”Teknologinya menggunakan pemurnian selulosa. Selanjutnya menggunakan enzim untuk proses fermentasi yang menghasilkan bioetanol. Hasilnya diproses hingga memiliki tingkat kemurnian 99,5 persen untuk siap digunakan sebagai bahan bakar mesin,” ujar Agus Haryono, Koordinator Proyek Kerja Sama Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) dengan Korea International Cooperation Agency (Koica) dalam pengembangan pabrik bioetanol generasi kedua, Kamis (26/4) di Jakarta.
Koica membantu dana setara Rp 30 miliar. Dana itu digunakan untuk membangun pabrik bioetanol di Pusat Penelitian Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Puspiptek) Serpong, Tangerang Selatan.
Selain itu, dana untuk membiayai tenaga ahli, baik dari Korea yang didatangkan ke Indonesia maupun tenaga ahli dari Indonesia, untuk studi banding ke Korea. ”Pabrik bioetanol di Puspiptek akan diresmikan 1 Mei 2012,” kata Agus.
Uji coba produksi pertama kali sudah dilakukan. Agus memanfaatkan tandan kosong kelapa sawit dari perkebunan sawit di Malingping, Banten.
”Sebanyak 600 kilogram biomassa limbah sawit itu menghasilkan 27 liter bioetanol dengan kadar 99,9 persen,” kata Agus.
Efisiensi ditingkatkan
Biaya produksi bioetanol generasi kedua, menurut Agus, belum mampu bersaing meski harga bensin tidak disubsidi. Namun masih ada peluang untuk meningkatkan efisiensinya. ”Setelah pemurnian selulosa, efisiensi pada proses fermentasi dengan enzim berpeluang ditingkatkan untuk menghemat biaya produksi,” ujar Agus.
Proses fermentasi menghasilkan bioetanol dengan kadar enam persen. Artinya, kadar air pada bioetanol masih 94 persen.
Proses destilasi, yakni pemisahan air dan bioetanol, memakan banyak energi sehingga memerlukan modal besar. Efisiensi kinerja enzim perlu ditingkatkan sehingga kadar bioetanol dapat ditingkatkan jauh di atas enam persen.
Bahan bakar nabati terbagi antara biodiesel dan bioetanol. Biaya produksi keduanya saat ini belum mampu bersaing dengan harga bahan bakar konvensional dari fosil. Produksi biodiesel dari limbah kelapa sawit diperkirakan Rp 8.000 sampai Rp 10.000 per liter. Biaya produksi bioetanol di atas biaya produksi biodiesel.
Agus mengatakan, produksi bioetanol harus dipersiapkan untuk jangka panjang. Pada suatu saat nanti, harga bahan bakar fosil akan makin mahal akibat ketersediaan makin tipis.
Di sisi lain, kelimpahan biomassa di Indonesia sebagai bahan baku sumber energi terbarukan di antaranya diolah menjadi bioetanol sangat tinggi. Data menunjukkan, potensi biomassa mampu membangkitkan energi listrik hingga 49.810 megawatt.
Saat ini diperkirakan pemanfaatan biomassa baru mampu memproduksi listrik 445 megawatt, kurang satu persen dari potensinya.
Tekanan dan penyerapan
Proses destilasi untuk memisahkan kandungan air pada bioetanol tidak mampu meningkatkan kadar bioetanol sampai 99,5 persen sesuai syarat menjadi bahan bakar nabati. Diperlukan pemberian tekanan dan penyerapan (pressure swing absorption/PSA) untuk meningkatkan kadar bioetanol secara optimal.
”Bioetanol banyak dihasilkan masyarakat hanya melalui proses destilasi, tidak sampai dengan PSA,” kata Agus.
Kadar air bioetanol memengaruhi proses pembakaran pada mesin. Kadar air di atas 0,5 persen bersifat korosif dan bisa mempercepat keausan mesin.
Menurut Agus, memproduksi bioetanol dipengaruhi jenis bahan bakunya. Bahan baku bioetanol generasi kedua yang paling bagus adalah ampas tebu.
Ampas tebu memiliki selulose tinggi dan masih memiliki kadar glukosa yang mempercepat proses fermentasi menghasilkan bioetanol.
Pilihan limbah industri kelapa sawit paling memungkinkan untuk berkelanjutan mengingat produksi kelapa sawit kian hari kian meningkat.
Bioetanol generasi kedua paling berpeluang diproduksi untuk mengurangi beban ketergantungan pada bahan bakar fosil. Meskipun belum mampu bersaing, bioetanol makin memiliki prospek seiring dengan menipisnya cadangan minyak bumi. (Kompas, 27 April 2012/ humasristek)
0 komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.