baku beton yang bukan dari lumpur Lapindo, melainkan dengan abu bata bara dari Paiton, Probolinggo. "Kalau dengan abu batu bara justru tanpa pembakaran sama sekali," kata pemilik hak paten untuk kerikil buatan dari lumpur Lapindo itu. (*)
"Sejak tahun 2011, saya meneliti kemungkinan lumpur Lapindo dijadikan bahan baku untuk beton dan akhirnya saya menemukan dua kemungkinan yakni bahan campuran semen dan bahan dengan larutan alkali," katanya di Surabaya, Selasa.
Didampingi Dekan FTSP UK Petra Surabaya Timoticin Kwanda BSc MRP PhD, Guru Besar FTSP UK Petra Surabaya yang dikukuhkan pada 25 April 2014 itu menjelaskan penggunaan lumpur Lapindo untuk beton itu mengurangi pemanasan global dan menghemat penggunaan semen ke depan.
"Beton itu dibuat dari semen dengan teknik pembakaran hingga 1.400 derajat celsius, tapi kalau dicampur lumpur Lapindo cukup hanya dengan pembakaran 600 derajat celsius, sehingga mengurangi karbodioksida (CO2) atau polusi yang mendorong pemanasan global," katanya.
Menurut Wakil Rektor I (Akademik) UK Petra Surabaya itu, penelitian yang dilakukannya itu bertujuan menjawab pemanasan global dan perlunya penghematan bahan baku beton dari semen, sebab semen merupakan bahan yang tak terbarukan.
"Terkait pemanasan global itu, perkebunan sawit dan industri semen merupakan dua sumber gas C02 yang besar dan gas itu merupakan biang dari pemanasan global, karena itu kedua sumber itu diharapkan melakukan perubahan," katanya.
Selama ini, industri semen sudah memproduksi PPC (portland pozzola cement) untuk mengurangi gas CO2, namun pihaknya menemukan alternatif lain dari bahan yang selama ini dianggap sebagai "masalah" yakni lumpur Lapindo.
"Inovasi untuk membuat lumpur Lapindo sebagai batu bata dan genteng selama ini sudah ada tapi gagal karena mudah retak dan tidak kuat, karena itu saya meneliti komposisi oksida di dalamnya dan akhirnya ditemukan bahwa 85 persen adalah S1 O2, AI2 O3, dan Fe2 O3," katanya.
Dari komposisi oksida itulah, peneliti dengan 60 artikel ilmiah (1994-2013) yang menempuh studi pascasarjana di Malaysia itu pun menyiasati cara mengolah lumpur Lapindo itu untuk bahan beton sesuai karakter dari komposisi zat yang ada itu.
"Saya menyimpulkan dua cara mengolah yakni lumpur sebagai substitusi untuk semen dengan perbandingan campuran yakni lumpur berkisar 40-60 persen dan sisanya semen. Kalau lebih dari 60 persen tidak akan kuat," katanya.
Cara kedua adalah 100 persen lumpur tapi dicampur dengan larutan Alkali sebagai larutan untuk mengaktifkan zat kimia hingga mengental seperti pasta tapi warnanya berkilau. "Perbandingannya 2 lumpur dengan 1 larutan Alkali," katanya.
Cara kedua itu justru lebih "green" (ramah lingkungan), karena pemanasan yang diperlukan untuk membentuk beton hanya dengan pembakaran 60 derajat celsius. "Jadi, pemanasannya cuma hangat, lain halnya kalau dicampur semen memerlukan pembakaran 600 derajat celsius," katanya.
Dalam kesempatan itu, ia menunjukkan bahan baku beton yang bukan dari lumpur Lapindo, melainkan dengan abu bata bara dari Paiton, Probolinggo. "Kalau dengan abu batu bara justru tanpa pembakaran sama sekali," kata pemilik hak paten untuk kerikil buatan dari lumpur Lapindo itu. (*)
★ Antara
0 komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.