Bandung � Untuk
melakukan tes doping, Indonesia tak perlu lagi mengandalkan laboratorium
di Malaysia atau Jepang. Indonesia sendiri kini telah mempunyai
laboratorium uji doping sendiri. Tempatnya di gedung berlantai lima di
dalam kampus Institut Teknologi Bandung, Jalan Ganesha 10, Bandung.
Wakil Rektor Bidang Riset dan Inovasi ITB, Wawan Gunawan, mengatakan, rencana pendirian laboratorium uji doping itu sudah bergulir sejak 2008 saat Menteri Pemuda dan Olahraga saat itu, Andi Mallarangeng, memberi kuliah umum di ITB. Kementerian setuju dan menganggarkan dana Rp 20 miliar pada 2011 untuk pembangunan gedung laboratorium uji doping.
Kelayakan ITB juga telah diperiksa utusan World Anti-Doping Agency (WADA) di Jepang. Nantinya, laboratorium itu tidak hanya sebatas memeriksa atlet apakah memakai doping atau tidak. “Laboratorium juga harus dipakai sebagai sarana riset berkelanjutan yang terkait perkembangan teknologi,” kata Wawan di gedung perpustakaan ITB, Senin, 28 Januari 2013.
Setelah gedung berdiri tahun ini, ITB belum bisa langsung memakainya. Sebab, menurut Wawan, ITB masih masih menunggu dana pengadaan peralatan uji doping dari anggaran Kementerian Pemuda dan Olahraga 2013 sebesar Rp 130 miliar. Kemungkinan, pada 2014, laboratorium uji doping itu baru bisa dipakai. “Pekerjanya nanti tenaga ahli dari berbagai jurusan di ITB dan Kemenpora,” ujarnya.
Sesuai standar World Anti-Doping Agency, laboratorium uji itu sanggup memeriksa minimal 3.000 contoh per tahun. Selama ini, hasil pengujian di Malaysia dan Jepang membutuhkan waktu rata-rata sepekan. Biayanya berkisar US$ 300. “Nanti kita bahas tarifnya agar bisa bersaing,” kata Wawan. Selain menerima permintaan uji dari panitia acara olahraga di dalam negeri, ITB akan terbuka melayani dari luar negeri.
Wakil Rektor Bidang Riset dan Inovasi ITB, Wawan Gunawan, mengatakan, rencana pendirian laboratorium uji doping itu sudah bergulir sejak 2008 saat Menteri Pemuda dan Olahraga saat itu, Andi Mallarangeng, memberi kuliah umum di ITB. Kementerian setuju dan menganggarkan dana Rp 20 miliar pada 2011 untuk pembangunan gedung laboratorium uji doping.
Kelayakan ITB juga telah diperiksa utusan World Anti-Doping Agency (WADA) di Jepang. Nantinya, laboratorium itu tidak hanya sebatas memeriksa atlet apakah memakai doping atau tidak. “Laboratorium juga harus dipakai sebagai sarana riset berkelanjutan yang terkait perkembangan teknologi,” kata Wawan di gedung perpustakaan ITB, Senin, 28 Januari 2013.
Setelah gedung berdiri tahun ini, ITB belum bisa langsung memakainya. Sebab, menurut Wawan, ITB masih masih menunggu dana pengadaan peralatan uji doping dari anggaran Kementerian Pemuda dan Olahraga 2013 sebesar Rp 130 miliar. Kemungkinan, pada 2014, laboratorium uji doping itu baru bisa dipakai. “Pekerjanya nanti tenaga ahli dari berbagai jurusan di ITB dan Kemenpora,” ujarnya.
Sesuai standar World Anti-Doping Agency, laboratorium uji itu sanggup memeriksa minimal 3.000 contoh per tahun. Selama ini, hasil pengujian di Malaysia dan Jepang membutuhkan waktu rata-rata sepekan. Biayanya berkisar US$ 300. “Nanti kita bahas tarifnya agar bisa bersaing,” kata Wawan. Selain menerima permintaan uji dari panitia acara olahraga di dalam negeri, ITB akan terbuka melayani dari luar negeri.
• Tempo.Co
0 komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.