pengamat telematika Abimanyu Wachjoewidajat
INILAH.COM, Jakarta – Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) membuat lima poin kesepakatan guna menindak kasus SMS sedot pulsa. Poin ini dinilai menunjukkan lemahnya kementrian itu.
“Limapoin kesepakatan buatan Kemenkominfo malah menunjukkan, selama ini Kemenkominfo dan Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI) tak memiliki kendali yang tegas pada Operator Selular,” ungkap pengamat telematika Abimanyu Wachjoewidajat pada INILAH.COM.
Poin pertama, BRTI akan menyampaikan data yang diduga telah merugikan konsumen berdasarkan masukan publik terkait penyedotan pulsa melalui SMS penipuan dan Layanan Pesan Premium kepada Polri untuk ditindak secara hukum.
Pria yang akrab disapa Abah ini menilai, solusi hanya sekadar rephrase dari langkah yang telah dilakukan. “Sebelumnya, BRTI menyatakan ada 60 Content Provider (CP) yang diduga bermasalah namun saat didesak menyebut siapa saja CP tersebut pada publik, BRTI malah tak berani mengungkapnya beralasan tuduhan tersebut ada kekuatan hukumnya,” katanya.
Kemudian, kini BRTI menyatakan akan langsung menyampaikannya ke Polri. Artinya, dengan ini BRTI tak perlu menyebutkan nama CP tersebut pada masyarakat mengenai apakah jumlah CP nakal tersebut masih 60 atau sudah jauh berkurang.
Poin kedua menyatakan, berdasarkan masukan publik, BRTI akan melakukan pengawasan secara ketat guna mendalami hubungan bisnis antara CP dan operator dalam memberi Jasa Pesan Premium.
“Hal ini aneh, seharusnya BRTI melakukan pengawasan ketat sejak dulu karena tujuan didirikan badan ini yakni menjadi lembaga yang fokus memantau para operator selular. Kenyataannya, kini kontrolnya sangat kendur. Terbukti, BRTI sampai tak mengetahui terjadinya kasus ini dan baru mengetahui setelah ada pengaduan masyarakat,” paparnya.
Poin ketiga, BRTI bersama operator akan merancang sistem aplikasi yang memungkinkan konsumen berhenti berlangganan jika tak menginginkan suatu layanan Jasa Pesan Premium.
Secara teknis, hal ini sangat mudah dilakukan, bahkan tak perlu aplikasi rumit yang membutuhkan waktu hingga tiga bulan. Namun, pernyataan ‘aplikasi yang memungkinkan’ ini artinya, BRTI merasa ‘belum pasti’ bisa melakukan hal yang ‘jelas dapat dilakukan’ dan ini berarti, BRTI maupun Kemenkominfo kurang mampu menguasai telematika, lanjutnya.
“Bagaimana bisa suatu lembaga yang diupayakan bisa memantau perusahaan teknologi ternyata lembaga tersebut tak mengerti pengelolaan teknologi itu sendiri,” lanjutnya lagi.
Poin keempat, Jika ada CP yang ditemu kenali melakukan pelanggaran, BRTI akan menginstruksikan pada operator telekomunikasi untuk menghentikan layanan Jasa Pesan Premium dengan mengawasi pemberian ganti rugi sesuai ketentuan berlaku yang hasilnya akan dipublikasikan pada publik.
“Poin keempat dan poin pertama memiliki subyek hampir sama, namun mengapa pelaksanaannya berlainan. Jelas terbukti BRTI enggan mempublikasikan CP ‘pencuri pulsa’ itu,” ungkapnya.
Solusi berbasis ‘ditemu kenali’ dan ‘masih perlu instruksi BRTI untuk menghentikan’ berarti solusi ini tak akan masuk regulasi melainkan cukup masuk tahap pertimbangan tertentu. “Sangat mungkin BRTI menebang pilih dalam melakukan tindakan,” katanya.
BRTI sendiri menganggap langkah pemeriksaan SMS itu bukan suatu hal mudah. Di sisi lain, Abah menganggap hal ini sangat mudah. “Bagaimana jika BRTI mampu melakukan ‘temukenali’ jika secara teknis tak menguasai cara kerja SMS premium,” tandasnya.
Jika sekadar mendapat ganti rugi, misal kerugian masyarakat sebesar Rp2000/SMS, maka korban hanya mendapat jumlah yang besarnya jauh lebih kecil dari biaya dan upaya pelaporan. Artinya, untuk ‘mendapatkan kembali haknya’ masyarakat harus mengeluarkan uang lebih banyak. “Hal ini akan membuat masyarakat enggan melapor dan masalah ini akan reda dengan sendirinya,” ungkapnya.
Poin kelima, BRTI dan operator bersama-sama melakukan iklan layanan masyarakat secara masif mengenai nomor pengaduan yang bisa dihubungi konsumen dan cara penanganan pengaduan.
Dalam menangani SMS tipuan ‘mama/papa minta pulsa’ atau SMS sedot pulsa, BRTI terbukti memiliki cara yang berbeda, SMS ‘mama/papa’ diteruskan ke suatu nomor sedangkan SMS sedot pulsa harus menghubungi call center 159. “Jelas, tiap tindakan BRTI bukan suatu regulasi melainkan prosedur sementara,” tandasnya.
Tampaknya, BRTI tak benar-benar menerapkan suatu peraturan melainkan sekadar solusi polesan tergantung dari luasnya keluhan. Poin kelima ini sendiri akan dilaksanakan dalam tempo tiga bulan.
“BRTI jelas tak serius menanganinya. Bayangkan, tahapan pelaksanaan yang tak begitu rumit ternyata butuh tiga bulan untuk berjalan, terlebih Kemenkominfo mengakui masalah ini sudah ada sejak 2007 dan terus berlarut. Bagaimana bisa yakin semua akan berjalan dalam tiga bulan jika terbukti selama empat tahun saja Kemenkominfo secara nyata tak mampu mengatasi kasus ini”. [mdr]
• Inilah
0 komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.