MI/Ramdani/ip |
Menurut Menteri Negara Riset dan Teknologi (Menristek) Gusti Muhammad Hatta alat deteksi tsunami model baru itu dikerjakan bersama oleh Kemenristek Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), dan Amerika. Rencananya alat tersebut akan diujicobakan di perairan Papua bersama dengan radar cuaca.
Namun, Gusti tidak menyebutkan kapan alat canggih itu akan mulai dipasang. Begitu pula Kepala BPPT Marzan A Iskandar yang juga hadir di kampus Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo, Jawa Tengah, Jumat (13/4). "Saat ini baru disiapkan," imbuh Marzan
Gusti menilai, alat deteksi tsunami model baru tersebut akan lebih aman. Setidaknya lebih sulit dirusak oleh tangan-tangan jahil seperti yang banyak terjadi pada alat deteksi model apung.
Kendati demikian, monitoring dan penyadaran masyarakat atas fungsi peralatan itu harus tetap dilakukan. Jangan sampai alat yang berfungsi untuk menyelamatkan jiwa mereka itu, justru dirusak sendiri. "Banyak yang seperti itu. Alat yang sudah terpasang dipreteli. Masyarakat kita ini rupanya rasa penasarannya terlalu besar," kelakar Gusti. (FR/OL-01)
Sistem Peringatan Dini Tsunami tidak Berjalan Baik
JAKARTA--MICOM: Pemerintah mengakui beberapa sistem penanganan dini bahaya tsunami terkait gempa berkekuatan 8,5 SR di pantai barat Sumatra tidak berjalan dengan baik.
"Dari 6 sirene peringatan dini tsunami yang ada di Aceh, ketahuan hanya 2 yang bisa berfungsi dengan baik, ujar Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat (Menko Kesra) Agung Laksono, di Jakarta, Kamis (11/4).
Selain sirene yang tidak berfungsi, Agung juga mengakui pengetahuan masyarakat perihal jalur evakuasi juga sangat minim. Imbasnya karena kepanikan, lalu lintas menjadi macet dan bahkan banyak terjadi kecelakaan.
"Kejadian ini mirip seperti yang terjadi pada peringatan potensi terjadinya tsunami di Manado. Tsunaminya tidak jadi, tetapi korban berjatuhan di jalan akibat kecelakaan," paparnya.
Dari hasil rapat evaluasi dengan berbagai lembaga/kementerian terkait, terungkap, arah jalur evakuasi menuju ke daratan yang lebih tinggi dengan menempuh jarak yang cukup jauh dinilai tidak ideal dan cenderung malah menimbulkan korban kecelakaan.
Menurutnya untuk mengurangi dampak kecelakaan, idealnya perlu dibangun sebuah shelter yang kokoh dalam setiap radius 5 kilometer. Setiap shelter, lanjutnya, harus bisa menampung minimal 5 ribu orang.
Shelter tersebut nantinya akan dibangun dalam 2 model yaitu yang dibangun di pusat pemukiman warga dan di bukit. Selain berfungsi sebagai shelter bencana, sehari-hari juga bisa digunakan sebagai tempat aktivitas masyarakat. (Tlc/OL-04)
• MediaIndonesia
0 komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.