blog-indonesia.com

Jumat, 29 Oktober 2010

Mengolah Kotoran Sapi Menjadi Batu Bata dan Gerabah

Kotoran yang merupakan limbah hasil metabolisme hewan ternak seperti sapi ternyata masih berdaya guna dan dapat diolah menjadi produk yang bermanfaat bagi manusia. Apabila umumnya orang menganggap kotoran sapi sebagai sesuatu yang menjijikkan dan tidak berguna, Syammahfuz Chazali, alumnus Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta, justru kebalikannya.

Syammahfuz yang kerap disapa Syam, bersama beberapa koleganya, berhasil meracik kotoran sapi sebagai bahan dasar batu bata dan gerabah. Dia mengaku inovasi tersebut telah dirintis sejak 2006, dan kini dirinya tengah berusaha serius membangun bisnis batu bata dan gerabah berbahan kotoran sapi tersebut. Harapan Syam memang bukan mustahil terwujud.

Pasalnya, inovasinya itu telah diapresiasi banyak pihak. Salah satu penghargaan paling bergengsi yang diperolehnya ialah juara pertama kompetisi business plan tingkat dunia yang bertema Global Social Venture Competition (GSVC).

Pada ajang yang berlangsung dari 23 hingga 25 April 2009 di University of California, Berkeley, Amerika Serikat (AS) itu, Syam bersama enam mahasiswa Prasetiya Mulya Business School mengajukan proyek penelitian dan pengelolaan kotoran sapi sebagai bahan baku pembuatan batu bata.

“Kini, seorang pengusaha dari Rusia menawari saya untuk membuat batu bata berbahan kotoran sapi itu menjadi produksi massal di sana. Namun, tawaran itu masih saya pikirpikir karena saya berusaha untuk membuatnya di Indonesia terlebih dulu,” kata Syam.

Memang, batu bata berbahan kotoran sapi yang dikembangkan Syam itu sampai saat ini belum diproduksi massal karena terkendala masalah permodalan. Padahal, jika dilihat dari harga, produk bata bata dari kotoran sapi itu lebih murah dibandingkan dengan bata bata dari tanah liat.

Syam mengatakan harga batu bata hasil inovasinya hanya 280 rupiah per buah, sedangkan harga batu bata dari tanah liat paling murah 500 rupiah per buah. “Harga batu bata yang saya buat lebih murah karena bahannya berasal dari limbah,” ujar dia.

Selain harganya yang lebih murah, bata tlethong sapi (tlethong merupakan bahasa Jawa yang berarti kotoran) sangat menguntungkan peternak. Pasalnya, para peternak dapat menjual kotoran sapi kepada Syam dengan harga 1.000 rupiah per kilogram. Sementara harga kotoran sapi di pasaran tidak sampai separonya.

Berdasarkan data, jumlah kotoran sapi kering yang dihasilkan di Indonesia mencapai sekitar 5,9 juta ton per tahun. Kebanyakan kotoran itu hanya dibuang tanpa dimanfaatkan sehingga mengotori lingkungan. Namun, dengan upaya pembuatan batu bata berbahan baku kotoran sapi yang dilakukan Syam, pencemaran lingkungan dapat diminimalisasi.

“Selain itu, proses produksi batu bata dari tanah liat bisa merusak lingkungan karena tanah dikeruk terusmenerus,” imbuh Syam.

Lebih Kuat

Kelebihan lainnya yang dimiliki batu bata dari kotoran sapi ialah berbobot lebih ringan 20 persen ketimbang batu bata dari tanah liat. Meski bobotnya lebih ringan, batu bata tersebut lebih kuat 20 persen dibandingkan dengan batu bata biasa. Syam mengklaim batu bata hasil inovasinya itu juga dapat mengurangi penggunaan semen hingga 60 persen.

Sebagai langkah awal pembuatan batu bata dari kotoran sapi, bahan utama dicampur cairan formula khusus. Campuran itu menghasilkan bahan yang sudah berwujud tanah liat. Setelah dicampur tanah keras dengan komposisi 80 persen berbanding 20 persen, campuran dicetak seperti batu bata biasa.

Langkah berikutnya, cetakan dikeringkan dan dibakar. Proses pembakaran biasanya menggunakan kotoran sapi sebagai bahan bakar biogas sehingga ramah lingkungan. Saat ini, Syam dan rekan-rekannya tengah berupaya pula membuat batu bata lego yang akan makin mengurangi penggunaan semen.

Nantinya, dengan adanya batu bata lego tersebut, bangunan tidak lagi mesti berbentuk persegi panjang, tetapi juga bisa dibentuk seperti halnya mainan lego. Syam mengisahkan pembuatan batu bata itu merupakan kelanjutan dari inovasi pembuatan gerabah berbahan baku kotoran sapi.

Syam bersama dua rekannya, Wusana Bayu Pamungkas dan Irawan Nurcahyo, dari Fakultas Peternakan UGM membentuk tim Faerumnesia (kotoran dari lambung sapi) untuk meneliti manfaat kotoran sapi pada 2006. Langkah pertama yang dilakukan Syam dan rekan-rekannya itu ialah mengolah kotoran sapi agar tidak berbau dan gatal.

Setelah itu, mereka bekerja sama dengan salah seorang perajin gerabah di Kasongan, Bantul, untuk membuat gerabah yang berbahan campuran kotoran sapi. “Hasilnya cukup mengejutkan. Gerabah dengan campuran kotoran sapi itu jauh lebih ringan dan kuat.

Saat dibakar, 90 persen bagian gerabah tidak pecah, tidak seperti gerabah pada umumnya. Selain itu, gerabah yang dihasilkan jauh lebih cemerlang dibandingkan dengan gerabah dari bahan biasa,” papar Syam. Sayangnya, Syam tidak bersedia menjelaskan secara detail komposisi bahan campuran gerabah itu.

Alasannya, saat ini dia tengah mengurusi hak paten produknya tersebut. Dia hanya menerangkan komposisi bahan pembuatan gerabah atau batu bata dari kotoran sapi, yakni 80 persen kotoran sapi dan 20 persen tanah keras. Selebihnya adalah cairan formula yang masih dirahasiakan kandungannya.

Syam mengatakan pembuatan gerabah dan batu bata berbahan baku kotoran sapi itu memerlukan waktu tiga minggu. Inovasi yang dibuat Syam dan rekan-rekannya tersebut cukup menarik perhatian masyarakat Indonesia maupun luar negeri. Buktinya, Syam mendapatkan pesanan gerabah dari Brunei Darussalam dan Belanda.

Atas prestasinya itu, pada 2008, Syam terpilih sebagai salah satu wirausahawan muda terbaik versi Bank Mandiri. Keberhasilan Syam dan rekan-rekannya dalam memproduksi gerabah yang berasal dari kotoran sapi menarik perhatian lima mahasiswa/mahasiswi program Magister Manajemen Prasetiya Mulya Business School (PMBS).

Indri Yuni Handayani, Marselina, Fika Nurfi triyana, Teuku Winnetou, Erma Melina Sarahwati, dan Yusuf Aria Putera mengajak Syam untuk bekerja sama mengembangkan inovasi lainnya, yaitu membuat batu bata dari kotoran sapi. Syam mengatakan mereka akhirnya memilih membuat batu bata dengan pertimbangan harga gerabah lebih fluktuatif karena bergantung pada permintaan ekspor.

Sementara batu bata sangat dibutuhkan masyarakat dan merupakan material pokok untuk mendirikan bangunan.

“Kami sangat bangga bisa memenangkan kejuaraan GSVC, apalagi selama 10 tahun ajang itu digelar, belum pernah ada tim perguruan tinggi dari luar AS yang sukses menggondol juara pertama dan berhak atas hadiah 25 ribu dollar AS. Proposal bisnis kami dianggap visioner sekaligus ramah lingkungan,” tandas Syam.


KoranJakarta

0 komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More