Jakarta (ANTARA News) - Jepang telah memulihkan pasokan listrik di ruang kendali reaktor pertama dan kedua Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) Daiichi, Fukushima, setelah diterjang gempa dan tsunami pada Jumat (11/3).

Namun kekhawatiran radiasi akibat ledakan hidrogen di tiga reaktor nuklir Fukushima yang telah menghebohkan dunia belum berakhir apalagi baru saja otoritas Jepang mengumumkan bahwa tingkat iodium radioaktif di laut dekat PLTN Fukushima 1.250 kali di atas batas aman.

Isotop iodium merupakan unsur yang banyak dihasilkan dalam pembelahan inti uranium di suatu reaktor nuklir.

Iodium bisa menyebar dengan mudah ke lingkungan karena iodium bersifat gas bila panas.

Namun karena masa luruh iodium pendek hanya delapan hari, otoritas Jepang meredakan kekhawatiran tersebut dengan menegaskan bahwa radiasi akibat unsur iodium yang terlepas ini tidak lagi berisiko setelah delapan hari.

Kasus Fukushima telah membuat sejumlah lembaga swadaya masyarakat (LSM) lingkungan di Indonesia kembali meneriakkan penolakan terhadap rencana PLTN dan menegaskan bahwa wacana apapun tentang pembangunan PLTN harus ditutup.

Di tengah pertentangan ini, Kepala Badan Tenaga Nuklir Nasional (Batan) Dr Hudi Hastowo tetap berpendapat bahwa pembangunan PLTN tidak bisa dihindari.

Ia memilih tidak banyak berkomentar menanggapi protes dari kalangan LSM dan hanya berpesan kepada para penentang PLTN tidak membuat masyarakat ketakutan dengan cerita-cerita negatif berlebihan tentang PLTN karena mengembalikan kepercayaan masyarakat tidaklah mudah.

"Saya khawatir suatu saat nanti ketika akhirnya tidak ada pilihan lain untuk menyediakan listrik bagi masyarakat selain mengikutsertakan PLTN sebagai salah satu penopang sumber energi, tidak memiliki kesiapan apapun bahkan juga penerimaan masyarakat," ujarnya.

Ia mencontohkan China tetap saja merasa kekurangan energi padahal bangsa itu sangat "rakus" energi dan menggunakan segala sumber energi, baik energi fosil maupun energi terbarukan untuk menopang pertumbuhan ekonominya yang melesat termasuk menggunakan berbagai tipe PLTN.

10 Tahun Lagi
Ketua Dewan Pengawas Masyarakat Peduli Energi dan Lingkungan (MPEL) Sutaryo Supadi menegaskan pembangunan Indonesia di masa depan tidak mungkin dilakukan tanpa PLTN.

"Jangan hanya melihat saat ini. Hitunglah 10 tahun ke depan, berapa kebutuhan listrik untuk sektor industri saat itu. Energi memang melimpah tetapi tetap kekurangan," katanya.

Ia mencontohkan kapasitas listrik saat ini mencapai 40 ribu megawatt (MW) namun untuk menopang pertumbuhan pembangunan sebesar enam persen per tahun, kapasitas listrik harus terus ditingkatkan tujuh persen per tahun.

Dengan demikian, katanya, dibutuhkan tambahan 40 ribu MW lagi dari kapasitas 40 ribu MW yang ada saat ini pada 10 tahun mendatang.

"Dari mana kebutuhan energi ini harus dipasok sedangkan cadangan energi fosil makin menipis dan energi alternatif yang terlalu kecil skalanya?" katanya.

Masa 10 tahun mendatang itu tidak terlalu lama jika dibandingkan dengan persiapan pembangunan PLTN yang juga makan bertahun-tahun, katanya.

Ia mengingatkan rencana pembangunan PLTU 10 ribu MW dengan menggunakan batubara telah lima tahun berlalu, baru satu pembangkit yang terealisasi.

Sutaryo yang juga ahli nuklir itu menyebutkan dari segi harga, meskipun biaya investasi pembangunan konstruksi dan teknologi PLTN besar, berkisar antara 1.350-1.750 dolar AS per kilowatt (KW) atau lebih dari Rp20 triliun untuk kapasitas 1.000 MW, bahan bakar yang diperlukan sangat sedikit dan waktu habisnya panjang, maka hitungan keekonomiannya menjadi cukup murah.

"Begitu PLTN dibangun, PLTN ini hanya diisi pertama kali oleh 75 ton uranium yang masa hidupnya sampai 18 bulan. Pengisian berikutnya hanya sepertiganya 25 ton setiap 18 bulan dan seterusnya hingga 40 tahun," katanya.

Ia membandingkan dengan PLTU batubara yang membutuhkan tiga juta ton batubara per tahun untuk kapasitas sama 1.000 MW, belum ditambah biaya transportasi yang harus mengangkut jutaan ton batubara itu dari lokasi tambang di luar Jawa ke PLTU di Jawa.

Anggota Dewan Energi Nasional (DEN) Dr Herman Agustiawan menambahkan sudah jelas bahwa harga listrik PLTN sangat murah dibanding pembangkit listrik lainnya.

Jika PLTU dengan kapasitas 1.000 MW perlu batubara sekitar 3.5 juta ton per tahun maka dengan harga batubara 70 dolar AS per ton, berarti biaya untuk batubara sekitar Rp2,25 triliun per tahun. Ini jumlah yang lumayan mahal apalagi harga investasi PLTU China saat ini minimal 1,4 juta dolar AS per MW, kata Herman.

Sedangkan Pembangkit Listrik berbahan bakar minyak membutuhkan 10 juta barel solar untuk tiap kapasitas pembangkitan 1.000 megawatt electrical (MWe) per tahun atau membutuhkan 64 miliar kaki kubik gas alam untuk kapasitas yang sama per tahun.

Menurut Herman, dengan menggunakan nuklir sebagai bahan bakar pembangkit listrik, harga produksi listrik PLN dipastikan akan menjadi rendah karena selain PLTN harus dibangun dalam skala besar di atas 1.000 MW, "lifetime" bahan bakarnya (uranium) panjang, harga uranium juga stabil dan murah dibanding harga batubara dan lain-lain.

Harga satu gram uranium, menurut Herman, sebanding dengan harga 1,6 ton batubara.

Ia mencontohkan Korea Selatan yang memiliki 22 unit PLTN untuk melistriki penduduknya yang hanya 40 juta jiwa sehingga harga listriknya pun dijual murah yakni sekitar 4 sen dolar AS per kilowatt hour (KWH).

"Kenapa harga produksi listrik PLN mahal? Karena selain kapasitasnya kecil-kecil, PLN juga menggunakan macam-macam pembangkit, bukan saja PLTU batubara, tapi juga ada solar, gas, juga dari pembangkit listrik tenaga air (PLTA), hingga panas bumi," katanya.

Ia menegaskan harga listrik yang terasa murah di Indonesia akibat subsidi listrik yang terlalu besar dan bisa berkonsekuensi pada defisit APBN.

Kalau PLN mulai menggunakan beberapa unit PLTN, harga listrik akan tersedot semua oleh PLTN menjadi murah, seperti halnya Korea, kata Herman.

Kelebihan lain PLTN, daya listrik yang stabil sangat dibutuhkan oleh sektor industri serta merupakan energi yang bersih.

Hindari karbon
PLTN juga menghindarkan pelepasan 482 juta ton karbon dalam bentuk CO2, 15 juta ton gas SO2 dan 8 juta ton gas nox ke udara dalam setahun, kata Sutaryo.

Angka itu contoh hitung-hitungan pada tahun 1995 dimana PLTN telah menghindarkan pembakaran bahan bakar fosil hingga 750 juta ton batu bara atau 5,5 triliun kubik kaki gas alam atau 620 juta barel minyak bumi pada tahun itu.

PLTU berbahan bakar batubara yang menghasilkan listrik satu juta KWH, ujarnya, melepas karbon ke udara sampai 230 ton karbon atau 190 ton emisi karbon dari PLTU berbahan bakar minyak bumi atau 150 ton dari PLTU gas alam.

Ia mencontohkan Prancis, negara terbanyak di Eropa yang memiliki 59 PLTN, dengan kontribusi listrik sampai 80 persen maka emisi CO2-nya per gigawatt hour (GWH), listrik bisa ditekan jadi 93 ton.

Belgia dengan tujuh PLTN emisinya menjadi 337 ton CO2 dan Spanyol dengan delapan PLTN jadi 483 ton CO2 per GWH.

Belanda dengan satu PLTN emisinya 602 ton CO2 dan Denmark yang tak memiliki PLTN emisi karbonnya 869 ton per gigawatt hour listrik yang dihasilkan.

Kini sekitar 30 negara memiliki total 438 reaktor PLTN dengan total kapasitas 371.016 MWe, termasuk 103 PLTN di AS, 59 di Prancis, 55 di Jepang, 31 di Rusia, 22 di Korsel, 19 di Inggris, 18 di Kanada, 17 di Jerman, 17 di India, 15 di Ukraina, 11 unit di China, dan lain-lain.

Sementara itu, Kabiro Kerja Sama Hukum dan Humas Batan Dr Ferhat Aziz mengatakan kontribusi PLTN terhadap pemanasan global paling kecil dibanding pembangkit listrik lainnya, yakni hanya 3-24 gram CO2 equivalen per KWH.

Bandingkan dengan batubara yang mencapai 950-1.250 g CO2 eq./KWH, minyak bumi 700-800 g CO2 eq./KWH atau gas 360-575 gB CO2 eq./KWH, katanya.

Bahkan jika kontribusi terhadap pemanasan global itu dibandingkan dengan energi alternatif lainnya seperti energi matahari, energi air dan energi angin, energi nuklir juga tetap paling kecil kontribusinya, ujarnya.

Kontribusi energi matahari terhadap pemanasan global mencapai 43-73 g CO2 eq./KWH, energi air 1-34 g CO2 eq./KWH dan energi angin 8-30 g CO2 eq./KWH.(D009/B009)