blog-indonesia.com

Minggu, 31 Oktober 2010

Agar Pulih dari Serangan Monster

TEMPO/Bagus Indahono

TEMPO Interaktif
, Jakarta - Pembuluh darah di tungkai otak Tangguh pecah mendadak. Lima hari dirawat di rumah sakit, pria setengah baya ini pulang dengan badan setengah lumpuh. Meski terpincang saat berjalan, Tangguh (bukan nama sebenarnya) tetap teguh. Tangan kirinya menekuk kaku seolah orang patah lengan. "Bicaranya pun pelo (terbata-bata)," kata Setia, menceritakan pengalaman suaminya saat terkena stroke untuk pertama kalinya.

Bukannya membaik, serangan stroke berulang. Kondisi Tangguh kian parah. Semua anggota tubuhnya lumpuh total dan dia hanya bisa terbaring di tempat tidur. Tangguh tak bisa lagi mandiri. Dari makan, minum, mandi, ganti baju, hingga buang air harus dibantu orang lain. Saban hari Setia dan dua anaknya bergantian merawat Tangguh. "Sulit untuk sembuh total," kata Setia pekan lalu.

Ada jutaan penderita stroke di dunia yang bernasib serupa. Ibarat monster, stroke terus menebar maut. Data Badan Kesehatan Dunia (WHO) 2005 mencatat 35 juta penduduk dunia meninggal akibat penyakit tak menular seperti kardiovaskuler (hipertensi dan serangan jantung), kanker, dan stroke. Jumlah ini dua kali lipat lebih banyak dibanding kematian akibat penyakit menular (HIV/AIDS, tuberkulosis, dan malaria) pada tahun yang sama.

Kini stroke menjelma menjadi penyakit pembunuh nomor tiga di dunia. Setiap tahun jumlah penderita stroke meningkat. Bukan hanya kaum berusia tua, mereka yang berusia muda pun rentan lantaran pola hidup yang tak sehat. Yayasan Stroke Indonesia (Yastroki) menyatakan Indonesia sebagai negara dengan jumlah penderita stroke terbesar di Asia. Jika hal itu tidak diantisipasi, pada 2020, Yastroki memperkirakan, penderita stroke di republik ini bisa naik hingga dua kali lipat.

Lalu bagaimana memulihkan penderita stroke yang telanjur lumpuh seperti Tangguh? Ahli saraf dari Yastroki, Hermawan, pernah berkata proses pemulihan yang baik harus sesegera mungkin dilakukan setelah perawatan di rumah sakit. "Rehabilitasi pasca-stroke penting," katanya. Selain terapi obat-obatan, rehabilitasi pasca-stroke yang bisa dilakukan pasien meliputi terapi gangguan komunikasi, penguatan keterampilan motorik, latihan bergerak, terapi gerakan pelemasan, terapi penggunaan paksa, terapi psikologi, dan stimulasi listrik. Tentu butuh waktu lama dan biaya tak sedikit untuk melakukan terapi.

Nah, masalah itulah yang mendorong dua mahasiswa teknik elektro Institut Teknologi Sepuluh Nopember berikhtiar mencari solusi agar penderita pasca-stroke tak kehilangan fungsi motoriknya. Eka Adi Prasetyo dan Anindito Kusumojati membuat alat rehabilitasi otomatis yang dikenal sebagai stimulasi elektrik fungsional (functional electric stimulation, FES). Karya mereka dinobatkan sebagai juara Lomba Cipta Elektronik Nasional 2010 bidang biomedika pada 10 Oktober lalu.

FES merupakan metode latihan yang diberikan kepada pasien stroke untuk mengaktifkan kembali jaringan motoriknya. "Alat ini mampu menghasilkan rangsangan stabil karena prinsip kerjanya mirip sistem saraf," kata Eka, mahasiswa angkatan 2006.

Eka menjelaskan, stimulasi elektrik fungsional sangat mudah digunakan. Metode latihannya memang dirancang bekerja otomatis. Perangkat ini terdiri atas elektroda, rangkaian elektronik, dan komputer sebagai pengolah data. Cukup menempelkan elektroda pada anggota badan yang lumpuh, otomatis penderita stroke dapat merestorasi kemampuan motoriknya. Caranya, ya itu tadi, FES akan memberikan stimulasi listrik buatan pada otot agar dapat berkontraksi dan menghasilkan gerakan. Sistem eksternal pada FES dikendalikan oleh sistem bernama adaptive neuron fuzzy inference system (ANFIS).

Algoritma ANFIS ditanamkan di dalam komputer untuk mengenali seberapa parah kerusakan motorik pasien pasca-stroke. Dengan itu, perangkat rehabilitasi stroke dapat memberikan sinyal sesuai dengan kebutuhan pasien. Metode ini juga berfungsi untuk mengetahui perkembangan pasien sehingga sinyal yang diberikan pun otomatis disesuaikan. Pembuatan program inilah yang memakan waktu lama. "Butuh tiga bulan," kata Anindito, mahasiswa angkatan 2008.

Eka dan Anindito menambahkan, keunggulan sistem FES buatan mereka adalah mampu menjaga bentuk otot agar tak mengalami penyusutan atau deformabilitas. Otot penderita lumpuh yang tak dilatih bergerak cenderung statis dan sedikit demi sedikit menyusut. Untuk menggerakkan otot-otot itu diperlukan tekad kuat, tenaga, dan rasa sakit melalui metode terapi fisik manual. Tapi metode ini biasanya tak diminati penderita stroke. "Alat kami mampu melatih otot bergerak secara otomatis," kata Eka.

Ide pembuatan alat rehabilitasi stroke itu memang tidak orisinal muncul dari pemikiran mereka berdua. Adalah Dr Achmad Arifin, dosen teknik elektro ITS, yang banyak memberikan inspirasi. Alasannya, hari-hari ini metode rehabilitasi stroke masih didominasi alat-alat manual. "Belum lengkap dan belum mencukupi untuk memulihkan kondisi pasien," kata Eka. Kelebihan lain alat rehabilitasi stroke buatan Eka dan Anindito adalah biaya pembuatannya yang murah. Mereka hanya mengeluarkan Rp 800 ribu (belum termasuk komputer) untuk membeli seluruh perlengkapan elektroniknya.

Menurut Dr Achmad Arifin, alat rehabilitasi buatan anak didiknya dinilai mampu mengembalikan fungsi motorik pasien pasca-stroke. "Metode ini sudah dipakai di Jepang dan efektif," kata doktor lulusan Tohoku University ini. Perangkat rehabilitasi itu cocok dipadukan dengan terapi obat-obatan yang diberikan dokter. FES juga bisa digunakan untuk membantu memulihkan kelumpuhan akibat kecelakaan atau serangan penyakit lain--disesuaikan dengan program yang dibangun pembuatnya.

Guru besar Kelompok Keahlian Teknik Biomedika Sekolah Teknik Elektro dan Informatika Institut Teknologi Bandung, Tati R. Mengko, mengatakan teknik biomedika, sebagai multidisiplin yang menerapkan berbagai metode rekayasa, sains, dan teknologi, harus terus diaplikasikan untuk membantu memecahkan masalah kesehatan masyarakat. Teknik biomedika terkait langsung dengan kebutuhan primer masyarakat, dengan ruang gerak seperti perancangan instrumen, sistem, pemodelan, analisis, atau rekayasa kimia. "Biomedika mampu memberikan kontribusi nyata dalam menunjang perkembangan dunia kesehatan," katanya.(Rudy Prasetyo)


TEMPOInteraktif

0 komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More